Misteri Rumah Kosong.
Kisah seorang ibu dan putrinya yang mendapat teror makhluk halus saat pindah ke rumah nenek di desa. Sukma menyadari bahwa teror yang menimpa dia dan sang putri selama ini bukanlah kebetulan semata, ada rahasia besar yang terpendam di baliknya. Rahasia yang berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Bagaimana usaha Sukma melindungi putrinya dari makhluk yang menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya itu? Simak kisahnya disini.
Kisah ini adalah spin off dari kisah sebelumnya yang berjudul, "Keturunan Terakhir."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MRK 13
Sebulan berlalu sejak kejadian nenek Ratih melakukan ritual di depan rumah kosong. Sejak itu pula tak ada lagi gangguan di rumah mereka, dan tak ada lagi suara-suara aneh seperti malam-malam sebelumnya.
Awalnya Sukma sangat ingin menanyakan apa yang dilakukan mertuanya itu, tapi ketika kejadian aneh itu menghilang ia memutuskan untuk melupakan semua, hanya perlu tahu bahwa apa yang dilakukan nenek Ratih tak lain adalah untuk melindungi keluarga.
Kehidupan mereka menjadi begitu damai, apalagi toko kue Sukma mulai memiliki banyak pelanggan, semua karena Nadira yang bekerja keras mempromosikan kue ibunya lewat sosial media. Juga karena nenek Ratih yang berusaha menghubungi pelanggan lamanya.
Nadira pun masih tetap mengaji di pesantren, ia semakin getol mendekati Rendra meskipun sedikit saja lelaki itu tak pernah meresponnya. Bahkan baru-baru ini ia tertangkap basah Maria saat baru saja keluar dari kamar santri putra, Maria membawanya ke kantin dan mengancamnya akan melapor ke kyai, tapi Nadira memohon dan berjanji tak akan mengulang kesalahan sama.
Maria tak melarangnya berusaha mendapatkan hati Rendra, tapi meminta Dira berhenti diam-diam masuk ke kamar santri putra. Nadira pun setuju, ia masih sering datang bermain ke pesantren di siang hari. Tapi hanya menunggu di kantin bersama Maria, berharap Rendra keluar dan dapat menemuinya. Nadira terpaksa harus puas hanya dengan seperti itu, ia tak bisa berbuat banyak sebab Maria selalu mengawasi.
Siang itu Nadira membantu ibunya di toko, pelanggan yang datang cukup banyak hingga keduanya kewalahan. Seorang lelaki berpakaian rapi datang mendekat menyapa ibunya, Nadira mendengar percakapan mereka dari balik meja kasir.
“Sukma, apa kabar?”
“Ah, baik, siapa ya?”
Lelaki itu tersenyum sambil menyerahkan beberapa kue yang baru diambilnya untuk ditotal harga, “kamu lupa? aku temannya Bagas. Aku tidak menyangka kamu pulang kesini, aku turut berduka atas apa yang menimpamu, semoga selalu diberikan ketabahan, dan semoga almarhum diterima disisi-Nya.”
“Amin, terimakasih doanya,” jawab Sukma canggung.
Nadira menyebutkan total belanja, lelaki itu lantas mengeluarkan selembar uang seratus ribu dan menyerahkannya pada Nadira.
“Ini Om kembaliannya,” ucap Dira sopan.
“Ini putrimu Sukma?”
“Iya, dia putriku satu-satunya. Namanya Nadira.” Sukma menunjuk Nadira, dan gadis itu mengangguk sopan.
“Baiklah, terima kasih ya Nadira,” ujarnya, “aku pergi dulu Sukma, kapan-kapan mainlah ke rumah, insha Allah aku sekarang menetap.” Lelaki itu berbalik badan keluar toko, dan bertemu mbah Giyem di depan sana. Mereka berbincang sebentar, saat itulah Sukma tahu nama lelaki itu adalah Seno.
“Seno? kenapa aku nggak ingat ya teman mas Bagas yang satu ini,” katanya. Kebetulan sekali nenek Ratih datang mendekat, wanita tua itu mengikuti arah pandangan menantu dan cucunya itu. Dan menemukan lelaki yang amat dikenalnya selama ini.
“Loh, itu kan Seno, kapan dia datang?” katanya.
“Siapa itu Seno, Bu? dia bilang temannya mas Bagas,” tanya Sukma.
“Memang iya, teman sekelas Bagas. Ia putra Sani, putra angkat. Tapi dia begitu berbakti, selama ini bekerja di luar kota, katanya sih sudah sukses, tapi sayang perjalanan cintanya yang kurang beruntung. Harusnya dia sudah menikah dan memiliki anak seusia Dira, mengingat usianya sama dengan Bagas.”
“Tapi Om itu kelihatan masih muda Nek, masih cakep dan gagah, ya kan Bu?” Nadira menyentuh lengan ibunya yang fokus menatap keluar toko.
“Orang kaya Dira, perawatan pastinya,” ucap Wijaya yang tiba-tiba sudah berada di belakang mereka.
“Astaga, pak lek ini bikin kaget aja. Tiba-tiba nongol,” protes Nadira cemberut. Wijaya terkekeh pelan, mengacak poni baru keponakannya itu. “Aduh, berantakan nih,” protes Dira lagi.
“Mbak, ada Indra itu mau ambil kue.” Wijaya menunjuk ke arah ruang tamu keluarga.
“Oh, kue buat diklat ya? tunggu sebentar sudah aku siapkan kok di dapur.” Sukma bergegas menemui tamunya, sementara Nadira menarik tangan pak leknya.
“Pak lek, kak Indra sama siapa?”
“Biasa, sama Rendra.”
Mata Nadira berbinar mendengar nama Rendra disebut pak leknya, dengan penuh semangat ia meminta tolong neneknya menjaga toko sebentar, karena ia ingin menemui Rendra di ruang tamu. Nenek Ratih pun setuju, meski wanita sepuh itu pada akhirnya bertanya kenapa sikap cucunya seperti itu, dengan enteng Wijaya menjawab bahwa Nadira sepertinya menyukai Rendra.
Nenek Ratih tertawa lirih, ia heran dengan gadis jaman sekarang yang tak bisa menyembunyikan perasaan sukanya, sungguh berbeda dengan gadis semasanya dulu, yang akan sangat malu jika menyukai lawan jenis.
Nadira duduk disamping ibunya, ia menatap Rendra dengan senyum mengembang. Tak peduli meskipun lelaki itu sama sekali tak menganggap keberadaannya.
“Sudah kamu bawa saja dulu, nggak apa-apa. Orang cuma kurang berapa ribu aja, anggap saja ibu bersedekah, semoga acara diklatnya lancar ya.” Sukma memberikan sebuah kardus kecil berisi kue pesanan bu nyai Hasna itu.
“Terima kasih Bu Sukma,” jawab Indra malu-malu. Sementara itu Rendra justru terlihat aneh, wajah lelaki itu sedikit pucat.
“Kak Rendra kenapa?” tanya Nadira penuh selidik. Rendra menggeleng pelan, tapi Indra justru memintanya untuk segera ke toilet, dan ia bersedia menunggu. Rendra menjadi kesal, tentu saja ia malu dan berakhir mencubit lengan temannya itu.
Sukma tersenyum menyaksikan adegan ini, ia pun berinisiatif menawarkan diri untuk mengantar Rendra ke toilet, “nggak apa-apa, nggak usah malu. Ayo ibu antar ke toilet, tapi maaf lo ya Nak Rendra kalau toiletnya kotor. Punya anak gadis juga nggak mau bantu ibunya,” sindir Sukma pada sang putri.
Nadira ingin protes tapi ibunya telah pergi ke dapur bersama Rendra. Tinggallah dia bersama Indra di ruang tamu.
“Hey Dira, sesuka itu kamu sama Rendra? padahal dia nggak pernah respon kamu loh,” celetuk Indra memulai percakapan.
“Biarin aja sih, nggak ada urusan ya sama Kak Indra,” jawabnya ketus.
“Dengerin ya Dira, aku ngomong gini karena kasihan sama kamu. Di dalam hati Rendra itu masih ada seseorang, dan kayaknya sedikit sulit untuk menghapus orang ini. Yah, meskipun mereka sudah nggak bisa bersama.”
“Maksud Kakak? bisa ceritain nggak?”
“No, hanya itu info dari aku.”
Nadira memberengut kesal, entah kenapa hatinya seolah terbakar mendengar kenyataan Rendra memiliki orang spesial, apalagi Indra tak ingin membagi kisah tentang orang itu padanya.
Rendra telah kembali bersama Sukma, lelaki itu mengucapkan banyak terima kasih dan berpamitan. Sementara Nadira mendadak badmood, bahkan saat ibunya meminta mengambilkan beberapa kue tambahan untuk dua lelaki itu di toko, gadis itu menolak dan masuk ke dalam kamar.
“Kenapa anak ini?” tanya Sukma heran, ia lantas meminta maaf pada dua lelaki di depannya. “Maaf ya, tunggu sebentar ibu ambilkan buat kalian.”
“Tidak perlu Bu sebenarnya,” kata Rendra.
“Nggak apa-apa,” teriak Sukma dari toko, lantas kembali membawa beberapa kue dan diberikan khusus untuk Rendra dan Indra. Keduanya pun berpamitan dan kembali ke pesantren.
.
Tbc