Dalam hidup, cinta dan dendam sering kali berdampingan, membentuk benang merah yang rumit. Lagu Dendam dan Cinta adalah sebuah novel yang menggali kedalaman perasaan manusia melalui kisah Amara, seseorang yang menyamar menjadi pengasuh anak di sebuah keluarga yang telah membuatnya kehilangan ayahnya.
Sebagai misi balas dendamnya, ia pun berhasil menikah dengan pewaris keluarga Laurent. Namun ia sendiri terjebak dalam dilema antara cinta sejati dan dendam yang terpatri.
Melalui kisah ini, pembaca akan diajak merasakan bagaimana perjalanan emosional yang penuh liku dapat membentuk identitas seseorang, serta bagaimana cinta sejati dapat mengubah arah hidup meskipun di tengah kegelapan.
Novel ini mengajak pembaca untuk merenungkan arti sebenarnya dari cinta dan dampaknya terhadap kehidupan. Seiring dengan alunan suara biola Amara yang membuat pewaris keluarga Laurent jatuh hati, mari kita melangkah bersama ke dalam dunia yang pennuh dengan cinta, pengorbanan, dan kesempatan kedua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susri Yunita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27. Strategi dalam Bayangan
Dengan penuh keyakinan, keesokan harinya Dante berdiri tegak di depan neneknya. Wajahnya penuh determinasi, tanpa sedikit pun gentar menghadapi wanita yang selama ini menjadi otoritas tertinggi dalam keluarga Laurent.
“Nenek,” ucap Dante, suaranya tegas, “Aku ingin nenek tahu bahwa aku tidak akan tunduk pada tekanan keluarga Hart. Aku bertanggung jawab penuh atas perusahaan ini dan semua bisnis kita. Aku tidak membutuhkan mereka, tidak juga bantuan siapa pun untuk mempertahankan apa yang kita miliki.”
Nyonya Laurent mengerutkan kening. “Dante, kau tahu risiko yang kau hadapi. Keluarga Hart tidak main-main, terutama ayah Mia. Dia punya pengaruh besar di sektor bisnis, dan satu langkah keliru bisa menghancurkan kita.”
“Aku sudah memikirkan semuanya, Nek,” kata Dante dengan penuh keyakinan. “Aku telah menyusun strategi untuk menghadapi mereka. Aku tidak akan membiarkan siapa pun memaksakan kehendaknya, termasuk pernikahan yang tidak aku inginkan. Aku tidak mencintai Mia, dan aku tidak akan menikah dengannya.”
Kata-kata itu menggemuruh di dalam ruangan. Namun, mereka tidak menyadari bahwa di luar pintu, Mia berdiri diam, mendengarkan setiap kata yang diucapkan Dante. Wajahnya berubah pucat, lalu memerah karena amarah dan rasa terhina.
Mia keluar dari rumah keluarga Laurent dengan hati bergejolak. Air matanya mengalir tanpa henti, tetapi di balik itu, ada kilatan kebencian yang mulai tumbuh di matanya.
“Dia berani menolak aku,” gumamnya pada dirinya sendiri, nada suaranya dingin. “Dante akan menyesal. Aku tidak akan membiarkan dia lepas begitu saja.”
Mia kembali ke rumah keluarga Hart, segera menemui ayah dan ibunya di ruang kerja mereka.
“Aku mendengar sesuatu,” kata Mia, mengawali percakapan dengan suara gemetar. “Dante tidak hanya menolak untuk menikahiku, tapi dia juga sudah menyusun rencana untuk menghancurkan kerja sama kita.”
Kedua orang tuanya terkejut. Ayah Mia, seorang pria dengan sikap otoritatif, mengerutkan dahi. “Apa maksudmu, Mia?”
“Aku tidak tahu detailnya,” Mia berbohong dengan sangat meyakinkan. “Tapi aku yakin dia akan menghancurkan nama keluarga kita jika kita tidak bertindak.”
“Lalu apa yang kau rencanakan, Sayang?” tanya ibunya dengan nada prihatin.
Mia menyeka air matanya dan mulai berbicara dengan penuh strategi. “Dante harus merasakan konsekuensi dari tindakannya. Aku akan membuatnya terlihat seperti dia bertanggung jawab atas kondisiku yang memburuk. Kita bisa memanfaatkan penyakitku sebagai alat untuk menarik simpati semua orang, termasuk publik. Dengan begitu, dia tidak akan punya pilihan selain tunduk pada kemauan kita,” katanya dengan mata berkilat.
Dalam beberapa minggu berikutnya, Mia mulai menjalankan rencananya dengan hati-hati. Ia berpura-pura mengalami serangan penyakit yang lebih parah, memastikan semua orang di sekitarnya tahu betapa ia membutuhkan Dante untuk mendukungnya secara emosional.
Dia bahkan mulai menyebarkan rumor secara halus di kalangan sosial mereka, menyiratkan bahwa tekanan yang ia alami karena hubungan rumit dengan Dante adalah penyebab memburuknya kesehatannya. Mia dengan cerdik memanfaatkan fakta bahwa Dante sangat melindungi nama baik keluarganya.
Ketika Dante datang untuk menjenguk Mia sebagai bentuk kesopanan, Mia memanfaatkan momen itu untuk memperkuat permainannya.
“Dante,” katanya dengan suara lemah, “Aku tahu kau tidak mencintaiku. Tapi... aku hanya ingin kau tahu bahwa aku tidak pernah ingin menjadi beban. Aku hanya... ingin melihatmu bahagia.”
Dante tertegun. Kata-kata Mia terdengar tulus, tetapi ia merasa ada sesuatu yang tidak benar.
Sementara itu, Dante terus menjalankan rencananya untuk menghadapi keluarga Hart. Ia telah menginstruksikan orang-orang kepercayaannya untuk menggali informasi tentang kelemahan keluarga tersebut, terutama ayah Mia.
Ia menemukan bahwa perusahaan keluarga Hart memiliki sejumlah transaksi yang mencurigakan yang dapat mengancam reputasi mereka jika terungkap. Dante tahu ini adalah kartu as yang harus ia mainkan di waktu yang tepat.
Namun, langkahnya terhambat ketika Mia membawa masalah kesehatannya ke ranah publik. Media mulai meliput kondisi Mia, menyebut Dante sebagai sosok yang harus bertanggung jawab atas penderitaannya, terutama tentang rumor, Dante menghianatinya dengan menikahi Amara, padahal mereka telah dojodohkan.
Dante merasa terjebak, tetapi ia tidak menunjukkan kelemahannya kepada siapa pun. Namun Suatu malam, Nyonya Laurent memanggil Dante ke ruang kerjanya.
“Apa yang kau lakukan, Dante?” tanyanya dengan nada dingin. “Lihat apa yang terjadi. Kesehatan Mia semakin buruk, dan sekarang keluarga Hart memiliki alasan untuk menekan kita lebih keras.”
Dante menatap neneknya tanpa gentar. “Aku tahu apa yang aku lakukan, Nek. Aku tidak akan menyerah pada tekanan mereka, bahkan jika itu berarti aku harus menghadapi mereka secara langsung.”
“Dante, kau sedang bermain api,” balas Nyonya Laurent dengan tajam. “Mia adalah ancaman yang tidak bisa kau abaikan. Kau harus memikirkan keluargamu.”
“Aku memikirkan keluarga kita,” jawab Dante. “Tapi aku juga tahu bahwa menyerah pada mereka bukanlah solusi. Aku akan menemukan cara untuk keluar dari situasi ini, tanpa harus mengorbankan diriku atau Amara," kata Dante.Namun, jauh di lubuk hatinya, Dante tahu bahwa waktu semakin menipis, dan pertarungan ini belum selesai.
"Aku tidak mau tahu, selama Mia masih di rumah sakit, kau harus selalu ada di sampingnya," tegas Nyonya Laurent.
----
Sementara malam itu, rumah terasa sunyi bagi Amara. Dante berada di rumah sakit menjaga Mia, sementara Alessia yang biasanya menemaninya mengobrol, baru saja pulang dari menghadiri sebuah acara amal bersama Nyonya Laurent, dan sudah beristirahat di kamarnya. Amara tengah menyiapkan makan malam seadanya untuk Nico saat itu. Sementra bocah itu sedang bermain di ruang keluarga. sebetulnya, Tubuh Amara terasa sangat lemas, kepalanya berdenyut sejak pagi, tetapi ia berusaha mengabaikannya.
“Ibu Mara, aku lapar,” seru Nico dari kejauhan.
Amara tersenyum lemah. “Sebentar, sayang. Ibu Mara akan segera selesai.”
Namun, ketika ia mencoba mengangkat panci berisi sup panas, penglihatannya mulai buram. Kakinya terasa berat, dan dunia di sekitarnya seolah berputar. Amara mencoba berpegangan pada meja dapur, tetapi tubuhnya kehilangan keseimbangan.
“Nico…” hanya itu yang sempat ia ucapkan sebelum tubuhnya terjatuh ke lantai dengan suara keras.
Nico yang mendengar suara itu segera berlari ke dapur. Melihat Amara tergeletak di lantai, bocah itu panik. “Ibu! Bangun, Ibu Mara!”
Tangisnya pecah. Ia mencoba mengguncang tubuh Amara, tetapi wanita itu tidak merespons.
Di sisi lain, Dante tengah berada di kamar Mia di rumah sakit. Mia, dengan ekspresi pucatnya, berbaring di ranjang, mengeluh tentang sakit yang terus-menerus ia rasakan.
“Dante, kau akan tetap di sini, kan?” tanya Mia lemah, matanya penuh harap.
Dante mengangguk meski hatinya berat. “Aku akan menemanimu malam ini.”
Namun, saat itu ponselnya bergetar. Nama Alessia muncul di layar. Dante ragu sejenak sebelum mengangkatnya.
“Ada apa, Kakak?” tanyanya.
“Dante, kau harus ke sini sekarang!” suara Alessia terdengar panik.
“Ada apa?” Dante bertanya, merasa jantungnya mulai berdegup kencang.
“Amara… dia pingsan. Aku sudah di rumah dan memanggil ambulans. Kau harus segera datang!”
Dante membeku. Lalu tanpa berkata apa-apa, ia berdiri dan bergegas keluar dari kamar.
“Dante! Kau mau ke mana?” panggil Mia dengan nada kesal, tetapi Dante tidak peduli.
Di Ruang IGD
Dengan langkah besar dan cepat, Dante menuju rumah sakit keluarga mereka dimana Amara dirawat. Ia tiba di sana dengan napas terengah-engah dan melihat Alessia berdiri di depan ruang IGD bersama Nico yang menangis, serta juga ada Luca di sana yang menatapnya dengan tajam dan tak suka.
“Apa yang terjadi?” tanya Dante dengan nada khawatir.
“Dia kelelahan. Aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi dokter bilang kondisinya cukup serius,” jawab Alessia sambil menggendong Nico yang masih terisak.
Dante menghampiri Nico, mencoba menenangkannya. “Nico, Ibu Mara akan baik-baik saja. Aku janji.”
“Kenapa Ibuku sakit, Papa? Apa ini karena aku?” Nico bertanya dengan suara kecil.
Dante menggeleng dan memeluk keponakannya erat. “Ini bukan salahmu. Ibu Mara hanya butuh istirahat.”
Beberapa saat kemudian, dokter keluar dari ruang IGD. “Tuan Laurent?”
“Bagaimana kondisinya, Dokter?” Dante segera bertanya.
“Dia mengalami kelelahan fisik dan mental yang cukup parah. Tekanan darahnya turun drastis. Untung dia segera dibawa ke sini. Kami akan memindahkannya ke kamar rawat untuk observasi lebih lanjut.”
Dante mengangguk. “Terima kasih, Dokter.”
Amara terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat, tetapi napasnya sudah lebih stabil. Dante duduk di sampingnya, memegang tangan wanita itu dengan penuh rasa bersalah.
“Aku tak ada di sana saat kau butuh aku,” bisiknya, meski ia tahu Amara tidak bisa mendengarnya.
Alessia masuk ke kamar bersama Nico. “Aku akan menjaga Nico di luar. Kau bisa tetap di sini,” katanya pelan, lalu membawa Nico keluar untuk memberikan ruang kepada Dante.
Dante menatap Amara yang tertidur. Matanya penuh emosi yang sulit ia ungkapkan. “Kau selalu mengatakan bahwa kau kuat, Amara. Tapi aku tahu kau menyimpan semuanya sendiri.”
Amara menggeliat pelan, membuat Dante terkejut. Mata wanita itu terbuka sedikit, dan ia mencoba berbicara. “Dante?”
“Aku di sini,” jawab Dante, menggenggam tangannya lebih erat.
Amara menatapnya dengan lemah. “Kenapa… kau di sini?”
“Karena aku harus,” jawab Dante tegas.
Amara ingin mengatakan sesuatu, tetapi tubuhnya terlalu lemah untuk melanjutkan. Dante hanya menatapnya, ia tahu tekanan dari berbagai pihak semakin memperburuk kondisi Amara. Akan kah Dante mampu melindunginya sekaligus menghadapi keluarga Hart dan Mia?
bersambung...