Dalam hidup, cinta dan dendam sering kali berdampingan, membentuk benang merah yang rumit. Lagu Dendam dan Cinta adalah sebuah novel yang menggali kedalaman perasaan manusia melalui kisah Amara, seseorang yang menyamar menjadi pengasuh anak di sebuah keluarga yang telah membuatnya kehilangan ayahnya.
Sebagai misi balas dendamnya, ia pun berhasil menikah dengan pewaris keluarga Laurent. Namun ia sendiri terjebak dalam dilema antara cinta sejati dan dendam yang terpatri.
Melalui kisah ini, pembaca akan diajak merasakan bagaimana perjalanan emosional yang penuh liku dapat membentuk identitas seseorang, serta bagaimana cinta sejati dapat mengubah arah hidup meskipun di tengah kegelapan.
Novel ini mengajak pembaca untuk merenungkan arti sebenarnya dari cinta dan dampaknya terhadap kehidupan. Seiring dengan alunan suara biola Amara yang membuat pewaris keluarga Laurent jatuh hati, mari kita melangkah bersama ke dalam dunia yang pennuh dengan cinta, pengorbanan, dan kesempatan kedua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susri Yunita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Dia Putraku
Dante kini semakin sering mengunjungi rumah ibu Amara. Awalnya, ia hanya ingin mengetahui lebih banyak tentang masa lalu Amara, tetapi kunjungan-kunjungan itu berubah menjadi sesuatu yang lebih personal. Rumah kecil di pinggir kota itu mulai terasa seperti tempat perlindungan baginya dari segala kekacauan di rumah keluarga Laurent.
Suatu sore, ketika Dante mengetuk pintu, ibu Amara menyambutnya dengan senyum lembut. “Kau datang lagi, Dante. Aku sedang memasak sesuatu. Masuklah,” ujarnya.
Dante tersenyum tipis dan melangkah masuk. Bau harum masakan rumahan segera memenuhi hidungnya. Di meja dapur, ada beberapa piring sederhana yang sudah tertata, menunggu untuk dihidangkan.
“Apa yang sedang dimasak, Bu?” tanya Dante dengan nada ramah, sambil melepas jasnya.
“Sup ayam sederhana. Masakan ini dulu kesukaan Amara kecil,” jawab wanita itu sambil mengaduk panci di atas kompor. “Tapi aku tidak pernah suka makan sendirian.”
Dante merasakan kehangatan dalam ucapan itu. Ia memandang wanita itu dengan rasa kagum. Ada ketulusan dan cinta seorang ibu yang terpancar, sesuatu yang jarang ia temui bahkan di keluarganya sendiri.
“Kalau begitu, aku senang bisa menemani,” ujar Dante, sambil membantu menata meja.
Mereka duduk di meja kecil yang hanya cukup untuk dua orang. Dante mencicipi sup itu, dan senyum puas muncul di wajahnya. “Ini luar biasa. Rasanya seperti rumah.”
Ibu Amara tersenyum kecil. “Aku senang kau menyukainya. Sejujurnya, aku jarang memasak sejak Amara pindah dan adiknya kuliah. Rumah ini terasa terlalu sepi.”
Dante merasakan getaran dalam kata-katanya. Ia tahu wanita itu menyimpan banyak rasa rindu yang tak terungkap untuk putrinya.
“Kau tahu,” lanjut ibu Amara, “meskipun Amara tidak banyak bercerita, aku tahu dia sangat mencintaimu, Dante. Dia hanya terlalu keras kepala untuk mengakuinya.”
Dante terdiam, menatap sup di depannya. “Dia adalah orang yang luar biasa,” gumamnya. “Aku hanya berharap aku bisa menjadi pria yang cukup baik untuknya.”
Wanita itu mengulurkan tangan, menyentuh tangan Dante dengan lembut. “Kau sudah menjadi pria yang baik, Nak. Mungkin kau tidak menyadarinya, tetapi aku bisa melihat itu dalam caramu memperlakukan ku dan pasti juga dengan orang-orang di sekitarmu. Jangan pernah meragukan dirimu.”
Kata-kata itu mengingatkan Dante pada pelukan ibunya yang telah tiada. Hatinya terasa hangat, meskipun ada rasa pahit yang menghantui.
Kunjungan Dante ke rumah itu menjadi semacam pelarian bagi dirinya. Ibu Amara sering memasak makanan kesukaan Amara, dan mereka makan bersama sambil berbicara tentang banyak hal, dari kenangan masa kecil Amara hingga pengalaman hidup ibu itu yang penuh perjuangan.
“Dante,” ujar ibu Amara suatu hari sambil membersihkan meja, “jika kau lapar, atau butuh seseorang untuk mendengarkanmu, jangan ragu untuk datang ke sini. Aku mungkin bukan ibu kandungmu, tetapi aku bisa menjadi ibu bagimu.”
Ucapan itu membuat Dante terhenyak. Ia menatap wanita itu, matanya penuh rasa terima kasih. “Terima kasih, Bu. Itu berarti banyak bagi saya,” jawabnya dengan suara serak, matanya sedikit berkaca.
Ketika Dante pulang ke rumah keluarga Laurent malam itu, ia merasa ada yang berubah dalam dirinya. Kehangatan seorang ibu yang dirasakannya di rumah kecil itu membangkitkan sesuatu yang selama ini hilang dalam hidupnya.
Esok harinya, Dante kembali mengunjungi ibu Amara, membawa sekeranjang buah segar sebagai hadiah kecil. Ketika ia tiba, seorang tetangga ibu Amara bertanya siapa yang datang, kepada wanita itu, ia menjawab, “Oh, Dia putraku”, setelah menoleh ke arah Dante yang ternyata sudah berdiri di belakangnya sejak beberapa menit saat ia sedang menyapu halaman depan rumahnya.
“Dante,” sambutnya dengan senyum hangat. “Aku tidak menyangka kau akan datang lagi secepat ini.”
Dante tersenyum haru, “Aku senang menjadi Putra mu, Ibu,” katanya. “Aku bisa mampir sebentar. Aku membawa buah-buahan. Semoga ibu suka,” sambungnya sambil menyerahkan keranjang itu.
Wanita itu mengangguk penuh terima kasih. “Kau benar-benar putraku yang baik. Masuklah, aku baru saja membuat teh.”
Mereka duduk di ruang tamu, suasananya hangat dan nyaman. Setelah berbincang ringan, wanita itu tiba-tiba berkata, “Dante, aku ingin bertanya sesuatu. Kau tidak perlu menjawab jika merasa tidak nyaman.”
Dante menegakkan duduknya. “Tentu, tanyakan saja.”
“Kenapa kau dan Amara harus bercerai? Aku tahu ada hal-hal yang tidak bisa kau ceritakan, tapi aku melihat dengan jelas bahwa kau mencintainya.”
Pertanyaan itu membuat Dante terdiam lama. Ia menatap cangkir tehnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Ia yakin Ibu Amara tidak benar-benar tahu apa yang terjadi.
“Itu... rumit, Bu” jawabnya akhirnya. “Ada banyak hal yang terjadi, dan aku merasa perceraian itu adalah jalan terbaik untuk Amara. Aku ingin dia bahagia, meski itu berarti aku harus melepaskannya.”
Wanita itu menghela napas panjang, menatap Dante dengan penuh kasih. “Kau tahu, Dante, kadang-kadang kita terlalu cepat mengambil keputusan, berpikir itu yang terbaik untuk orang yang kita cintai. Tapi kau harus bertanya pada dirimu sendiri, apakah Amara benar-benar bahagia sekarang?”
Kata-kata itu menghantam Dante seperti petir. Ia tidak punya jawaban untuk itu.
Ketika Dante keluar dari rumah ibu Amara pagi itu, ia melihat seseorang yang tidak ia duga akan muncul, Amara. Wanita itu berdiri di depan pagar, memandang mereka dengan tatapan penuh tanya.
“Dante? Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya, suaranya terdengar dingin tetapi ada sedikit kebingungan di dalamnya.
Dante terkejut, tetapi ia berusaha tenang. “Aku... hanya mampir untuk bertemu ibu. Aku ingin memastikan dia baik-baik saja.”
Amara mengernyit. “Sejak kapan kau begitu peduli pada ibuku?”
“Amara, ini bukan seperti yang kau pikirkan,” jawab Dante cepat. “Aku hanya ingin membantunya. Dia sendirian di sini.”
Amara menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi. “Dia tidak butuh bantuanmu, Dante. Jika kau ingin membantu seseorang, bantu keluargamu sendiri. Jangan mencampuri urusan keluargaku.”
Tanpa menunggu jawaban, Amara berbalik dan berjalan pergi. Dante hanya bisa berdiri di tempatnya, merasa semakin terjebak dalam dilema yang ia ciptakan sendiri. Ibu Amara yang menyaksikan adegan itu hanyabisa terdiam, semabari menepuk lengan Dante, mencoba memberi dukungan.
--
Malam itu, Dante tidak bisa tidur. Kata-kata Amara terus terngiang di kepalanya, tetapi ia tidak bisa berhenti memikirkan ibu Amara. Ada sesuatu tentang wanita itu yang membuatnya merasa dekat, bukan hanya karena dia adalah ibu Amara, tetapi karena ada kehangatan dan perhatian yang ia rindukan sejak kecil.
Namun, ia juga tahu bahwa keterlibatannya ini bisa semakin memperumit hubungannya dengan Amara. Bagaimana jika Amara menganggap tindakannya sebagai bentuk manipulasi? Bagaimana jika ibu Amara juga akhirnya terluka karena konflik mereka?
Dante tahu, cepat atau lambat, ia harus membuat Keputusan, tetap berada di dekat keluarga Amara, atau benar-benar melepaskan semuanya, termasuk perasaan yang masih ia simpan untuk Amara.
bersambung...