" Kamu adalah alasan kenapa aku mengubah diriku, Gus. Dan sekarang, kamu malah mau meninggalkan aku sendirian?" ujar Raya, matanya penuh dengan rasa kecewa dan emosi yang sulit disembunyikan.
Gus Bilal menatapnya dengan lembut, tapi tegas. "Raya, hijrah itu bukan soal aku atau orang lain," ucapnya dengan suara dalam. "Jangan hijrah karena ciptaan-Nya, tetapi hijrahlah karena Pencipta-Nya."
Raya terdiam, tetapi air matanya mulai mengalir. "Tapi kamu yang memotivasi aku, Gus. Tanpa kamu..."
"Ingatlah, Raya," Bilal memotong ucapannya dengan lembut, "Jika hijrahmu hanya karena ciptaan-Nya, suatu saat kau akan goyah. Ketika alasan itu lenyap, kau pun bisa kehilangan arah."
Raya mengusap air matanya, berusaha memahami. "Jadi, aku harus kuat... walau tanpa kamu?"
Gus Bilal tersenyum tipis. "Hijrah itu perjalanan pribadi, Raya. Aku hanya perantara. Tapi tujuanmu harus lebih besar dari sekadar manusia. Tujuanmu harus selalu kembali kepada-Nya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sha whimsy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fatimah
Pagi itu, suasana di meja makan keluarga Aljazair terasa hangat dan penuh canda. Bilal, pemuda berusia 21 tahun, duduk di sebelah adiknya, Fatimah, yang empat tahun lebih muda darinya. Di hadapan mereka, Mama sibuk menuangkan teh, sementara Abi duduk sambil membaca koran dengan serius.
“Hari ini kamu ada rencana ke mana, Bilal?” tanya Mama sambil menata hidangan sarapan, yaitu nasi goreng dengan telur mata sapi dan kerupuk kesukaan Bilal.
Bilal mengaduk teh di cangkirnya dengan tenang. “Hari ini mungkin ke toko bunga, Ma. Sudah lama nggak ke sana sejak pulang dari Tarim.”
Fatimah, yang duduk di sebelahnya, tersenyum kecil. “Kamu tuh kalau ke toko bunga, selalu jadi pusat perhatian, Kak. Banyak yang nanya-nanya tentang Kak Bilal si 'santri ganteng.'”
Bilal tertawa kecil mendengar ledekan adiknya, tapi tetap menundukkan pandangan. “Aduh, Fatimah, itu cuma bayangan kamu saja. Aku ke sana buat bantu-bantu, bukan buat jadi bahan gosip.”
Abi yang sedang serius membaca koran tiba-tiba menurunkan korannya dan berkata, “Bagus kalau kamu mau sering-sering ke toko, Bilal. Kamu harus mulai lebih sering terlibat, apalagi bisnis ini nanti bisa kamu kelola juga.”
Bilal hanya mengangguk patuh. Meskipun tak banyak bicara, Bilal sangat menghormati Abi dan apa yang sudah dibangunnya. Di usianya yang ke-21, Bilal merasa tanggung jawab mulai bertambah, baik sebagai anak pertama maupun sebagai seorang kakak.
Fatimah, yang sudah selesai sarapan lebih dulu, memandangi Bilal dengan tatapan jahil. “Eh, Kak, kemarin di toko ada yang ketumpahan air, ya? Aku dengar ceritanya dari Bu Wati.”
Bilal, yang sedang menggigit roti, hampir tersedak mendengar pertanyaan Fatimah. “Iya, nggak sengaja,” jawabnya sambil tersenyum canggung. “Ada sedikit kecelakaan kecil, tapi sudah aku selesaikan.”
Fatimah tertawa kecil, “Ya, ya, aku yakin itu kecelakaan yang bikin heboh. Jangan sampai nanti ada yang marah sama santri ganteng kita ini.”
Bilal hanya tersenyum tipis, lalu menghabiskan teh di cangkirnya. Suasana meja makan kembali cair, dengan canda dan obrolan ringan. Meskipun Bilal tampak tenang, di dalam hatinya, ia masih teringat insiden kemarin dengan seorang gadis yang ia siram secara tidak sengaja. Pikirannya melayang sejenak, namun ia segera kembali fokus ketika Abi berbicara lagi.
“Hari ini, Bilal, selain ke toko bunga, coba kamu mampir ke panti asuhan ya. Kita mau donasikan beberapa bunga untuk acara mereka.”
“Iya, Abi, nanti setelah dari toko, aku langsung ke sana.”
Sarapan pun berlanjut dengan kehangatan khas keluarga, di mana Bilal, meski seorang pemuda yang tenang dan pendiam, tetap menikmati setiap momen kebersamaan dengan Mama, Abi, dan Fatimah.
Di sisi lain, pagi yang sama, Raya baru saja terbangun dengan wajah kusut dan rambut berantakan. Jam di dinding kamar menunjukkan pukul 6.40 pagi. Seperti biasanya, dia terlambat bangun. “Astaga! Udah jam segini,” gumamnya panik, langsung melompat dari tempat tidur.
Tanpa membuang waktu, Raya meraih seragam sekolahnya yang sudah tergantung di pintu lemari. Dia tergesa-gesa mengenakan rok abu-abu dan kemeja putih. Rambut panjangnya yang masih sedikit kusut ia ikat asal-asalan, kemudian buru-buru mencuci muka.
Di luar kamarnya, terdengar suara Rian, adiknya, yang sudah siap berangkat sekolah sejak tadi. “Kak Raya, cepetan! Nanti kita telat lagi!” seru Rian dari ruang tamu.
Raya hanya mendengus sambil mengenakan sepatu dengan terburu-buru. “Iya, iya! Udah, jangan bawel,” balasnya setengah kesal. Ini bukan pertama kalinya Rian mengomel karena kelakuan kakaknya yang sering bangun terlambat.
Setelah mengambil tas yang tergantung di kursi, Raya berlari ke dapur untuk mengambil sepotong roti yang sudah disiapkan Bunda. Tanpa sempat sarapan proper, ia menggigit roti itu sambil merapikan dasi seragamnya. “Bun, aku berangkat dulu ya! Rian udah bawel nih,” ucapnya cepat sambil mencium tangan Bunda yang hanya bisa menggeleng melihat kelakuan putrinya.
“Raya, jangan terlalu buru-buru, nanti lupa bawa sesuatu lagi,” kata Bunda mengingatkan, tapi Raya sudah setengah jalan keluar rumah.
Sambil berjalan cepat, Raya melirik jam di pergelangan tangannya. “Aduh, udah mepet banget,” gumamnya. Namun, seperti biasa, meski selalu terlambat bangun, Raya tak pernah terlihat terlalu cemas. Baginya, ini sudah menjadi rutinitas harian yang dia jalani dengan santai.
Dalam hati, Raya tahu dia harus mengubah kebiasaannya, tapi entah kenapa, bangun lebih pagi selalu terasa seperti tantangan yang sulit baginya.
Akhirnya, Raya tiba di sekolah tepat saat bel masuk berbunyi. Dengan napas terengah-engah, ia meletakkan tasnya di bangku. "Untung saja," gumamnya lega.
“Alhamdulillah, selamat dari omelan guru piket lagi,” kata Fatimah, teman sekelas sekaligus sahabat Raya sejak TK, sambil tersenyum lebar.
Raya balas tersenyum dan duduk di sebelah Fatimah. Meski sifat mereka sangat bertolak belakang—Fatimah tenang dan lembut, sedangkan Raya ceroboh dan blak-blakan—persahabatan mereka sudah berlangsung bertahun-tahun, tak tergoyahkan oleh perbedaan.
Meski sangat dekat, Raya tak pernah benar-benar tahu tentang kehidupan keluarga Fatimah, termasuk abang Fatimah yang sering disebut-sebut di rumah. Baginya, urusan keluarga Fatimah bukan hal yang penting. "Ya, gue sih nggak peduli juga," pikirnya dalam hati setiap kali Fatimah menyinggung soal abangnya. Raya selalu sibuk dengan dunianya sendiri, tanpa terlalu memerhatikan detail kehidupan orang lain, termasuk sahabatnya.
“Eh, kamu udah siap buat ulangan Matematika nanti?” tanya Fatimah, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Raya hanya mengangkat bahu. “Kayak biasanya aja lah, ngikut alur aja. Mana sempet gue belajar tadi pagi, udah ketinggalan bus hampir!”
Fatimah tertawa kecil, sudah terbiasa dengan gaya hidup spontan Raya. Meski kadang ceroboh, Raya selalu punya cara untuk lolos dari situasi sulit.
Fatimah tertawa kecil, sudah terbiasa dengan gaya hidup spontan Raya. “Dasar kamu, Raya. Kadang-kadang, aku heran deh sama kamu. Kenapa sih nggak mau nyiapin dari jauh-jauh hari?”
“Ya, udah lah. Hidup ini buat dinikmati, bukan dipusingin sama yang gitu-gitu,” jawab Raya santai sambil merapikan buku-bukunya di meja.
Fatimah menggelengkan kepala. “Tapi, Raya, kamu tahu kan kalau ulangan itu penting? Nanti kamu bisa kesusahan kalau nggak belajar.”
“Ah, bisa aja. Nanti kalau aku dapat nilai jelek, kamu yang harus ngajarin aku, ya!” jawab Raya sambil tersenyum nakal.
Fatimah hanya bisa tersenyum melihat tingkah sahabatnya yang selalu ceria meski sering kali ceroboh. “Kamu ini, loh. Semoga deh, semua rencana kamu hari ini berjalan lancar.”
Raya mengangkat jari telunjuknya, “Amin! Tapi, yang penting, kita harus bikin rencana seru abis sekolah. Setuju?”
“Setuju!” Fatimah menjawab dengan semangat, merasa bahwa kebersamaan mereka setelah sekolah selalu menjadi hal yang ditunggu-tunggu.
Sebelum bel berbunyi lagi, mereka berdua bersiap-siap untuk memasuki kelas. Meski Raya tidak memikirkan detil kehidupan Fatimah, keduanya saling melengkapi satu sama lain. Dalam perjalanan yang panjang ini, mereka adalah sahabat sejati yang siap saling mendukung, apapun yang terjadi.
Setelah pelajaran terakhir berakhir, bel sekolah berbunyi dan Raya serta Fatimah segera keluar kelas. Hari itu terasa lebih ringan karena Raya tidak harus bekerja setelah sekolah; sebaliknya, dia bisa membantu bundanya membuat kue di rumah.
“Eh, Fatimah, mau ikut ke rumahku? Bunda lagi bikin kue, nih,” ajak Raya dengan semangat.
“Boleh banget! Aku suka bantu-bantu di dapur,” jawab Fatimah dengan senyum lebar, menjelaskan jilbabnya sebelum mereka melangkah pergi.
Sesampainya di rumah, aroma manis kue menguar dari dapur. Bunda Raya terlihat sibuk mengaduk adonan. “Raya, kamu datang tepat waktu! Kita butuh bantuanmu,” ujar bunda, melihat kedatangan mereka.
Raya dan Fatimah segera menyibukkan diri. “Apa yang harus kita lakukan, Bun?” tanya Raya sambil mencuci tangan.
“Ambilkan tepung dan gula di lemari, ya. Kita mau bikin kue coklat,” jawab bunda dengan ceria.
Fatimah membantu Raya mengeluarkan bahan-bahan yang diperlukan. “Ayo, Raya! Kita bisa bikin kue yang enak ini bersama-sama,” katanya dengan semangat.
Setelah bahan-bahan siap, mereka mulai mencampurkan semuanya. Raya yang ceroboh tetap menunjukkan kepiawaiannya dalam memasak, meskipun beberapa kali dia tersenggol dan membuat tepung berhamburan ke mana-mana. Fatimah tidak bisa menahan tawanya melihat tingkah sahabatnya.
“Raya, hati-hati! Nanti kamu bikin kue ini jadi seni abstrak!” celetuk Fatimah sambil menyeka tawa.
“Ah, udah biasa. Ini namanya ‘kue goyang’,” balas Raya sambil tertawa, mencoba menjelaskan kekacauan yang terjadi.
Setelah mengaduk adonan dengan penuh semangat, mereka menuangkannya ke dalam loyang dan memasukkannya ke dalam oven. Mereka duduk di meja sambil menunggu kue matang, menikmati momen kebersamaan.
“Raya, kamu ingat nggak waktu kita kecil, kita pernah bikin kue bersama? Hasilnya hancur total,” kata Fatimah, mengenang masa lalu.
“Ya, ingat! Tapi seru banget! Kita sampai berantakan, kan? Bunda marah, tapi kita malah ketawa,” jawab Raya.
“Semoga kali ini kita bisa bikin kue yang enak dan nggak hancur,” Fatimah tersenyum penuh harapan.
Setelah beberapa menit menunggu, aroma kue mulai memenuhi dapur. “Kue kita hampir matang, nih!” seru Raya, senang dengan hasil kerja kerasnya.
“Cek dulu, Raya. Jangan sampai gosong,” Fatimah memperhatikan oven dengan cermat.
“Tenang, aku chef handal! Nggak ada yang bisa ngalahin kehebatanku di dapur,” Raya menjawab percaya diri.
Fatimah hanya tertawa, “Chef handal? Yang ada hanya chef kacau!” Ia mengambil sedikit tepung dengan jari dan mengoleskannya ke wajah Raya.
“Hey! Kamuu?!” teriak Raya sambil terkejut, menatap wajahnya yang sekarang berdebu putih.
“Maaf, maaf! Ini adalah teknik baru dalam memasak, namanya ‘tepung wajah’!” jawab Fatimah sambil tertawa terbahak-bahak.
“Grrr, kamu bakalan menyesal!” Raya mengejar Fatimah yang sudah mulai berlari menjauh.
Fatimah berlari mengelilingi meja, mencoba menghindari tangkapan Raya. “Jangan! Aku masih bersih!” teriaknya, sambil terus tertawa.
Raya terus mengejar, dan saat Fatimah berpaling untuk melihat ke belakang, ia terjatuh ke dalam tumpukan tepung yang ada di lantai. “Wah, sial!” Raya menyusul dan tidak sengaja menjatuhkan tepung di atas kepala Fatimah.
“Ya ampun, ini udah kayak festival tepung!” Fatimah terbahak-bahak sambil tertawa, tubuhnya dipenuhi tepung.
Bunda yang dari tadi mengamati dengan kekhawatiran kini tidak bisa menahan diri. “Astagfirullah !” serunya, mencoba untuk serius tapi tidak bisa menahan senyumnya melihat kekacauan yang terjadi.
“Maaf, Bun! Kita hanya ingin menambah rasa di kue ini!” Raya menjawab, tersenyum nakal sambil mengusap wajahnya yang dipenuhi tepung.
“Rasa apa? Rasa tepung, ya?” Bunda menggelengkankepala sambil tertawa, “Sini, bantu Bunda bersihkan ini sebelum semua berantakan!”
“Dari tepung jadi kue, dari kue jadi drama!” canda Fatimah, berusaha untuk membantu membersihkan sambil tertawa.
Raya dan Fatimah saling lempar tepung lagi, dan meskipun bunyi omelan Bunda terdengar di mana-mana, suasana dapur terasa hangat penuh dengan tawa dan kebersamaan.
Bilal sedang duduk di belakang meja kasir toko bunga yang dikelola keluarganya. Dengan pandangan serius, ia memantau aktivitas para karyawan yang sedang merangkai bunga untuk pesanan pelanggan. Senja sudah mulai merangkak, tetapi suasana di dalam toko tetap hangat dan ceria, diwarnai tawa serta obrolan antara para karyawan.
Para karyawan perempuan tampak saling melirik, beberapa di antaranya tidak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikan Bilal yang sedang asyik memeriksa bunga-bunga yang baru datang. Wajahnya tampan dan karismatik, membuat banyak di antara mereka merasa terpesona. Salah satu karyawan, Mira, yang sudah lama menyimpan rasa suka, bahkan berniat untuk menyapa, tetapi begitu melihat Bilal yang tampak serius dan cuek, niatnya sirna seketika.
"Aku mau nyapa, tapi dia kelihatan serius banget," bisik Mira kepada temannya, Sari, sambil menatap Bilal dari jauh.
"Iya, sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu. Mungkin tentang pemesanan bunga untuk pernikahan akhir pekan ini," jawab Sari. "Tapi, Bilal itu emang ganteng ya. Sayang dia jarang ngobrol."
Bilal terus mencari sosok yang dia inginkan. Dalam hatinya, dia merasa gelisah. Kemana dia? pikirnya. Meskipun dia tidak tahu siapa yang sebenarnya dia cari, rasa penasaran itu membuatnya terus memantau toko dengan cermat.
Bilal melirik jam di dinding, merasa jengkel. Aish, kenapa pula saya cari-cari! pikirnya sambil menggelengkan kepala. Dia tak ingin menunjukkan betapa ingin tahunya dia, tetapi hatinya tak bisa bohong.
Tiba-tiba ponsel nya berbunyi terdapat notif pesan dari adiknya.
Little quen:
" Kak aku sebentar lagi sampai, "
Bilal :
"Iya, "
Flashback
“Ray, kue ini enak banget! Kamu memang jago dalam hal ini,” puji Fatimah, sambil tersenyum lebar.
“Alhamdulillah, terima kasih! Tapi kalau bukan karena kamu bantu, aku juga nggak bisa,” jawab Raya dengan senyum malu. Mereka berdua saling bertukar cerita sambil mengingat kembali kenangan masa kecil mereka.
Namun, saat mereka asyik berbincang, Fatimah melihat jam di dinding dan menyadari waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Ia teringat ada urusan mendadak yang harus diselesaikannya di toko bunga keluarganya.
“Ray, aku mau ke toko bunga dulu ya, ada urusan mendadak nih,” kata Fatimah tiba-tiba.
“Oh ya?” Raya mengangkat alis, sedikit bingung. “Ada apa?”
“Iya, aku pulang yaa,” jawab Fatimah, berusaha terdengar santai. Dia merasa sedikit bersalah meninggalkan sahabatnya, tetapi tugas di toko tidak bisa ditunda.
“Mau kemana?” tanya Bunda, yang baru saja memasuki dapur.
“Mau pamit pulang, Bun,” kata Fatimah sopan. “Ada beberapa hal yang perlu aku urus di toko bunga.”
“Baiklah, hati-hati di jalan, ya,” Bunda menjawab, sambil tersenyum. “Semoga semua urusannya lancar.”
Raya merasakan sedikit kekecewaan saat sahabatnya akan pergi, tetapi ia juga tahu bahwa Fatimah memiliki tanggung jawab di toko bunga keluarganya. “Oke, Fatimah. Jangan lama-lama, ya!” ujarnya sambil melambaikan tangan.
Kembali ke saat ini...
Kakakk..." panggil seorang gadis cantik dari kejauhan. Dia mengenakan jilbab pink yang kotor karena tepung, mencolok di antara suasana toko bunga yang cerah.
Bilal menoleh dan melihat adiknya. Ya, gadis cantik itu adalah Fatimah Aljazair. Fatimah berlari kecil menghampiri Bilal yang sedang duduk santai di belakang meja kasir, berusaha menampilkan wajah santainya meski dalam hati merasa sedikit gelisah.
"Ada apa nyuruh aku datang ke sini?" tanyanya, sedikit terengah-engah.
"Gak ada," jawab Bilal singkat, berusaha terlihat santai.
"Apa?!" Fatimah membulatkan matanya.
"Iya, cuma bosen aja di sini. Gak ada teman," kata Bilal, berusaha terdengar santai. Namun, jawabannya justru membuat Fatimah semakin kesal.
"Kamu tungguin ini ya, kakak mau pulang," kata Bilal, berdiri dan bersiap-siap pergi.
"Eh, gak bisa gitu!" Fatimah ingin protes, tapi melihat ekspresi kakaknya yang sudah tidak sabar, dia mengurungkan niatnya.
Bilal sudah melangkah pergi, dan Fatimah merasa kehilangan momentum untuk berbicara. "Nanti kakak beliin es krim deh, Assalamualaikum!" teriak Bilal sambil melambaikan tangan.
"Waalaikumsalam! Yang banyak sama warungnya, kalo bisa!" jawab Fatimah, tersenyum meski hatinya sedikit kesal. Dia berharap kakaknya tidak terburu-buru dan bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersamanya.
Fatimah menatap ke arah kakaknya yang sudah berjalan menjauh, merasa kesal. "Huh, kakak nyebelin! Menang ganteng doang!" gerutunya dalam hati. Dia mengerucutkan bibirnya, tak bisa menahan rasa jengkel.
"Awasa aja, aku bilangin Abi," ancamnya sambil melangkah ke arah meja kasir dengan tatapan penuh determinasi. "Abi pasti bakal marah kalau tahu kakak gak serius jaga toko."
Namun, di dalam hatinya, Fatimah tahu bahwa kakaknya, Bilal, selalu punya alasan sendiri untuk bersikap seperti itu. Meski begitu, kadang dia merasa kesal karena Bilal seolah mengabaikan tanggung jawabnya.
Fatimah kembali melihat ke arah kakaknya yang semakin menjauh. "Aku harus menemukan cara untuk membuat kakak lebih serius!" ujarnya, bertekad dalam hati. Sambil menepuk-nepuk jilbabnya yang kotor, dia memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya merangkai bunga, tetapi dengan pikiran yang masih terganggu oleh tingkah kakaknya yang nyebelin itu.
Sementara itu, Bilal berjalan santai di jalanan desa, merasa lega akhirnya bisa pergi dari toko bunga. Dia sungguh tak nyaman berada di tengah-tengah perempuan seperti tadi. Namun, pikirannya kembali teralihkan saat dia melihat seorang anak laki-laki berseragam SMP dihadang oleh tiga orang preman .
Anak laki-laki itu terlihat ketakutan, wajahnya pucat dan tangannya menggenggam kuat tas sekolahnya. Bilal merasakan gelombang keinginan untuk membantu. Dia tahu bahwa tidak baik membiarkan orang yang lebih lemah terintimidasi, apalagi di depan mata nya.