Gadis manis bernama Rania Baskara, usia 17 tahun. Baskara sendiri diambil dari nama belakang Putra Baskara yang tak lain adalah Ayah angkatnya sendiri.
Rania ditolong oleh Putra, ketika masih berusia 8 tahun. Putra yang notabenenya sebagai Polisi yang menjadi seorang ajudan telah mengabdi pada Jendral bernama Agung sedari ia masih muda.
Semenjak itu, Rania diasuh dan dibesarkan langsung oleh tangan Putra sendiri.
Hingga Rania tumbuh menjadi gadis yang cantik dan manis.
Seiring berjalannya waktu, cinta tumbuh pada diri Rania terhadap Putra, begitu juga Putra merasakan hal yang sama, namun ia tidak ingin mengakuinya..
Bagaimana kelanjutannya? ikuti kisahnya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mahkota Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyesalan
"Rania bersedia mendapatkan hukuman!" Jawab Rania.
Putra segera mengambil sebuah rotan panjang.
Ia menggenggamnya dengan begitu erat.
"Buka telapak tangan!" Perintah Putra dengan suara lantangnya.
Rania harus siap menerima segala konsekuensi jika ia telah melakukan kesalahan.
Rania membuka telapak tangan kanannya.
Putra berjalan mendekat dan berdiri di hadapan Rania.
Plaaaakkkkk...
Plaaakkkkk....
Plaaakkkk....
Rania menerima hukuman dari Putra. Tanpa terasa, air matanya menggenang dan mengalir membasahi kedua pipinya.
Telapak tangan Rania telah disabeti menggunakan rotan panjang.
Tiga kali pukulan Putra melakukannya, Rania hanya dapat menahan sakit dan perih yang ia rasakan. Air matanya terus mengalir.
Ia menunduk dan ikhlas menerima hukuman dari Putra.
Putra yang kejam ketika marah, selalu memberikan hukuman kepada Rania.
Namun, nampaknya semua itu tidak membuat Rania jera. Malah semakin hari semakin membangkang.
Usai memukul Rania, Putra langsung pergi meninggalkannya didalam ruang meditasi sendirian.
Pintu ruang meditasi terkunci otomatis. Rania tidak dapat keluar ruangan jika tidak mendapat izin dari Putra.
Rania menangis dengan posisi tidur meringkuk.
Telapak tangannya memerah dan memar.
Kedua matanyapun sembab.
***
"Komandan, apa yang anda lakukan kepada Rania? Mengapa terdengar suara pukulan?" Tanya Dicky yang terlihat tidak ikhlas jika terjadi apa-apa pada Rania, adik angkatnya.
Putra menatap tajam mata Dicky.
"Tidak perlu ikut campur. Urus saja pekerjaan kamu!" Jawab Putra dengan wajah penuh dengan kekesalan.
Tirta dan Minah yang saat itu sedang berada ditempat yang sama dengan Dicky dan Putra, tidak dapat banyak bicara ketika Putra sedang meluapkan emosinya.
"Tapi, Komandan. Biar bagaimanapun, Rania adikku, Komandan. Aku harus tahu apa yang sedang terjadi padanya." Protes Dicky kepada Putra.
Putra menatap Dicky, Tirta dan Minah, selaku orang kepercayaannya sejak dulu.
"Mulai sekarang, Rania tidak boleh pergi kemana-kemana tanpa izinku. Kalian harus pantau dan menjaganya dengan ketat. Jangan biarkan Rania pergi tanpa pengawasan!" Sentak Putra yang kemudian pergi melangkahkan kaki menuju area penembakan.
Sebelum mendapatkan jawaban dari Dicky, Tirta dan Minah, Putra sudah berlalu.
"Kasihan sekali Nona Rania." Ucap Tirta lirih.
"Apa hukuman yang diberikan Komandan? Mengapa sampai saat ini, Rania tidak kunjung keluar dari ruang meditasi?" Sahut Dicky dengan begitu cemas.
"Mengapa Tuan sesadis itu pada Nona? Padahal Nona hanya pergi ke toko buku saja." Imbuh Minah.
"Mulai sekarang, kita harus menjaga Rania dengan baik-baik. Jangan sampai Rania membuat kesalahan dan berakibat mendapatkan hukuman kembali dari Komandan." Perintah Dicky kepada Tirta dan Minah.
Tirta dan Minah mengangguk.
***
Dini hari, tubuh Rania tiba-tiba menggigil dan demam.
Mungkin akibat hukuman dari Putra.
Hingga kini Putra belum juga membebaskan Rania dari ruang meditasinya.
Bahkan, Rania juga belum sempat makan kembali. Terakhir terisi perutnya hanya diwaktu pagi saja.
Dan kini waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Ceklek..!
Putra memasuki ruang meditasinya, ia melihat keadaan Rania diluar dari dugaannya.
Rania terlihat pucat dan menggigil hebat.
Putra berjalan mendekati Rania.
"Rania! Rania! Apakah kamu sakit?" Tanya Putra kepada Rania.
Namun, nampaknya Putra tidak mendapatkan respon dari Rania yang biasanya terlihat lebih banyak bicara dibandingkan dirinya.
Putra lebih mendekatkan langkahnya dan menyentuh tubuh Rania.
Ya, tubuh Rania ternyata sedang panas.
Ia demam tinggi sehingga menimbulkan demam yang membuat Rania tidak dapat meresponnya.
"Rania! Tubuh kamu demam." Ucap Putra menyentuh dahi Rania, kemudian ia memperhatikan telapak tangan yang terdapat bekas pukulan darinya. Terlihat merah, memar dan mengeluarkan darah.
Dengan begitu panik, Putra langsung memeluk tubuh Rania.
Ia segera membopong Rania dan keluar dari ruang meditasinya.
"Dicky, Tirta, cepat kita bawa Rania ke rumah sakit! Cepaaatttt!" Teriak Putra kepada Dicky dan Tirta.
Dicky dan Tirta yang sedang berbincang terkejut dengan teriakan Putra. Keduanya langsung berlari kalang kabut menghampiri Putra yang telah menggendong tubuh Rania.
Rania terlihat lemas tidak berdaya.
Minahpun datang menghampirinya.
"Tuan, ada apa dengan Nona?" Tanya Minah kepada Putra.
"Jaga rumah, Minah. Saya akan membawa Rania ke rumah sakit." Jawab Putra.
Putra segera berlari menuju parkiran mobil.
Dengan cepat, Tirta menghidupkan mesin mobil, sedangkan Dicky membantu Putra dan Rania masuk kedalam mobil.
Setelah semuanya telah masuk kedalam mobil, Tirta langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Tirta ditemani oleh Dicky dibagian bangku depan, sedangkan Putra duduk dibelakang dengan menyediakan tubuhnya agar tetap bisa memeluk Rania.
"Ayah... Ayah..." Ucap Rania dengan lirih.
"Ini Ayah, Sayang. Maafkan, Ayah. Ayah telah berbuat salah kepada Rania." Jawab Putra dengan terus memeluk Rania.
"Sakit, Ayah. Sakittt..." Lagi-lagi Rania bergumam lirih.
"Maafkan, Ayah. Sudah membuat Rania sakit." Putra terlihat cemas dan begitu panik.
Tirta dan Dicky merasa iba, keduanya saling pandang.
***
"Bagaimana dokter dengan kondisi anak saya?" Putra tampak panik ketika dokter baru saja menyelesaikan dalam pemeriksaan Rania.
"Untuk kondisi Rania, harus dirawat inap ya, Pak. Agar kami dapat memantau perkembangan kesehatan Rania." Jawab sang dokter.
Putra mengangguk dengan cepat.
"Baik, dokter. Lakukan yang terbaik untuk anak saya." Pinta Putra kepada dokter.
"Baik, Pak." Jawab dokter kemudian berlalu meninggalkan Putra.
Putra terlihat gelisah, Dicky dan Tirta dapat melihat kecemasan Putra terhadap Rania.
"Komandan, sebaiknya anda menenangkan diri dulu. Percayakan saja semuanya kepada dokter. Nanti kalau seperti ini terus, malah Komandan yang jatuh sakit." Dicky berdiri menghampiri Putra yang masih saja berjalan mondar-mandir.
Putra menuruti apa yang dikatakan oleh Dicky.
Putra duduk dan Tirta langsung memberikan sebotol air mineral agar kecemasan Putra sedikit mereda.
"Andai Rania tidak membangkang, pasti tidak akan terjadi seperti ini." Ucap Putra dengan penuh penyesalan.
Dicky kemudian menggeser posisi duduknya.
"Komandan, semua yang sudah terjadi jangan pernah kita sesali. Tinggal bagaimana kita menata ulang kembali agar untuk kedepannya kita tidak salah langkah lagi." Lagi-lagi Dicky menenangkan Putra.
Putra mencerna ucapan Dicky, kemudian menoleh kearah Tirta yang sedang duduk tak jauh dari posisi Putra dan Dicky.
"Tirta, apakah benar kamu menemukan Rania di toko buku?" Tanya Putra kepada Tirta.
"Betul, Tuan. Nona bilang kalau ia bosan di rumah. Karena Nona keasyikan membaca, ia sampai lupa waktu. Padahal, hanya ingin membeli beberapa buku saja lalu akan ia baca di rumah. Namun, ia malah membaca buku hingga berjam-jam di toko buku tersebut." Tirta menjelaskan dengan sedemikian benar adanya.
"Ya ampun, mengapa aku langsung menghakiminya?" Putra menyesalinya.
***
"Rania, Rania! Kamu sudah sadar, Nak?" Ucap Putra begitu mengetahui bahwa Rania telah sadar akibat obat bius yang diberikan kepada dokter.
Dicky turut berjalan mendekati Rania yang telah terbaring diranjang rumah sakit.
Rania tampak mengerjapkan kedua matanya, pandangannya masih terlihat sangat samar-samar.
"Aku dimana?" Tanya Rania seraya mengedarkan pandangannya.
"Kamu di rumah sakit, Nak. Maafkan, Ayah. Kamu harus segera sembuh ya." Jawab Putra dengan menggenggam tangan Rania sebelah kanan. Karena, bagian tangan kirinya telah dibalut oleh kain kasa perban akibat luka yang dideritanya.
Rania menyeringai menahan sakit pada tubuhnya. Seluruh sendinya terasa sakit karena ia juga demam.
"Dicky, tinggalkan kami sejenak." Perintah Putra kepada Dicky.
Dicky yang sedang memperhatikan Rania, segera berjalan untuk meninggalkan ruangan Rania.
"Baik, Komandan."
Sepeninggal Dicky, Putra memeluk tubuh Rania.
"Maafkan, Ayah. Ayah telah bersalah." Putra memeluk tubuh Rania.
Rania hanya terdiam, ia tidak merespon Putra. Nampaknya, ia sudah dapat berpikir secara sadar dan kecewa atas apa yang diperbuat Putra.
Rania mendorong tubuh Putra, agar Putra menjauh darinya.
Putra mengerutkan dahinya, dan memasang wajah penuh tanda tanya.
"Kenapa, Rania?" Tanya Putra penasaran.
Rania membuang mukanya. Ia terlihat sedang menghindari kontak mata dengan Putra.
"Tinggalkan aku sendiri, Ayah!"
Rania ikuti apa kata hatimu ... lepaskan masalalu dan tata kembli masa depan mu dgn mmbuka hatimu buat seseorg yg bsa terima kmu apa ada nya..
tetap semangat dan buang perlahan perasaanmu tentang putra...
masalalu biar lah berlalu .masa depan sedang menanti mu... yg sudah terjadi buat lah mnjdi pembelajaran buat kmu .
klw jodoh tak akan kemana Rania... pasti akan terima kmu apa ada nya...
semngt Rania ..
jdi lah tman baik buat Rania iptu... tmnin dia disaat dia terpuruk krna kenyataan putra.jgn lah kmu pergi krna mngetahui knyataan tentang Rania...
Rania .. kmu hrs smngt .. dan hrs bhgia... hrs bsa mnjdi diri sndri ... jgn mw di atur ma kuasa jendral agung itu