Cintia tumbuh di lingkungan yang penuh luka—bukan cinta yang ia kenal, melainkan pukulan, hinaan, dan pengkhianatan. Sejak kecil, hidupnya adalah derita tanpa akhir, membuatnya membangun dinding kebencian yang tebal. Saat dewasa, satu hal yang menjadi tujuannya: balas dendam.
Dengan cermat, ia merancang kehancuran bagi mereka yang pernah menyakitinya. Namun, semakin dalam ia melangkah, semakin ia terseret dalam kobaran api yang ia nyalakan sendiri. Apakah balas dendam akan menjadi kemenangan yang ia dambakan, atau justru menjadi neraka yang menelannya hidup-hidup?
Ketika masa lalu kembali menghantui dan batas antara korban serta pelaku mulai kabur, Cintia dihadapkan pada pilihan: terus membakar atau memadamkan api sebelum semuanya terlambat.
Ikuti terus kisah Cintia...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maurahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31 HATI YANG MELULUHKAN
★★★
Angin malam berembus pelan, membelai rambut Cintia yang tergerai. Tangannya masih menyentuh jemari Araf, ringan, ragu-ragu, seolah takut jika ia terlalu kuat menggenggam, semuanya akan hilang.
Araf tetap diam. Ia tidak menarik diri, tidak bergerak lebih dekat. Hanya membiarkan kehadirannya berbicara lebih banyak dari kata-kata.
Cintia mengangkat wajahnya, menatap Araf dalam remang lampu taman. "Kamu nggak takut?" tanyanya lirih.
Araf mengernyit sedikit. "Takut apa?"
"Takut aku nggak akan bisa berubah. Takut aku tetap memilih balas dendam daripada kamu."
Araf tersenyum kecil, ekspresinya tenang. "Aku tahu satu hal, Cin. Kamu nggak akan di sini kalau kamu nggak ingin berubah."
Cintia menggigit bibirnya. Ia ingin menyangkal, tapi hatinya tahu Araf benar. Ada sesuatu dalam dirinya yang mulai retak, perlahan tapi pasti.
"Aku nggak tahu, Raf..." bisiknya. "Aku nggak tahu caranya jadi seseorang yang bukan dipenuhi dendam."
Araf menggeser jemarinya, perlahan menggenggam tangan Cintia. Kali ini lebih erat. Lebih nyata.
"Kamu nggak harus tahu sekarang," katanya lembut. "Tapi kamu nggak sendiri."
Cintia menatap tangan mereka yang kini saling menggenggam. Hangat. Sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.
"Kalau aku jatuh lagi?"
"Aku akan ada di sini," jawab Araf tanpa ragu.
Cintia mendesah, seolah mencoba melepaskan beban yang menyesakkan dadanya selama ini. "Kamu terlalu baik buat aku, Raf."
Araf terkekeh. "Mungkin. Tapi aku tetap memilih kamu."
Hening. Tapi kali ini bukan hening yang menyesakkan. Ini adalah hening yang mengizinkan mereka merasakan sesuatu yang selama ini mereka abaikan.
Perlahan, Cintia bersandar di bahu Araf. Tidak ada kata-kata lagi, hanya detak jantung yang pelan-pelan menemukan irama yang lebih tenang.
Dan untuk malam ini, ia membiarkan dirinya percaya.
Mungkin, hanya mungkin, ada sesuatu yang lebih dari sekadar balas dendam.
★★★
Malam semakin larut, tapi Cintia tidak ingin beranjak. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang terasa seperti selamanya, ia merasakan sesuatu selain kemarahan. Sesuatu yang lebih lembut, lebih hangat.
Araf tidak berbicara lagi. Ia hanya membiarkan Cintia bersandar, memberikan ruang bagi pikirannya yang penuh pertarungan.
Cintia menghela napas. "Aku nggak ingat kapan terakhir kali merasa seperti ini."
"Seperti apa?" tanya Araf pelan.
Cintia mengangkat wajahnya sedikit, menatap langit malam. "Seperti aku bisa berhenti. Seperti... aku punya tempat buat pulang."
Araf tersenyum kecil. "Kamu selalu punya tempat buat pulang, Cin. Kamu cuma belum sadar."
Cintia menatapnya, dan untuk sesaat, pikirannya kacau. Araf selalu ada. Selalu menunggunya di sini. Ia sudah melihat sisi tergelap Cintia, tetapi tetap memilih bertahan.
"Coba kamu nggak ada..." gumam Cintia. "Aku mungkin udah kelewatan batas."
Araf menatapnya lembut. "Tapi aku ada. Dan aku akan tetap ada."
Hatinya mencelos. Seharusnya ia tidak merasa seperti ini. Seharusnya ia tetap fokus pada rencananya, pada balas dendam yang sudah ia susun begitu lama. Tapi mengapa kini semuanya terasa begitu berbeda?
Cintia menggigit bibirnya, menimbang sesuatu di pikirannya. Lalu, dengan sedikit ragu, ia mengangkat tangan, menyentuh wajah Araf perlahan.
Araf tidak terkejut, tidak mundur. Ia hanya menatapnya, menunggu.
Dan ketika Cintia akhirnya mendekat, bibir mereka bertemu dalam ciuman yang lembut—bukan penuh gairah, bukan tergesa-gesa. Hanya keinginan untuk merasa. Untuk percaya bahwa ia masih bisa merasakan sesuatu selain kebencian.
Araf membalasnya dengan sabar, seperti memberi tahu Cintia bahwa ia punya waktu. Bahwa ia tidak perlu buru-buru memutuskan apa pun.
Saat mereka berpisah, Cintia menutup mata, menghela napas panjang. "Aku takut, Raf."
Araf mengusap pipinya perlahan. "Aku juga. Tapi nggak apa-apa. Kita bisa takut sama-sama."
Cintia tersenyum kecil, lalu kembali menyandarkan kepalanya di bahu Araf.
Mungkin, hanya mungkin, ia bisa belajar mencintai sesuatu selain dendam.
★★★
Cintia masih bersandar di bahu Araf, merasakan detak jantungnya yang stabil, berbeda dengan miliknya yang masih terasa kacau. Malam semakin larut, dan angin semakin dingin, tapi kehangatan dari genggaman Araf tetap ada.
Ia tidak ingin bergerak. Tidak ingin melepaskan momen ini. Seakan jika ia bergerak sedikit saja, semuanya akan hancur, seperti gelembung sabun yang pecah di udara.
Araf membiarkannya diam, memberikan ruang untuknya merasa. Tidak ada tuntutan, tidak ada paksaan. Hanya kehadiran yang nyata.
Setelah beberapa saat, Cintia akhirnya berbisik, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku nggak tahu apa yang akan terjadi kalau aku benar-benar mencoba berhenti."
Araf tidak langsung menjawab. Ia hanya mengeratkan genggaman tangannya, seolah ingin memastikan bahwa Cintia tahu ia masih di sana. "Berhenti itu nggak harus berarti menyerah, Cin. Kadang, berhenti itu berarti memilih jalan yang lebih baik."
Cintia tersenyum kecil, meskipun ada kepahitan di dalamnya. "Dan menurut kamu, jalan yang lebih baik itu apa?"
Araf menatapnya dalam. "Aku nggak akan bilang kamu harus berhenti balas dendam kalau itu yang kamu yakini. Aku cuma mau kamu tahu, kamu nggak harus melakukannya sendirian. Kamu punya aku."
Kata-kata itu menusuk jauh ke dalam hatinya. Cintia menatap mata Araf, mencari kebohongan, mencari keraguan. Tapi yang ia temukan hanya kejujuran.
"Kamu percaya aku masih bisa diselamatkan?" tanyanya akhirnya.
Araf tersenyum, sudut matanya sedikit melembut. "Aku percaya kamu yang aku kenal masih ada di sana."
Cintia menghela napas panjang, menatap langit yang penuh bintang. "Kamu terlalu baik buat aku, Raf."
"Aku bukan baik. Aku cuma seseorang yang nggak mau kehilangan kamu," jawab Araf tenang.
Hatinya bergetar. Kata-kata itu sederhana, tapi begitu dalam.
Tanpa sadar, jemarinya menggenggam tangan Araf lebih erat, mencari sesuatu yang bisa menahannya di sini, dalam kenyataan ini.
Lalu, tanpa ia sadari, tubuhnya bergerak sendiri. Ia mendekat, membiarkan dahinya menyentuh bahu Araf.
"Aku nggak bisa menjanjikan apa-apa," bisiknya.
"Aku nggak minta janji. Aku cuma minta kamu kasih dirimu sendiri kesempatan."
Cintia menutup mata. Begitu banyak hal yang berputar di kepalanya, begitu banyak ketakutan yang masih menghantuinya. Tapi di antara semua itu, ada Araf. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar melihatnya.
Hening kembali menyelimuti mereka, tapi kali ini bukan hening yang penuh kesedihan. Ini adalah hening yang menghangatkan.
Araf mengangkat tangan, jemarinya dengan lembut menyentuh pipi Cintia, menghapus helai rambut yang jatuh ke wajahnya. "Mungkin kamu nggak harus memilih sekarang. Tapi aku harap, kalau suatu hari kamu siap memilih, aku masih ada dalam pilihan itu."
Jantung Cintia berdetak lebih cepat.
Tanpa berpikir, ia mengangkat wajahnya, menatap mata Araf lebih dekat. Napas mereka hampir menyatu.
"Aku takut, Raf," bisiknya.
Araf tersenyum kecil. "Aku tahu."
Lalu, seperti ada kekuatan tak terlihat yang menariknya, Cintia menutup jarak di antara mereka. Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang jauh lebih dalam dari sebelumnya. Tidak tergesa-gesa, tidak penuh gairah yang membutakan. Tapi ciuman yang lembut, yang penuh dengan keraguan dan harapan di saat yang bersamaan.
Araf membiarkannya mengambil kendali, tidak menuntut lebih, tidak meminta apa pun selain yang Cintia bersedia berikan.
Saat mereka akhirnya berpisah, Cintia menatap Araf dengan tatapan yang berbeda. Masih ada ketakutan di sana, tapi kini ada sesuatu yang lain.
Keinginan.
Keinginan untuk percaya.
Keinginan untuk mencoba.
"Aku nggak tahu apakah aku bisa jadi orang yang lebih baik," katanya pelan.
Araf mengusap pipinya dengan lembut. "Kamu nggak harus jadi lebih baik untuk aku, Cin. Kamu cukup jadi dirimu sendiri."
Hatinya mencelos.
Dan untuk malam ini, ia membiarkan dirinya percaya.
kebanyakan dari lingkungan gw, ya emang gitu. baik support kita nyatanya orang yg seperti itu yg berbahaya. Keren Thor.
aku mampir kak, kalau ada waktu boleh lah support balik ke karya baru aku ok👌🤭