Max Stewart, yang merupakan ketua mafia tidak menyangka, jika niatnya bersembunyi dari kejaran musuh justru membuatnya dipaksa menikah dengan wanita asing malam itu juga.
"Saya cuma punya ini," kata Max, seraya melepaskan cincin dari jarinya yang besar. Kedua mata Arumi terbelalak ketika tau jenis perhiasan yang di jadikan mahar untuknya.
Akankah, Max meninggalkan dunia gelapnya setelah jatuh cinta pada Arumi yang selalu ia sebut wanita ninja itu?
Akankah, Arumi mempertahankan rumah tangganya setelah tau identitas, Max yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chibichibi@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mafia 35
"Kerja yang bagus. Sekarang, hanya akulah yang pantas berkuasa. Aku harus berterima kasih dengan arwah Oliver Zang," kata pria yang bernama Ma yang masih keturunan Tionghoa itu. Dia merupakan saudara satu kakek dengan ibu dari, Max. Dia salah satu orang yang tidak terima akan kematian wanita itu di tangan anak angkatnya. Dan, sudah lama ingin menggulingkan kekuasaan Max Stewart.
"Tuan Ma, anda memang yang paling pantas menduduki tahta sebagai pemimpin mafia terkuat dan di takuti. Anda yang paling cerdik sekaligus licik. Anda membiarkan anak muda itu menghabisi semua pesaing kita. Sehingga, tangan anda bersih dan juga hemat tenaga. Aku sangat bangga padamu, Tuan Ma," puji wanita itu yang memiliki tato naga di punggungnya.
"Semua berkat ide gilamu, kucing liarku. Kita akan memimpin dunia gelap ini bersama-sama." Setelahnya pria yang bernama Ma itu tertawa dengan keras. Hingga pada akhirnya mereka berdua melampiaskan hasrat yang di tunggangi oleh napsu setan.
Sementara itu, Arumi susah payah memapah tubuh Max yang kekar itu dengan tubuh rampingnya yang terasa sakit di mana-mana. Akan tetapi, Arumi bertekad bisa keluar dari hutan itu dan akan membawa Max pergi dari tempat ini.
Tubuh Max, semakin lemah. Pria itu bahkan semakin kesulitan untuk bernapas. Arumi semakin panik dan kembali menangis. "Mas, bertahanlah. Ayo, kita harus jalan lagi. Aku tidak mau kita semua tertembak dan mati di sini," ucap Arumi sambil menahan isaknya di tenggorokan.
Tanpa Arumi tau, bahwa Max terkena tembakan pada bagian pinggangnya. Pria itu menyembunyikannya sejak tadi. Namun, rasa sakit yang mendera serta darah yang keluar, mengakibatkan gtubuh yalemah. Ia merasa tak sanggup bertahan lagi.
"Kau, pergilah dengan dia. Tinggalkan aku di sini!" usir Max, seraya menunjuk Naima yang seketika mendelik takut. Meskipun sedang kesakitan, tetap saja tatapan Max itu menyeramkan baginya.
"Tidak, Mas. Demi Allah, apapun yang terjadi Arumi tidak akan meninggalkanmu sendirian. Seorang istri harus menemani suaminya dalam segala keadaan. Aku yakin, kita akan selamat dengan pertolongan Allah. Mari, Mas, kita sama berusaha, berdoa dan berserah pada-NYA," ucap Arumi yang kini sudah berhenti menangis.
Arumi mendudukkan Max dan menyandarkannya di batang pohon. Lalu Arumi terperangah kaget lantaran menemukan luka tembak pada pinggang suaminya. "Astagfirullah! Jadi kamu terkena tembakan, Mas!" pekik Arumi keget. Ia pun buru-buru memotong lagi bagian bawah gamisnya untuk menyumpal luka. Sedangkan, Naima juga melakukan hal yang sama pada bawah dress-nya. Arumi, merogoh saku pada pakaian suaminya untuk mencari sesuatu.
"Dimana barang itu, apakah Mas membawanya?" tanya Arumi pada suaminya yang setengah sadar itu.
"Di saku celana," jawab Max. Entah kenapa dia lupa dengan obat andalannya. Kepanikan dan rasa kehilangan membuat otaknya buntu.
Arumi akhirnya menemukan obat itu, lalu memasukkannya ke dalam mulut Max. "Ayo, telan Mas. Kamu harus kuat dan selamat. Setelah kita keluar dari hutan ini, Arumi akan membawamu ke desa kelahiranku," batin Arumi. Ia sengaja tak mengatakannya karena khawatir suaminya akan menolak. Arumi bertekad akan membawa suaminya jauh dari dunianya yang mengerikan ini.
Beberapa saat kemudian, keadaan Max, lebih baik dari sebelumnya. Keadaan hutan yang pekat dan gelap semakin menyulitkan langkah mereka bertiga. Arumi hanya bisa berdzikir di dalam hatinya. Memohon pertolongan dari Tuhannya yang maha kuasa.
Benar saja, malam ini Allah mencerahkan langit hingga bulan yang berbetuk bulat sempurna sedikit menerangi jalan setapak di hutan tersebut. Hingga, tak lama fajar menyingsing, dan Max pada akhirnya ambruk di pinggir hutan.
"Astagfirullah, Mas!" pekik Arumi ikut terjatuh juga. Karena tubuh Max yang berat, sehingga dia yang sedang memapah ikutan terpelanting.
"Nyonya, nampaknya tuan pingsan," kata Naima ikut prihatin akan keadaan majikanya ini. Tadi Naima dan Arumi sudah ikutan meminum obat penghilang rasa sakit yang Max konsumsi. Sehingga mereka bisa bertahan dari luka yang mendera tubuh keduanya. Namun, keadaan Max yang terluka parah dan kehilangan banyak darah membuat pria itu akhirnya tumbang juga.
"Naima, tolong jaga suamiku sebentar. Aku akan mencari pertolongan dengan kendaraan yang mungkin melewati pinggiran hutan ini," kata Arumi, yang dengan terpaksa meninggalkan Max dengan pelayan muda itu.
Naima mengangguk meski pun nampak gurat takut di wajahnya.
Arumi, mengedarkan pandangan ke tepian jalan pinggiran hutan yang sepi itu. Fajar belum lama menyingsing, bahkan embun masih nampak di dedaunan. Arumi mengumpulkan air embut tersebut ke dalam mulutnya. Kemudian ia berlari cepat menghampiri suaminya yang tergeletak tak berdaya. Dengan cepat, Arumi mendongakkan wajah Max, lalu mendekatkan bibirnya.
Arumi, memberi minum suaminya dari mulutnya langsung. "Maaf, Mas. Hanya dengan cara ini Arumi bisa memberikan air padamu. Sadarlah," ucapnya pelan penuh harapan. Naima yang melihat adegan itu meneteskan air matanya. Betapa ia melihat kesungguhan hati dan kasih sayang dari istri majikannya ini, meskipun ia telah mendapatkan perlakuan tak hormat dan kasar dari Max.
Perlahan-lahan, kedua mata Max terbuka. Tatapan sayu itu menatap Arumi dalam. "Pergilah. Aku pasti akan mati." Max, kembali mengusir Arumi dengan suaranya yang lemah.
"Mas, tidak ada satupun manusia atau mahluk hidup lainnya yang tau kapan kematiannya. Sejatinya, nyawa dan ruh kita ini hanyalah milik Allah," ucap Arumi menguatkan dadanya yang sesak. Rasa cintanya yang mulai tumbuh untuk Max, membuat ada rasa tak rela jika dirinya harus kehilangan pria itu.
Max, menyeringai dengan keadaannya yang lemah itu. "Tuhan, tidak pernah berpihak padaku. Dia kali ini mengalahkanku. Biarkan aku menemuinya dan mengajukan banding akan segala penderitaanku selama di dunia!" tukas Max, dengan napas yang mulai susah.
"Berhentilah menyalahkan, Allah atas segala yang terjadi dalam hidupmu, Mas. Bertaubatlah, dan mohon keselamatan. Semoga Allah, memberikanmu waktu untuk kembali ke jalan yang lurus. Semoga Allah masih memberikanmu kesempatan untuk merasakan iman dan Islam dengan sebenar-benarnya," tutur Arumi, penuh harap dengan tatapannya yang tak lepas dari Max saat ini.
Tanpa ia sadari, ada sosok gadis muda yang mengangkat kedua belah tangannya kemudian mengamini doanya barusan.
Naima mengusap wajahnya yang bersimbah air mata. Ia berharap Tuhannya memberikan kesempatan itu juga padanya.
Tak lama, Arumi mendengar suara deru kendaraan dari kejauhan. Arumi pun melesat cepat kemudian berlari ke tengah jalan. Ia berniat menghadang kendaraan itu agar menolong mereka.
Namun, Arumi tak tau kalau kendaraan tersebut sejenis truk besar. Sehingga, Max yang bersandar mencoba bangkit untuk menghentikan kegilaan istrinya itu. Alih-alih meminta pertolongan, malah dirinya yang tertabrak bahkan terlindas.
"Hentikan, dia, ku mohon!" pinta Max, akhirnya pada Naima. Tubuhnya yang lemas tak sanggup bangkit.
"Nyonya, Awas!!" pekik Naima ketika badan truk itu semakin dekat dengan Arumi.
"Allahu Akbar!!" Arumi berteriak, seraya memejamkan kedua mata dengan tetap membentangkan kedua tangannya. Ia yakin bahwa Allah akan menolongnya saat ini.
Ckiitttt!!
Bruggh!!
"Arumi!"