NovelToon NovelToon
Married By Accident

Married By Accident

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Paksa / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:7.5k
Nilai: 5
Nama Author: Coffeeandwine

Riin tak pernah menyangka kesalahan fatal di tempat kerjanya akan membawanya ke dalam masalah yang lebih besar yang merugikan perusahaan. Ia pun dihadapkan pada pilihan yang sulit antara kehilangan pekerjaannya, atau menerima tawaran pernikahan kontrak dari CEO dingin dan perfeksionis, Cho Jae Hyun.

Jae Hyun, pewaris perusahaan penerbitan ternama, tengah dikejar-kejar keluarganya untuk segera menikah. Alih-alih menerima perjodohan yang telah diatur, ia memutuskan untuk membuat kesepakatan dengan Riin. Dengan menikah secara kontrak, Jae Hyun bisa menghindari tekanan keluarganya, dan Riin dapat melunasi kesalahannya.

Namun, hidup bersama sebagai suami istri palsu tidaklah mudah. Perbedaan sifat mereka—Riin yang ceria dan ceroboh, serta Jae Hyun yang tegas dan penuh perhitungan—memicu konflik sekaligus momen-momen tak terduga. Tapi, ketika masa kontrak berakhir, apakah hubungan mereka akan tetap sekedar kesepakatan bisnis, atau ada sesuatu yang lebih dalam diantara mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Breaking The Agreement

Kini tinggal Riin seorang diri di ruang tamu itu. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran di dadanya yang tidak terkendali. Tangannya menyentuh pipinya yang terasa panas. “Perasaan apa ini?” gumamnya pelan. Suaranya terdengar samar di ruangan yang sunyi.

Matanya kembali menjelajahi ruangan, mencari sesuatu untuk mengalihkan pikirannya. Namun, setiap sudut hanya membuatnya semakin sadar betapa berbedanya dunia Jae Hyun dengan dunianya. Ia menggeleng pelan, mencoba membuang jauh-jauh perasaan aneh yang mulai tumbuh di hatinya. “Tidak, tidak boleh,” katanya pada dirinya sendiri. “Jangan melibatkan perasaan jika berurusan dengan pria itu.”

Ia berjalan mendekati sofa, lalu duduk dengan hati-hati, seperti takut meninggalkan jejak di atas barang mahal itu. Tangannya menggenggam erat rok yang ia kenakan, sementara pikirannya terus berusaha menguraikan makna dari setiap ucapan Jae Hyun. Apa maksudnya ketika ia berkata ‘kelak ini juga akan menjadi tempat tinggalmu’? Apakah itu hanya sekadar basa-basi atau… sesuatu yang lebih serius?

Sementara itu, suara gemericik air dari arah kamar mandi terdengar samar, membawa Riin kembali pada kenyataan. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Namun, satu hal yang pasti, berada di apartemen ini membuatnya sadar bahwa hidupnya mungkin akan berubah sepenuhnya jika ia memilih untuk tetap berada di sisi Jae Hyun.

***

Setengah jam kemudian, Jae Hyun kembali dengan membawa sebuah hoodie oversize yang terlihat hangat. Warnanya abu-abu tua, dengan sedikit aroma khas miliknya, perpaduan antara wangi hangat kayu serta garam laut yang segar dan sabun yang ringan. Ia menyerahkannya pada Riin dengan raut wajah datar, namun matanya menunjukkan kehangatan tersembunyi. “Pakailah ini. Aku tidak memiliki pakaian yang pas untukmu. Ini satu-satunya pilihan yang lebih baik dibanding kau harus mengenakan pakaian itu semalaman.”

Riin memandang hoodie itu sejenak sebelum meraihnya. “Kenapa sejak aku mengenalmu, aku seperti tak pernah memiliki pilihan? Bahkan dalam urusan pakaian sekalipun,” keluhnya, menatap Jae Hyun dengan alis terangkat.

Jae Hyun hanya tersenyum kecil, sebuah senyuman yang sulit ditebak artinya. “Mungkin kita memang ditakdirkan untuk terjebak dalam kehidupan satu sama lain,” jawabnya ringan, dengan nada setengah bercanda.

Riin hanya mampu menghela napas berat. Ia melangkah menuju kamar Jae Hyun tanpa berkata-kata lagi, perasaan kesalnya bercampur dengan rasa lega yang aneh. Ruangan itu, seperti yang ia duga, mencerminkan kepribadian Jae Hyun_rapi dan minimalis, tetapi memiliki sentuhan hangat dari buku-buku yang tertata di rak dan tanaman hijau kecil di dekat jendela.

Sementara itu, Jae Hyun berjalan ke dapur. Ia mulai mengumpulkan bahan-bahan yang ada di kulkas. Sebagai seseorang yang sudah terbiasa hidup mandiri, memasak bukanlah hal yang sulit baginya. Ia mengiris bawang dengan cekatan, sengaja melewatkan bagian sayuran karena tahu Riin tidak menyukainya dan mencampurkan bumbu dengan keahlian yang menunjukkan bahwa ini bukan pertama kalinya ia membuat makanan serius untuk seseorang. Di sela-sela itu, ia menyempatkan diri mencuri pandang ke arah pintu kamar, seolah memastikan bahwa Riin tidak keluar terlalu cepat.

Ketika akhirnya Riin kembali, mengenakan hoodie yang sedikit kebesaran, masakan telah tersaji di atas meja. Aroma semur daging bercampur dengan harum nasi yang baru matang memenuhi ruangan. Lampu di ruang makan bersinar lembut, menciptakan suasana yang hangat dan intim.

“Sudah selesai? Kemarilah, aku sudah menyiapkan makan malam,” ujar Jae Hyun sambil menarik kursi untuknya. Gestur itu sederhana, tetapi ada sesuatu yang tulus di dalamnya.

Riin memandang meja itu dengan mata sedikit membesar. “Kau yang memasak semuanya?” tanyanya, setengah tidak percaya.

Jae Hyun menyandarkan tubuhnya di kursi dengan ekspresi santai. “Tentu saja. Hidup mandiri cukup lama membuatku terbiasa dengan urusan dapur,” jawabnya, lalu menambahkan dengan nada bercanda, “Tidak semua CEO hanya tahu cara memerintah, kau tahu.”

“Kau tidak memiliki asisten rumah tangga? Ya... layaknya kehidupan mewah para CEO pada umumnya,” Riin menimpali, kali ini dengan nada menggoda.

“Ada satu orang, datang seminggu sekali hanya untuk membereskan rumah. Untuk hal lainnya, aku mengurusnya sendiri,” jelas Jae Hyun, lalu berhenti sejenak sebelum menatap Riin dengan serius. “Tapi mungkin saat kita menikah dan pindah ke rumah baru, aku akan memperkerjakan asisten tetap. Kau tidak akan memiliki kewajiban mengurus rumah.”

Riin menelan ludah mendengar kata-kata itu. Ada sedikit rasa gugup yang merayap di hatinya. “Kita akan tinggal di kamar terpisah. Bagaimana jika asisten rumah tangga itu mengadukannya ke ibumu?” tanyanya dengan nada penuh kekhawatiran.

Jae Hyun tersenyum kecil. Senyuman itu, meskipun tipis, memiliki kekuatan yang menenangkan. “Jangan khawatir. Dia akan pulang setelah pekerjaannya selesai. Jadi, tak akan ada yang mengetahui kehidupan kita.”

Riin mengangguk pelan. Ada sesuatu dalam nada suara Jae Hyun yang membuatnya merasa tenang, meskipun hanya sedikit. Ia duduk dan mulai mengambil nasi dari mangkuk besar di tengah meja. Saat suapan pertama menyentuh lidahnya, matanya membesar lagi. “Ini enak sekali,” gumamnya, nyaris tak percaya.

Jae Hyun tertawa pelan. “Aku senang kau menyukainya. Aku cukup bangga dengan semur dagingku, meskipun sederhana.”

Riin mengangguk sambil melanjutkan makan. Ia makan dengan lahap, rasa khawatirnya perlahan-lahan larut dalam kehangatan makanan dan suasana yang damai. Sesekali ia melirik Jae Hyun, yang makan dengan tenang, namun senyum kecil masih menghiasi wajahnya. Dalam hati, ia bertanya-tanya bagaimana pria ini bisa membuatnya merasa begitu nyaman, meskipun dengan segala situasi rumit yang mereka hadapi.

***

Malam semakin larut, udara dingin menyelinap melalui celah jendela apartemen Jae Hyun. Di sudut ruangan, Jae Hyun duduk di sofa abu-abu dengan laptop di pangkuannya. Tangan-tangannya bergerak lincah mengetik, sementara di meja depannya ada beberapa kaleng bir dan botol soju yang sudah terbuka.

Sementara itu, di kamar utama, Riin berbaring di atas ranjang besar yang terasa terlalu empuk untuknya. Seprai satin yang licin membuatnya sulit untuk merasa nyaman. Matanya menatap langit-langit, pikirannya melayang-layang. Sesekali ia membalikkan badan, berharap menemukan posisi yang pas, tapi tetap saja tak ada hasil. Di tengah keheningan malam, ia samar-samar mendengar suara ketikan keyboard dari ruang tengah.

Akhirnya, Riin bangkit. Ia melangkah keluar dari kamar, membenarkan letak hoodie yang dipakainya untuk menghalau dingin. Sesampainya di ruang tengah, ia melihat Jae Hyun yang masih terfokus pada pekerjaannya.

“Kau belum tidur?” tanyanya dengan suara lembut, mencoba tidak mengagetkan pria itu.

Jae Hyun menoleh, alisnya sedikit terangkat sebelum ia kembali memusatkan perhatian pada layar laptop. “Aku masih harus menyelesaikan beberapa hal. Kau sendiri? Kenapa belum tidur?”

Riin mengangkat bahu. “Entahlah. Tempat tidurmu terlalu mewah untukku. Rasanya… aneh. Aku tidak terbiasa.” ia lalu duduk di sofa, hanya beberapa inci dari Jae Hyun. Matanya melirik ke layar laptop, mencoba memahami apa yang sedang dikerjakan pria itu. “Apa yang sedang kau kerjakan?”

“Beberapa laporan investasi,” jawab Jae Hyun singkat, nada suaranya datar tapi tidak dingin.

Pandangan Riin beralih ke meja. Ia melihat beberapa kaleng bir dan botol soju. Sebagian sudah kosong, tapi Jae Hyun tampak sama sekali tidak terpengaruh. “Kau minum sebanyak itu dan masih tetap fokus? Apa rasanya enak?” tanyanya penasaran.

Jae Hyun tersenyum kecil. Ia mengambil salah satu kaleng bir dan menyerahkannya kepada Riin. “Cobalah sendiri.”

Riin ragu sejenak sebelum akhirnya menerima kaleng itu. Ia menyesap sedikit, bibirnya langsung mengerut. “Rasanya… aneh. Ada pahit, sedikit manis, dan hangat di tenggorokan. Tapi aku tidak yakin aku suka.”

Jae Hyun tertawa kecil, sebuah suara yang hangat di tengah dinginnya malam. “Kau seperti anak remaja yang baru mencoba alkohol. Tunggu sebentar, aku akan mengambilkan sesuatu.” ia bangkit dan berjalan ke dapur, kembali dengan sekantong camilan. “Ini untuk menetralisir rasa pahitnya.”

Riin mengambil segenggam keripik dan mulai mengunyah. Ia melirik botol soju di meja. “Bagaimana dengan yang itu? Apa aku boleh mencobanya?”

Jae Hyun menggeleng pelan. “Aku tidak menyarankan. Soju jauh lebih keras. Kalau kau belum terbiasa, kau bisa mabuk berat.”

Obrolan mereka berlanjut, beralih dari topik pekerjaan hingga cerita ringan tentang keseharian. Mereka mulai merasa lebih santai satu sama lain, tawa kecil sesekali mengisi keheningan. Jae Hyun bahkan memilih sebuah film untuk ditonton bersama. Ketika film mulai diputar, keduanya duduk berdampingan di sofa. Ada jarak kecil di antara mereka, tapi perlahan-lahan atmosfer di ruangan berubah menjadi lebih hangat.

Namun, ketika film sampai pada adegan romantis yang cukup intens, suasana menjadi canggung. Riin memalingkan wajahnya, berusaha fokus pada camilan di tangannya, sementara Jae Hyun pura-pura sibuk menuangkan soju ke gelasnya. Mereka tetap diam, sampai akhirnya tangan mereka tanpa sengaja bersentuhan di atas meja. Gerakan itu membuat keduanya terhenti.

Mata mereka bertemu. Ada sesuatu di sana, sebuah debaran yang tidak bisa mereka abaikan. Jae Hyun perlahan mendekat, memberikan waktu bagi Riin untuk menolak jika ia ingin. Tapi gadis itu tetap diam, matanya tetap terpaku pada pria di depannya. Jae Hyun menarik napas dalam, mencoba membaca ekspresi Riin. Ada sesuatu yang rapuh sekaligus kuat dalam cara gadis itu memandangnya, sesuatu yang mengundangnya untuk mendekat.

"Riin~a," suara Jae Hyun terdengar serak, hampir berbisik, seolah takut mengganggu keheningan itu. Ia perlahan condong ke depan, memberi waktu pada Riin untuk menjauh jika ia menginginkannya. Tapi Riin tetap diam. Mata cokelatnya tidak pernah lepas dari tatapan Jae Hyun, dan jantungnya berdegup kencang seolah ingin melompat keluar.

Bibir mereka akhirnya bertemu, sentuhannya terasa lembut. Riin memejamkan matanya, membiarkan emosi yang selama ini terpendam mengambil alih. Ciuman itu tidak lama, namun cukup untuk meninggalkan jejak yang dalam di hati mereka berdua.

Jae Hyun menarik diri sejenak, matanya mencari-cari tanda dari Riin. “Maaf,” bisiknya. “Sepertinya aku akan melanggar kesepakatan kita malam ini.”

Riin tidak segera menjawab. Ada jeda yang panjang, tetapi senyum kecil yang muncul di sudut bibirnya berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Mata Jae Hyun membulat sedikit, seolah ia tidak percaya. Riin tidak berkata apa-apa, tapi senyum kecil yang muncul di wajahnya cukup untuk menjawab segalanya. Kali ini, ia yang mendekat, membalas ciuman Jae Hyun dengan penuh keyakinan. Sentuhan mereka menjadi lebih intens, penuh gairah yang selama ini hanya disimpan dalam-dalam.

Hembusan napas mereka bercampur di udara. Waktu seakan melambat saat mereka membiarkan diri larut dalam perasaan yang mereka coba abaikan terlalu lama. Tangan Jae Hyun bergerak ke belakang tubuh Riin, mendukungnya dengan lembut. Tanpa kata, ia menggendong Riin, seolah ingin menjaga momen ini tetap utuh. Riin membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan itu, merasa aman dalam kehangatan pria di depannya.

Jae Hyun membawanya ke kamar yang diterangi hanya oleh sinar bulan yang menyelinap melalui tirai. Di kamar itu, mereka berbagi lebih dari sekadar ciuman. Ada percakapan yang tak terucap, ada rasa yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Meski sebagian keberanian mereka mungkin datang dari alkohol, sebagian besar berasal dari dorongan kuat yang menghubungkan hati mereka.

Ketika malam semakin larut, mereka tahu bahwa hubungan mereka tidak akan pernah sama lagi.

***

1
Rita Syahrudin
Lumayan
ami
ok top
Coffeeandwine: Terima kasih utk apresiasinya
total 1 replies
Kyurincho
Recommended
Coffeeandwine
Bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!