Ceritanya berkisar pada dua sahabat, Amara dan Diana, yang sudah lama bersahabat sejak masa sekolah. Mereka berbagi segala hal, mulai dari kebahagiaan hingga kesedihan. Namun, semuanya berubah ketika Amara menikah dengan seorang pria kaya dan tampan bernama Rafael. Diana yang semula sangat mendukung pernikahan sahabatnya, diam-diam mulai merasa cemburu terhadap kebahagiaan Amara. Ia merasa hidupnya mulai terlambat, tidak ada pria yang menarik, dan banyak keinginannya yang belum tercapai.
Tanpa diketahui Amara, Diana mulai mendekati Rafael secara diam-diam, mencari celah untuk memanfaatkan kedekatannya dengan suami sahabatnya. Seiring berjalannya waktu, persahabatan mereka mulai retak. Amara, yang semula tidak pernah merasa khawatir dengan Diana, mulai merasakan ada yang aneh dengan tingkah sahabatnya. Ternyata, di balik kebaikan dan dukungan Diana, ada keinginan untuk merebut Rafael dari Amara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26
Rafael dan Diana melangkah keluar dari rumah Amara dengan langkah yang berat. Wajah mereka terlihat kusut, namun di balik itu, ada secercah rasa lega yang mulai merayap di hati mereka. Mereka tahu, datang ke sana dan mengakui kesalahan adalah langkah besar yang harus mereka ambil, meski tidak ada jaminan bahwa Amara akan memaafkan mereka.
Diana menghela napas panjang sambil melirik Rafael yang tampak termenung. "Setidaknya kita sudah melakukannya, Mas," ucapnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri lebih dari siapa pun.
Rafael hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Dalam hati, dia tahu bahwa meminta maaf tidak akan menghapus semua luka yang telah mereka buat. Namun, baginya, ini adalah awal dari sesuatu yang baru—kesempatan untuk memperbaiki pernikahannya dengan Diana dan mencoba hidup tanpa bayang-bayang masa lalu.
Mereka terus berjalan menuju mobil, tanpa peduli apakah Amara benar-benar memaafkan mereka atau tidak. Yang mereka tahu, mereka telah melakukan hal yang benar—meminta maaf dan mengakui kesalahan mereka.
Saat pintu mobil tertutup, Diana memejamkan matanya sejenak. "Aku harap ini cukup untuk memulai kembali," gumamnya, meski tak yakin siapa yang sebenarnya sedang ia yakinkan, dirinya sendiri atau Rafael.
Rafael menyalakan mesin mobil, lalu melirik Diana. "Yang penting sekarang, kita fokus untuk memperbaiki hidup kita. Amara sudah kita lepaskan, sekarang saatnya kita melangkah tanpa melihat ke belakang lagi."
Mobil itu melaju pelan meninggalkan halaman rumah Amara, membawa mereka menuju awal yang baru, dengan harapan bahwa kehidupan mereka akan membaik setelah ini.
Amara duduk termenung di ruang tamu setelah Rafael dan Diana pergi. Hatinya terasa berat. Ada rasa sakit yang belum sepenuhnya hilang, meskipun waktu telah berlalu. Bagaimana mungkin dia bisa begitu mudah memaafkan mereka setelah semua yang terjadi? Namun, di sisi lain, dia tahu bahwa memendam kebencian hanya akan menyiksa dirinya sendiri.
"Aku bingung, Kak," Amara akhirnya membuka suara, menatap Liana yang duduk di sebelahnya. "Hati kecilku menolak untuk memaafkan mereka. Rasanya seperti aku mengkhianati diriku sendiri jika aku melakukannya. Tapi... aku juga sadar, terus memendam semua ini tidak akan membuatku lebih baik."
Liana menghela napas panjang, lalu meraih tangan adiknya dengan lembut. "Ra, aku tahu ini tidak mudah. Mereka memang sudah menyakitimu, dan wajar kalau kamu merasa seperti ini. Tapi memaafkan bukan berarti melupakan atau membiarkan mereka lepas dari tanggung jawab. Ini lebih tentang kamu, Ra. Tentang bagaimana kamu bisa melepaskan beban di hati dan melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang masa lalu."
Amara terdiam, mencoba mencerna kata-kata kakaknya.
Liana melanjutkan dengan nada yang lebih lembut. "Ra, kamu punya Ferdi sekarang. Dia selalu ada untukmu, selalu mendukungmu. Jangan biarkan luka lama ini menghancurkan kebahagiaanmu yang baru. Fokuslah pada hidupmu, pada apa yang benar-benar penting."
Amara menghela napas, lalu mengangguk pelan. Kata-kata kakaknya memang masuk akal. Tidak ada gunanya terus memikirkan Rafael dan Diana. Mereka sudah membuat pilihan mereka, dan sekarang adalah saatnya Amara membuat pilihannya sendiri—untuk hidup dengan tenang dan bahagia.
Dia memejamkan mata sejenak, membayangkan senyum Ferdi yang selalu berhasil menenangkan hatinya. Perlahan, Amara merasa ada sedikit kelegaan dalam dadanya. Mungkin ini saatnya dia benar-benar melangkah maju. "Kak, mungkin aku butuh waktu. Tapi aku akan mencoba. Aku tidak mau hidupku terus terikat oleh masa lalu."
Liana tersenyum, menepuk bahu Amara dengan penuh kasih. "Itu keputusan yang tepat, Ra. Kamu berhak bahagia. Jangan biarkan siapa pun merenggut itu darimu lagi."
Amara tersenyum tipis, meskipun hatinya masih diliputi keraguan. Setidaknya, dia tahu langkah pertama yang harus diambil: melepaskan masa lalu dan membuka hati untuk masa depan.
Keesokan harinya, Amara melangkah dengan percaya diri menuju kantornya. Pekerjaan yang dulu terasa berat kini menjadi sesuatu yang bisa dia atasi sendiri. Setelah melewati berbagai rintangan, Amara telah belajar mengelola perusahaan dengan baik. Dia mulai memahami tanggung jawabnya sebagai pemimpin dan menemukan caranya sendiri untuk menjalankan bisnis dengan lebih efektif.
Di sisi lain, Ferdi telah dipindahkan ke perusahaan lain oleh Oma. Perusahaan tersebut membutuhkan seseorang dengan kemampuan seperti Ferdi, dan Oma merasa yakin mempercayakan tanggung jawab besar itu kepadanya. Meski harus berpisah dari Amara di tempat kerja, Ferdi tetap menjaga hubungannya dengan Amara. Baginya, dukungan dan cinta mereka tidak tergantung pada jarak atau situasi.
Liana, yang sebelumnya sempat berharap pada Ferdi, kini memutuskan untuk fokus pada kariernya. Dia menyadari bahwa melepaskan Ferdi adalah pilihan terbaik, terutama demi kebahagiaan Amara. Sebagai kakak, Liana tahu bahwa melindungi perasaan adiknya lebih penting daripada mempertahankan perasaan pribadinya.
Dengan semua perubahan ini, kehidupan mulai menemukan keseimbangannya. Amara semakin kuat dan mandiri, Ferdi terus menunjukkan loyalitas dan kemampuan luar biasa di perusahaan barunya, dan Liana menemukan kepuasan dalam kesuksesan kariernya. Meski jalan mereka masing-masing berbeda, mereka semua tetap saling mendukung dan berusaha menjalani kehidupan dengan sebaik mungkin.
Hari itu, Liana sedang terburu-buru menuju lokasi pemotretan. Waktu sudah menunjukkan bahwa dia terlambat, dan bayangan teguran dari tim produksi membuatnya semakin panik. Dengan langkah cepat, dia melangkah melewati trotoar menuju zebra cross. Namun, saat menyebrang, dari arah depan muncul mobil hitam yang melaju dengan kecepatan tinggi.
Alih-alih berlari, Liana justru berteriak spontan karena panik, "Hei! Berhenti!"
Mobil itu mendadak mengerem dengan suara decit ban yang keras, berhenti hanya beberapa meter dari tempat Liana berdiri. Nafas Liana terengah-engah, dan jantungnya berdebar keras. Dari dalam mobil, pintu terbuka, dan keluarlah seorang pria bule bertubuh tinggi dengan penampilan rapi dan wajah yang tampan.
"Are you okay, miss?" tanyanya dengan aksen Inggris yang kental, ekspresinya tampak khawatir meskipun nada suaranya tenang.
Liana menatap pria itu sejenak, masih berusaha mengendalikan adrenalinnya. Dia mengangguk, meskipun suaranya belum keluar. "I... I'm fine. Just... surprised," katanya dengan terbata-bata.
Pria itu mengamati Liana, memastikan bahwa dia benar-benar tidak terluka. "I'm sorry for scaring you. I wasn't going too fast, but still, I should've been more careful," ucapnya lagi.
Liana menggeleng cepat. "No, no, it's my fault. I wasn't paying attention either."
Pria itu tersenyum tipis, terlihat lega bahwa tidak ada yang terluka. "Let me at least give you a ride. You look like you're in a hurry," katanya sambil membuka pintu mobilnya.
Liana terkejut dengan tawarannya. Dia sempat ragu, tapi mengingat dia sudah terlambat dan tak ada waktu untuk berdebat, akhirnya dia mengangguk pelan. "Okay, thank you."
Dia masuk ke dalam mobil, dan pria itu segera melajukan kendaraan. "By the way, I'm Andrew," ucap pria itu sambil melirik sekilas ke arah Liana.
"Liana," jawab Liana singkat, masih mencoba mengatur pikirannya yang kacau.
Perjalanan yang singkat itu justru membuka percakapan kecil di antara mereka. Andrew ternyata adalah seorang fotografer yang baru saja tiba di kota itu untuk sebuah proyek besar. Entah kenapa, meski pertemuan mereka dimulai dengan insiden yang menegangkan, ada sesuatu yang membuat Liana merasa nyaman berbicara dengan Andrew.
Dan tanpa dia sadari, pertemuan itu adalah awal dari sesuatu yang mungkin bisa mengubah hidupnya.