Bagaimana jadinya ketika bayi yang ditinggal di jalanan lalu dipungut oleh panti asuhan, ketika dia dewasa menemukan bayi di jalanan seperti sedang melihat dirinya sendiri, lalu dia memutuskan untuk merawatnya? Morgan pria berusia 35 tahun yang beruntung dalam karir tapi sial dalam kisah cintanya, memutuskan untuk merawat anak yang ia temukan di jalanan sendirian. Yang semuanya diawali dengan keisengan belaka siapa yang menyangka kalau bayi itu kini sudah menjelma sebagai seorang gadis. Dia tumbuh cantik, pintar, dan polos. Morgan berhasil merawatnya dengan baik. Namun, cinta yang seharusnya ia dapat adalah cinta dari anak untuk ayah yang telah merawatnya, tapi yang terjadi justru di luar dugaannya. Siapa yang menyangka gadis yang ia pungut dan dibesarkan dengan susah payah justru mencintai dirinya layaknya seorang wanita pada pria? Mungkinkah sebenarnya gadis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maeee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Youre Lying
Dalam satu bulan ada empat minggu, itu artinya ada empat wanita berbeda-beda yang akan datang ke kediaman Morgan atas panggilannya. Siapa para wanita itu? Ya, mereka adalah kupu-kupu malam.
Wanita yang Morgan pakai hanya empat, tapi bergilir. Adapun malam ketika dirinya menginginkan yang spesial, maka ia akan membeli wanita lainnya yang sesuai dengan keinginan. Seperti waktu ketika membeli Marry.
Kisah cinta boleh gagal, tapi bukan berarti ia tidak bisa menikmati kehidupan ini. Apa yang tidak bisa diselesaikan dengan uang? Semua masalah hidupnya diselesaikan dengan uang, kecuali masalah dengan Cherry.
Morgan perlahan membuka pintu rumahnya, ia langsung disambut senyum dengan bibir menggigil oleh wanita malam yang berpakaian seksi.
"Ayo masuk!" ajak Morgan kasihan.
"Thank you," ucap Cici, wanita malam ini.
"Kenapa kamu datang?"
"Aw, aku pikir ini jadwalku." Cici menatap punggung Morgan dan mengikuti langkah kakinya.
"Ya, kamu tidak salah. Tapi aku tidak memanggilmu," sahut Morgan. Ia berhenti di ambang pintu kamarnya, berbalik, dan menatap Cici.
Cici berhenti lantas membalas tatapan Morgan. "Aku kira kamu lupa. Disengaja?"
Morgan menggaruk belakang kepalanya sambil melepaskan tatapannya dari Cici. "Cherry sedang sakit, jadi aku tidak bisa memikirkan tentang diriku sendiri. Aku mengkhawatirkannya."
"Hmm." Cici tersenyum kecewa. "Sayang sekali, padahal aku sudah membawa mainan yang seru. Ada ekor kucing dan cambuk yang kamu suka juga." Ia menunjukkan semua mainan yang ia bawa.
Cici bertekad tidak akan memaksa, tetapi masih berharap kalau Morgan mau melakukannya. Sangat disayangkan kedatangannya sia-sia dan dirinya juga tidak bisa pulang tanpa membawa uang.
Morgan menatap semua mainan itu. Sepertinya seru. Tapi, ia merasa tidak enak hati menikmati malam ini di saat Cherry sedang terbaring sakit. Namun, menyuruh Cici pergi begitu saja juga ia tidak tega. Bagaimana pun butuh waktu lama dari tempat dia bekerja untuk sampai ke rumahnya.
Morgan menghela napasnya. "Masuklah!" Ia membuka pintu kamar. Telah memutuskan untuk tetap melakukannya walau kurang mood. Satu ronde mungkin tidak masalah.
"Tapi tadi kamu bilang..."
"Sayang sekali kalau kamu sudah datang sejauh ini tapi kita tidak melakukannya. Ayo, lakukan dari sekarang sehingga kita bisa menyelesaikan semuanya dengan cepat," sergah Morgan. Ia mendorong Cici masuk ke dalam bersama dirinya.
Pintu kamar tak ia kunci karena Cherry tak mungkin turun ke bawah. Selain itu ia akan melakukannya dengan cepat.
"Are you ready?" tanya Cici dengan suara mendayu dan mulai bergeliat menggoda Morgan.
"Malam ini aku hanya akan menjadi pihak penerima. Jadi, lakukan semua yang kamu mau," ujar Morgan seraya berbaring di ranjangnya.
Cici tersenyum lebar. Ia segera merangkak naik ke atas ranjang. "Siap-siap untuk menerima kenikmatan dunia yang tiada duanya, Tuan," ungkapnya.
Sementara itu kini di lantai atas, di ranjang berukuran queen size nya Cherry meringkuk, tapi tidurnya mulai tak nyaman, tubuhnya yang dibungkus selimut tebal kini terasa panas dan lengket.
Setelah minum obat, alih-alih sembuh justru demamnya semakin naik, menusuk kepalanya sehingga membuat gadis itu tak bisa lagi tidur nyenyak, seakan obat tadi bukanlah penghilang demam tapi hanya obat tidur saja.
Setiap helaan napasnya kembali terasa berat, tenggorokannya juga kering kerontang setiap berdeham seperti tergores serpihan kaca. Cherry mencoba terbatuk, namun hanya suara parau yang keluar.
Rasa sakit yang sedang dirasakannya membuat dia gelisah. Tubuh gadis itu terus berputar mencari posisi yang nyaman, tapi hasilnya nihil.
Cherry pun akhirnya membuka mata. Matanya merah dan sayu efek dari demamnya yang tinggi, hingga matanya pun terasa panas dan berair.
Ia menoleh ke samping, mencoba meraih gelas di atas nakas. Namun setelah gelas tersebut ada dalam genggaman tangannya ia mendapati bahwa gelas itu kosong. Cherry menghela napas.
Morgan juga sudah tak ada di sisinya. Tak ada jalan lain selain pergi sendiri ke bawah sana. Jam masih menunjukkan pukul 11 malam, ia tidak mau sepanjang malam terjaga karena tenggorokannya yang kering.
Kemudian, Cherry perlahan keluar dari kamar, memaksakan tubuhnya yang lemah untuk bergerak, menuruni anak tangga dengan sangat hati-hati, dan akhirnya ia pun berhasil sampai di dapur. Gadis itu minum hingga dua gelas air putih. Seketika rasa haus dan perih tenggorokannya sirna.
Sebelum naik lagi ke kamarnya, Cherry berinisiatif pergi ke kamar Morgan. Ingin melihat apakah pria itu masih terbangun atau sudah tidur. Ia juga ingin tidur lagi di sampingnya.
Cherry mengangkat tangannya untuk membuka kenop pintu, tapi ternyata pintunya tak tertutup rapat. Ia pun mengintip melalui celah pintu yang sedikit terbuka. Pandangannya langsung tertuju pada pemandangan yang membuatnya ingin menjerit sekuat tenaga.
Padahal baru beberapa jam yang lalu Morgan berjanji hanya dirinya lah satu-satunya wanita dalam hidup dia, tapi sekarang Morgan sedang bercumbu mesra dengan wanita lain di atas ranjang begitu bergairah.
Lutut Cherry bergetar. Dunia seolah runtuh dihadapannya.
Cherry membekap mulut, menahan suaranya. Air mata mengalir deras membasahi pipinya. Tidak, ia tidak bisa menerima semua ini. Selama ini Morgan tidak mencintainya. Dia pembohong.
Rasa sakit tubuhnya tak sebanding dengan rasa sakit hatinya, sekuat tenaga ia berlari meninggalkan kamar Morgan, dan keluar dari rumah ini.
Udara malam terasa menusuk kulit telanjang kakinya, batu-batu kerikil yang kakinya pijak walau sakit tapi tak dirasakan. Cherry berjalan semakin jauh dari rumahnya, tapi tanpa tujuan.
Memangnya siapa yang akan menjadi tujuannya? Hanya Morgan lah satu-satunya keluarganya. Bahkan orang yang dianggap keluarga pun pada kenyataannya hanyalah orang asing.
Cherry menangis sangat kencang hingga air mata itu memburamkan pandangannya. Kenapa kisah hidupnya sangat tragis? Mungkinkah semua ini hukuman dari Tuhan karena dirinya tak seharusnya lahir ke dunia? Mulai saat ini tak akan ada lagi yang menyayangi dirinya.
Baju tidur yang tipis tak mampu menghalau dinginnya malam ini. Gadis itu semakin tak tentu rasa maupun arah. Entah ke mana ia akan pergi.
...----------------...
Pagi hari bahkan matahari belum menunjukkan dirinya, Morgan sudah bangun bahkan membersihkan diri. Kini langkah kakinya membawa ia ke kamar Cherry sambil membawa susu hangat dan roti bakar selai cherry kesukaan dia. Mungkin demamnya sudah reda.
"Cherry!" panggilnya sambil membuka pintu. Kosong. Itulah yang ia lihat di atas ranjang gadis itu. Hanya ada selimut dan bantal yang acak-acakan.
"Mungkinkah dia sedang mandi?" tebak Morgan melihat ke arah kamar mandi. Ia meletakkan nampan sarapan Cherry di nakas, berjalan ke kamar mandi untuk memeriksanya.
"Cherry, kamu sudah bangun?" tanyanya sambil memasuki kamar mandi. Tapi ternyata Cherry juga tidak ada di dalam kamar mandi.
"Ke mana dia pergi?" gumam Morgan mulai bingung. Pasalnya tidak biasanya di hari weekend Cherry tidak ada di ranjangnya, dia biasanya tidur hingga siang, apalagi dengan kondisinya saat ini yang sedang sakit.
"Ah, mungkin saja dia menunggu matahari di depan rumah," tebak lagi Morgan. Ia tak berpikir Cherry akan menghilang dengan kondisinya yang sedang sakit dan tak mungkin juga Cherry menghilang tanpa sebab.
Saat Morgan menuruni anak tangga, dirinya secara tak sengaja berpapasan dengan Cici yang baru keluar dari kamarnya.
"Terima kasih untuk tif nya," ucap Cici memperlihatkan uang tambahan dari Morgan.
"Apa kamu melihat Cherry?" tanya Morgan, seakan tak mengindahkan rasa terima kasih Cici.
"Cherry?" gumam Cici, melihat sekelilingnya lalu menggeleng. "Di kamar mu juga tidak ada. Memangnya tidak ada di rumah?"
"Di kamarnya tidak ada. Aku akan mencarinya ke tempat lain."
Cici mengangguk. "Kalau begitu aku akan pergi."
Morgan mengangguk, mempersilahkan.
"Cherry!" panggil Morgan lebih lantang ke arah kolam, tapi di sana juga kosong.
Selanjutnya ia memeriksa ke dapur, ke taman depan dan belakang, ke garasi, di seluruh rumah, hingga kini ia berada di kamar Cherry lagi tapi gadis itu tak ada di mana pun. Rasa khawatir pun mulai menyergapnya.
Morgan mengangkat ponselnya, mencoba untuk menghubungi Cherry, tapi ternyata ponsel Cherry ada di atas meja belajarnya.
"Ke mana dia pergi pagi-pagi sekali tanpa seizin ku?" Morgan menyisir rambutnya frustrasi. Mungkin jika dia sedang tidak sakit dirinya tidak akan se-khawatir seperti sekarang.
Morgan berlari ke luar rumah. Pria itu mengusap wajahnya kasar, mencoba mengusir rasa khawatir yang semakin menggejala.
Morgan berjalan mondar-mandir di depan rumah, matanya terus mencari sosok Cherry. Ia juga berulang kali mengetuk pintu setiap rumah atau bertanya pada semua orang yang ia temui. Sayangnya, usahanya sia-sia. Mereka semua tak ada yang melihat Cherry.
"Cherry!" teriak Morgan, suaranya seperti terbawa desiran angin pagi. Bukan Cherry yang datang, hanya dedaunan yang jatuh terbawa angin yang datang ke hadapannya.
Morgan duduk di anak tangga depan rumah, punggungnya condong, dua tangannya digunakan mengusap wajah hingga meremas kepalanya berulang kali. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat-ingat percakapan terakhir bersama gadis itu.
Akan tetapi semuanya tak ada yang aneh. Semalam Cherry masih tidur di pelukannya. Apa mungkin Cherry marah karena dirinya tidak tidur bersamanya hingga pagi lalu dia marah dan kabur?
Morgan menggelengkan kepalanya. Sudah berulang kali hal seperti ini terjadi dan itu baik-baik saja.
"Mustahil kalau Cherry melihat apa yang aku lakukan bersama Cici. Semalam dia tidur begitu nyenyak setelah minum obatnya," gumam Morgan.
Ia kembali mengeluarkan ponselnya, berniat menghubungi temannya Oscar yang paling akrab dengan Cherry.
[ Yang lurus Morgan/ Miring Oscar ]
[Halo!]
[Ada apa?]
[Apa kau menculik Cherry?]
[What the f**k. Tiba-tiba saja? Pagi-pagi begini? Tahukah kau bahwa aku bahkan belum bangun dari tempat tidur ku? Dan tiba-tiba kau menghubungiku dan menuduhku menculik Cherry? Are you kidding me?]
Morgan menghela napasnya, memijat kepalanya yang terasa berdenyut semakin nyeri.
[Cherry tidak ada di rumah. Dia sedang sakit.]
[Mungkin dia pergi ke rumah sakit mandiri.]
[Mustahil. Cherry tidak suka pergi ke rumah sakit meski dia sakit parah.]
[Aku tidak menculik Cherry dan aku juga tidak tahu di mana dia berada. Carilah lebih jauh. Setelah sarapan aku akan membantu mu menemukannya.]
[Coba hubungi teman-temannya! Barangkali dia sedang bermain bersama teman-temannya.]
wajar dia nggak peduli lg dgn ortu kandungnya secara dia dr bayi sdh dibuang.🥲