Di sebuah kota yang tampak tenang, Alvin menjalani hidup dengan rutinitas yang seolah-olah sempurna. Seorang pria berusia awal empat puluhan, ia memiliki pekerjaan yang mapan, rumah yang nyaman. Bersama Sarah, istrinya yang telah menemaninya selama 15 tahun, mereka dikaruniai tiga anak: Namun, di balik dinding rumah mereka yang tampak kokoh, tersimpan rahasia yang menghancurkan. Alvin tahu bahwa Chessa bukan darah dagingnya. Sarah, yang pernah menjadi cinta sejatinya, telah berkhianat. Sebagai gantinya, Alvin pun mengubur kesetiaannya dan mulai mencari pelarian di tempat lain. Namun, hidup punya cara sendiri untuk membalikkan keadaan. Sebuah pertemuan tak terduga dengan Meyra, guru TK anak bungsunya, membawa getaran yang belum pernah Alvin rasakan sejak lama. Di balik senyumnya yang lembut, Meyra menyimpan cerita duka. Suaminya, Baim, adalah pria yang hanya memanfaatkan kebaikan hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aufklarung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Pagi itu, Rey datang dengan wajah suram. Begitu ia membuka tas sekolahnya, sebuah surat berwarna kuning terjatuh ke lantai. Meyra yang sedang berada di ruang tamu, menyeduh teh, melihat Rey yang tampaknya kesulitan untuk menghadapinya. Dengan enggan, Rey mengambil surat tersebut dan menyerahkannya kepada Meyra.
"Meyra, aku... aku butuh bantuanmu," kata Rey dengan suara pelan, matanya tidak bisa menatap wajah ibu sambungnya.
Meyra membuka surat panggilan dari sekolah itu dan langsung terkejut membaca isinya. Rey telah terlibat dalam perkelahian di sekolah, memukul salah seorang teman sekelasnya hingga babak belur. Penyebabnya adalah foto-foto ayahnya, Alvin, yang sedang mabuk dan berpelukan dengan wanita lain yang tersebar di grup WhatsApp kelas. Ternyata, Rey tidak bisa menahan amarahnya setelah foto-foto tersebut viral di kalangan teman-temannya.
Rey seringkali mendapat surat panggilan dari sekolah karena perbuatannya yang bermasalah, dan Alvin selalu marah besar kepadanya setiap kali mendengar berita buruk. Namun, berkat bantuan teman-temannya yang memiliki pengaruh di yayasan tempat Rey bersekolah, Rey selalu berhasil menghindari pemecatan atau pengeluaran dari sekolah. Tapi kali ini, Meyra merasa ada yang berbeda. Rey tampak sangat cemas.
“Apakah papa tahu tentang ini?” tanya Meyra, mencoba memahami situasi yang sedang dihadapi oleh anak itu.
Rey menggelengkan kepala. “Jangan sampai papa tahu, Meyra. Aku tidak mau dimarahi lagi.”
Meyra menatap Rey dengan penuh perhatian. Ia tahu bahwa Rey merasa terjebak dalam situasi yang sulit. Setelah sejenak terdiam, Rey bertanya dengan ragu, “Aku... bisa panggil kamu ‘mommy’?” Rey jarang sekali berbicara dengannya, dan Meyra tahu itu adalah permintaan yang penuh harapan. Ia ingin Rey merasa nyaman dan diterima, meskipun hubungan mereka masih baru.
Meyra tersenyum lembut. “Tentu saja, Rey. Panggil aku mommy saja. Mama kalian tidak akan pernah bisa digantikan,” jawab Meyra dengan suara hangat, berharap dapat menenangkan hati anak itu.
Rey hanya mengangguk dan pergi ke kamarnya, sementara Meyra berusaha mengatur pikirannya. Ia tahu bahwa menghadapi masalah ini bukanlah hal yang mudah, tapi ia merasa harus melakukan sesuatu untuk membantu Rey.
Setelah beberapa saat, Meyra memutuskan untuk mengikuti permintaan Rey. Ia mengendarai mobil yang telah diberikan oleh Alvin untuk mengantar anak-anak. Alvin, yang jarang berada di rumah, selalu memintanya untuk mengemudi sendiri agar ia tidak terganggu dengan kegiatan anak-anak. Kali ini, mobil itu akan digunakan Meyra untuk datang ke sekolah Rey.
Sesampainya di sekolah, Meyra langsung menuju ruang BK (Bimbingan Konseling) tempat Rey dipanggil. Saat ia masuk ke dalam ruangan, guru BK yang terlihat sudah menunggu menyambutnya.
"Selamat datang, Bu. Anda pasti ibu dari Rey, kan?" tanya guru BK dengan senyum ramah.
Meyra mengangguk. “Iya, saya ibu pengganti Rey, atau bisa dipanggil mommy-nya,” jawab Meyra dengan suara lembut namun penuh keyakinan.
Tak lama, Rey dipanggil ke dalam ruangan dan duduk di sebelah Meyra. Guru BK mulai menjelaskan kronologi kejadian tersebut. Ternyata, Rey memukul kawannya karena foto-foto ayahnya, Alvin, yang beredar luas di grup WhatsApp kelas. Foto-foto itu sangat memalukan, memperlihatkan Alvin yang tengah mabuk dan berpelukan dengan wanita lain. Rey merasa sangat dihina dan tidak bisa menahan amarahnya, hingga terjadi perkelahian yang mengakibatkan kawannya terluka.
Meyra terdiam mendengarkan penjelasan guru BK. Ia merasa terkejut, namun berusaha tetap tenang. Ia menyadari betapa berat beban yang ditanggung oleh Rey. Sebagai anak, Rey tidak hanya harus menghadapi kesulitan di sekolah, tetapi juga dalam keluarga. Meyra merasa sangat prihatin dengan keadaan ini.
Tiba-tiba, pintu ruang BK terbuka, dan datanglah orang tua dari anak yang dipukul oleh Rey. Mereka tampak marah, wajah mereka penuh dengan kekecewaan.
“Keluarga Rey adalah keluarga yang bermasalah!” teriak ibu dari anak yang dipukul. “Anaknya tidak bisa dikendalikan! Kalau kalian tidak bisa mendidik anak, kami akan melapor ke pihak berwajib!”
Meyra tidak terkejut dengan reaksi orang tua itu, tetapi ia tahu ini adalah saat yang tepat untuk menunjukkan ketegasannya. Dengan suara yang tenang namun tegas, ia berdiri dan menatap ibu dari anak yang dipukul.
“Rey tidak akan memukul anak Anda kalau dia tidak merasa dipermalukan oleh foto-foto ayahnya yang tersebar begitu saja. Anda tidak tahu apa yang kami hadapi di rumah, dan ini bukan urusan Anda. Jadi, tolong jangan campuri masalah keluarga kami,” ujar Meyra dengan percaya diri.
Semua orang di ruangan itu terdiam. Rey menatap ibunya dengan penuh rasa terharu. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar membelanya dan memahami apa yang ia rasakan. Dalam hatinya, Rey merasa bangga memiliki ibu sambung seperti Meyra.
Setelah keheningan beberapa saat, Meyra melanjutkan, “Tolong ingat, menyebarkan foto-foto pribadi orang lain tanpa izin adalah pelanggaran. Ini melanggar Undang-Undang ITE, dan jika Anda melanjutkan tindakan ini, saya tidak akan segan untuk mengambil langkah hukum.”
Meyra berbicara dengan penuh keyakinan, dan Rey tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Ia merasa, untuk pertama kalinya, ada seseorang yang tidak hanya peduli padanya, tetapi juga siap membela dirinya.
Setelah diskusi panjang, akhirnya diputuskan bahwa Rey dan teman yang dipukul akan mendapatkan hukuman diskors selama dua minggu. Namun, hukuman ini tidak sepenuhnya menghalangi mereka untuk belajar. Mereka tetap harus mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh sekolah, dan setiap hari Meyra akan mengumpulkan tugas Rey pada wali kelasnya, Bapak Brian.
Meyra meminta nomor telepon Bapak Brian, yang dengan senang hati memberikannya. "Terima kasih, Bu Meyra. Kami akan bekerja sama untuk membantu Rey agar bisa kembali ke jalur yang benar," ujar Bapak Brian.
Setelah selesai, Rey dan Meyra meninggalkan ruang BK. Rey berjalan di samping ibunya, merasa lega meskipun masih ada rasa bersalah yang mengganjal.
“Terima kasih, mommy,” kata Rey pelan, masih tidak percaya dengan pembelaan yang diberikan Meyra kepadanya. “Aku nggak tahu apa yang akan terjadi kalau kamu nggak datang tadi.”
Meyra tersenyum dan menyentuh bahu Rey. “Itu tugas ibu, Rey. Aku di sini untukmu. Kalau ada masalah, kamu bisa bicarakan denganku. Jangan diam saja seperti yang selama ini kamu lakukan.”
Rey mengangguk, merasa sedikit lebih ringan. Mereka berjalan keluar dari sekolah dan menuju mobil Meyra yang sudah menunggu di depan gerbang. Rey tahu bahwa meskipun kehidupannya masih penuh dengan cobaan, kini ia tidak lagi merasa sendirian.
Saat Meyra mengemudikan mobil, Rey duduk di kursi samping, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia memiliki keluarga yang peduli padanya. Sebuah harapan baru mulai tumbuh di hatinya—harapan bahwa ia bisa menemukan jalan keluar dari kekacauan yang selama ini mengelilinginya, dan itu dimulai dengan keberanian Meyra untuk mendukungnya.
Rey yang tadinya enggan untuk berbicara dengan Meyra, kini membuka percakapan dengan lebih santai. Mereka berjalan menuju mobil, dan Rey dengan semangat tiba-tiba berbalik dan berkata, “Mommy, gimana kalau kita makan siang di café yang biasa aku nongkrong? Aku yang traktir. Soalnya, udah lama banget nggak nongkrong bareng. Pasti kamu nggak sempat ke sana kan?”
Meyra terkejut mendengar ajakan Rey. Ia tidak menyangka bahwa anak itu, yang sering menunjukkan sikap dingin dan enggan berbicara dengannya, akan mengundangnya untuk makan siang bersama. Namun, ia merasa senang dan tak ingin menolak. “Wah, Rey, kamu mau traktir mommy? Baiklah, aku nggak akan menolaknya,” jawab Meyra dengan senyum hangat.
Rey tersenyum kecil, merasa bangga bisa mentraktir Meyra untuk pertama kalinya. Mereka berdua kemudian masuk ke dalam mobil, dan Rey mengarahkan Meyra menuju café yang sering ia kunjungi. Café itu terletak tidak jauh dari sekolah, sebuah tempat yang cukup populer di kalangan anak-anak muda di sekitar daerah itu. Suasananya nyaman, dengan dekorasi yang simpel namun penuh dengan vibe santai.
.“Jadi, Rey, kamu sering datang ke sini ya?” tanya Meyra sambil membuka menu di depannya.
Rey mengangguk, “Iya, sering banget. Teman-teman aku juga sering nongkrong di sini. Cuma biasanya aku lebih sering datang sendirian. Kadang pengen lebih tenang aja.”
Meyra tersenyum dan mengangguk, mencoba memahami perasaan Rey. “Pasti enak ya, bisa punya waktu sendiri seperti itu. Mommy belum pernah ada waktu buat nongkrong di tempat kayak gini. Biasanya kerja terus, jadi nggak sempat mikirin tempat hangout.”
Rey menatap Meyra dan sedikit terkejut mendengar kata-kata Meyra. Ia tak menyangka bahwa ibu sambungnya akan berbicara tentang kehidupannya yang sibuk dan selalu bekerja. “Tapi, mommy kan punya waktu untuk keluarga, kan? Seperti sekarang ini, udah datang dan nggak sibuk sama kerjaan lagi, kan?” Rey bertanya dengan nada penuh perhatian.