Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 15. Pov Bastian.
Aku barusan mengunci pintu setelah melepas kepergian teman-temanku. Malam itu aku bersama teman menghabiskan malam mingguan di rumahku. Biasalah para jomblo kadaluarsa kalau ngumpul pasti bawaannya ngobrol sampai pagi tidak lupa minum-minum walau tidak sampai mabuk. Sehingga rumahku jadi berantakan dengan sampah camilan yang berserakan. Bahkan kursi juga sampai ada yang terbalik. Bantal kursi terlempar kesegala arah.
Aku bermaksud membersihkannya sebelum pergi tidur. Saat aku mencari sapu di ruang belakang, suara ponselku memanggil. Sedikit heran siapa yang menghubungi ku dini hari begini. Kuabaikan panggilan itu, lanjut mencari sapu yang entah dimana diselipkan oleh Bi Sumi.
Sebenarnya aku punya asisten rumah tangga yang datang setiap pagi. Memasak dan membersihkan rumahku. Tapi aku merasa tak enak kalau Bi Sumi yang akan membersihkan rumah yang kacau atas ulah teman-temanku. Selain karena beliau sudah tua, aku kasihan juga.
Kembali suara ponselku memanggil. Bergegas aku ke ruang tamu, mungkin saja ada temanku yang ketinggalan barang. Jadi aku disuruh menyimpannya.
Aku meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Membuka aplikasi berlambang telepon hijau.
Mbak Rania adalah nama yang tertulis disana. Aku mengernyitkan keningku. Buat apa Mbak Rania menghubungi dini hari begini. Tapi panggilan sudah terputus karena aku telat mengangkatnya.
"Bastian, tolong aku!" sebuah notif muncul membuatku kaget tak kepalang. Apa yang terjadi pada Rania? Tanpa pikir panjang buru-buru aku mengambil kunci mobil. Mungkinkah Rania dalam bahaya?
Dalam perjalan aku mencoba meneleponnya tapi tidak diangkat. Membuatku semakin panik saja. Lalu aku mengirim pesan menanyakan keberadaannya yang segera dibalas kalau suaminya hendak memperk*s*nya. Jelas aku bingung membaca pesan itu.
Suami sendiri hendak memperk*s* istrinya. Apa-apan itu! Mungkin Rania mengalami KDRT. Menyadari hal itu, aku segera tancap gas menuju rumah Arbi sahabatku.
Benakku diselimuti ribuan tanda tanya.
Aku teringat saat pertama kali bertemu Rania di resepsi pernikahan teman sejawatku, dan ternyata masih famili Arbian. Di pesta itulah aku pertama kali bertemu Arbian setelah bertahun-tahun tidak saling kontak.
Aku sangat kaget saat Arbi mengenalkan istrinya padaku. Seraut wajah yang menyeretku kembali ke masa lalu.
"Rania." ucapnya seraya tersenyum. Membuatku nyaris melayang karena wajah itu telah membetot seluruh kesadaranku. Wajah yang mirip dan namanya juga.
Kalau bukan karena dia telah pergi untuk selamanya bertahun-tahun yang lalu, mungkin aku akan mengira mereka adalah orang yang sama. Tapi Riani telah pergi dalam pelukanku kala itu. Penyakit kanker otak telah membawanya pergi selamanya dari hidupku. Namun, kenangan bersama dirinya tidak pernah mati.
Selain karena dia mirip kekasihku Riani, aku juga kaget kenapa Arbian tidak menikah dengan Gladys. Gladys adalah pacar Arbian sejak awal masuk kuliah. Keduanya lengket seperti lem dan kertas.
Begitu sampai di tempat tinggal Rania aku bergegas keluar menuju rumah Rania. Aku memarkir mobil di pinggir jalan di ujung gang. Karena agak sulit memutar jika aku bawa masuk mobil hingga depan rumah Rania.
Baru juga kaki berjalan beberapa langkah, aku melihat sesok tubuh berlari ke arahku. Aku bersembunyi disamping sebuah rumah. Karena gelap aku pasti tidak terlihat saat sembunyi. Aku ingin memastikan apakah sosok yang berlari itu Rania atau bukan.
Saat Rania celingukan mencari tempat bersembunyi, aku langsung menarik tubuhnya dan membekap mulutnya agar tidak berteriak. Terlebih aku melihat sosok lain berlari sempoyongan mengejarnya.
Rania meronta dalam pelukanku, napasnya memburu karena ketakutan. Setelah aku beritahu siapa diriku Rania tenang kembali. Detik berikutnya, Arbian muncul dihadapan kami. Dia menatap ke arah kami yang menahan napas saking takutnya ketahuan. Karena jarak yang begitu dekat, pastinya dia akan mendengar des*h nafas kami.
Setelah memastikan tidak ada hal yang mencurigakan, Arbian balik ke arah rumahnya. Bersaman aku dan Rania menghela nafas lega. Kubawa dia ke rumah untuk melindunginya sementara waktu. Sekalian ingin tau apa yang terjadi sesungguhnya.
Aku sangat kaget luar biasa saat Rania menuturkan kronologi yang menimpanya. Juga status pernikahan mereka yang hanya diatas kertas saja. Aku gregetan mendengar cerita itu. Tidak menduga kalau Arbian seorang suami pengecut.
Memang sejak awal bertemu aku merasakan sesuatu yang ganjil dari sikap Arbian. Saat mengobrol denganku beberapa kali aku melihat dirinya tidak nyaman. Dia selalu menatap ke satu arah, tapi tidak ke arah istrinya duduk.
Juga saat melihat Rania, meski dia tersenyum ramah tapi senyumnya terlihat kosong. Tidak seperti senyum seorang istri yang merasakan kebahagian. Gestur tubuhnya cukup jelas bercerita. Ada kepura-puraan yang tergambar jelas di mataku. Entah aku yang terlalu berlebihan menilai. Nyatanya, kenyataannya kini benar adanya.
Aku tidak habis pikir, bagaimana Arbian sanggup melakukan itu. Terlebih Rania, bisa bertahan hingga satu tahun usia pernikahan mereka. Terlepas dari perjanjian pra nikah yang mereka sepakati. Semua Arbian lakukan demi cintanya pada orang tuanya. Tetapi menghianati mereka sekaligus.
Entah seperti apa nanti reaksi orang tuanya mengetahui semua itu. Pastinya banyak hati yang akan terluka. Orang tua kedua belah akan syok mengetahui kebenaran itu.
Keesokan harinya aku sengaja mendatanginya ke kantor perusahaannya. Selain karena penasaran dengan ulah Arbian. Juga ada hal penting menyangkut pekerjaan.
Aku menelepon Arbian lebih dulu untuk memastikan dia masuk kerja. Setelah mendapat jawaban aku menyatakan akan mampir sebentar.
Disaat aku bertemu Arbian, aku melihat penampilannya yang kusut. Dasi yang dilonggarkan, juga kemeja yang asalan saja dimasukkan ke dalam celana. Padahal biasanya Arbi selalu tampil rapi. Diwajahnya masih nampak jelas efek dari minum alkohol.
"Hai, Bro. Apa khabar," sapaku basa-basi. Pura-pura tidak tau masalahnya yang sedang dia hadapi.
"Biasalah," sahutnya lesu.
"Sepertinya ada masalah?" ungkitku mencoba memancing. Arbian melepas dasi yang melilit sekenanya di lehernya.
"Istriku minggat dari rumah." ucapnya to the point. Dia menarik nafas seolah melepaskan beban hatinya.
"Kalian ada masalah? Trus Mbak Rania dimana sekarang?" aku turut prihatin.
"Tepatnya aku yang membuat masalah, Bas. Sehingga Rania minggat," helanya dengan mimik penuh penyesalan. Lalu Arbian bercerita panjang lebar tentang rumah tangganya. Aku menyimak penuh perhatian.
"Sejak kejadian malam itu aku tidak bicara pada Rania. Aku tau dia pasti sakit hati dan marah padaku. Sebelumnya dia sudah memintaku untuk jujur saja pada orang tuaku. Aku panik dan takut kalau Rania akan bicara. Semalam aku benar-benar frustasi. Lalu timbul ide gila itu.
Aku yang menghormatinya selama ini, telah menodai harga dirinya. Kupikir dengan cara itu akan menyelesaikan masalahku. Aku juga tidak ingin Rania pergi."
"Kamu benar-benar bajingan, Arbi." umpatku marah. Kamu tidak ingin Rania pergi, tapi kamu tidak bisa melepaskan Gladys. Dasar serakah!" ***
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor