Naira berbalik menghadap Nauval ."wah kalungnya bagus Nai ,ada huruf inisial N," Kata Naira sambil tersenyum.
"N untuk Naira, N untuk Nauval juga, jadi di mana pun kamu nanti nya akan selalu ingat sama aku Nai ," Kata Nauval sambil tersenyum.
"Bisa aja kamu Val , makasih ya, aku akan jaga baik baik Kalung ini ,"ucap Naira senang sambil memeluk Nauval.
Nauval terdiam saat Naira memeluknya,ada rasa nyaman yang dia rasa, seakan tidak mau jauh lagi dari sahabat nya itu.dia membalas pelukan itu sambil mengusap kepala Naira .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naura Maryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 26 Rahasia terkuak
Hari-hari berikutnya terasa lebih ringan bagi Naira. Nauval selalu ada di sisinya, menjadi tempat curhat dan sandaran saat Naira merasa lelah. Mereka menghabiskan waktu bersama, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Nauval bahkan rela mengantar jemput Naira, meskipun rumahnya cukup jauh dari rumah Nauval.
Suatu sore, setelah pulang sekolah, Nauval mengajak Naira ke taman kota. Mereka duduk di bangku taman, menikmati sore yang cerah dan angin sepoi-sepoi.
"Naira, aku ingin bertanya sesuatu," kata Nauval, matanya menatap Naira dengan serius.
"Apa itu?" tanya Naira, sedikit gugup.
"Tentang masa lalu mu... kau mau menceritakannya lebih detail?" tanya Nauval.
Naira terdiam, matanya menerawang ke arah yang tidak jelas. Dia ragu-ragu untuk menceritakannya lebih detail, takut rasa sakit di masa lalu akan kembali menghantuinya.
"Aku... aku takut," jawab Naira, suaranya berbisik.
"Tidak apa-apa, Naira," kata Nauval, "Aku akan mendengarkan mu dengan sabar. Aku ingin kau tahu bahwa aku ada untukmu, apa pun yang terjadi."
Naira terdiam sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam. "Baiklah," katanya, "Aku akan menceritakannya."
Naira pun mulai bercerita tentang masa lalunya, tentang kejadian pahit yang pernah dia alami. Dia menceritakan tentang bagaimana orang tuanya bercerai, bagaimana dia harus berpindah-pindah tempat tinggal, dan bagaimana dia harus berjuang untuk bertahan hidup.
"Saat itu, aku masih kecil," kata Naira, suaranya bergetar, "Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Aku hanya merasakan kesedihan, kekecewaan, dan rasa kehilangan yang mendalam."
"Aku bisa bayangkan betapa beratnya beban yang kau pikul saat itu," kata Nauval, "Aku salut padamu, Naira. Kau mampu melewati semuanya dengan kuat."
Naira tersenyum tipis, "Aku tidak tahu bagaimana aku bisa melewati semuanya. Aku hanya berusaha untuk tetap kuat, untuk tetap bertahan hidup."
"Dan kau berhasil," kata Nauval, "Kau berhasil melewati semuanya, dan kau sekarang menjadi gadis yang tangguh dan mandiri."
Naira terdiam, dia merasa terharu mendengar ucapan Nauval. Dia merasa Nauval benar-benar mengerti dirinya, memahami rasa sakit yang pernah dia alami di masa lalu.
"Naira, kau tahu," kata Nauval, "Aku sangat bersyukur bisa mengenalmu. Kau adalah gadis yang luar biasa, dengan hati yang tulus dan jiwa yang kuat."
Naira terdiam, matanya berkaca-kaca. Dia merasa terharu mendengar ucapan Nauval. Dia merasa Nauval benar-benar peduli padanya, dan dia mulai menaruh rasa sayang pada Nauval.
"Terima kasih, Nauval," kata Naira, "Aku juga bersyukur bisa mengenalmu. Kau adalah teman terbaik yang pernah kumiliki."
Mereka terdiam sejenak, menikmati suasana sore yang tenang. Tiba-tiba, Naira teringat sesuatu.
"Nauval, aku ingin bertanya sesuatu," kata Naira, "Kau... kau tahu kenapa orang tuaku bercerai?"
Nauval terdiam, matanya menatap Naira dengan heran. "Aku tidak tahu," jawabnya, "Aku tidak pernah bertanya."
"Sebenarnya," kata Naira, "Aku juga tidak tahu alasan sebenarnya. Aku hanya mendengar desas-desus bahwa ayahku memiliki wanita lain."
Nauval terdiam, dia tidak menyangka cerita Naira akan sekompleks ini. Dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan Naira, sesuatu yang membuat Naira enggan untuk menceritakannya.
"Naira, apa kau yakin?" tanya Nauval, "Apakah kau sudah bertanya langsung kepada ayahmu?"
Naira menggeleng, "Belum. Aku takut."
"Kenapa takut?" tanya Nauval.
"Aku takut mendengar jawabannya," jawab Naira, "Aku takut jika ternyata benar bahwa ayahku memiliki wanita lain. Aku takut jika ternyata ayahku tidak mencintai ibuku lagi."
Nauval merasa iba melihat Naira yang tertekan. Dia tahu bahwa Naira sangat mencintai ayahnya, meskipun ayahnya telah meninggalkan mereka.
"Naira, kau tidak perlu takut," kata Nauval, "Aku akan menemanimu jika kau ingin bertanya kepada ayahmu."
Naira terdiam, matanya menatap Nauval dengan penuh harap. "Benarkah?" tanyanya.
"Ya, benar," jawab Nauval, "Aku akan mendukungmu, apa pun yang terjadi."
Naira tersenyum, matanya berkilauan. "Terima kasih, Nauval," katanya.
Mereka pun berjanji untuk mencari tahu alasan sebenarnya di balik perceraian orang tua Naira. Nauval bertekad untuk membantu Naira menemukan jawaban yang dia cari, agar Naira bisa terbebas dari rasa penasaran yang selama ini menghantuinya.
"Naira, aku yakin kau akan menemukan jawabannya," kata Nauval, "Dan aku akan selalu ada untukmu."
Naira tersenyum, hatinya terasa lebih ringan. Dia merasa Nauval benar-benar peduli padanya, dan dia yakin bahwa Nauval akan selalu ada untuknya, apa pun yang terjadi.
Mereka pun berjalan pulang, meninggalkan taman kota yang sepi. Nauval merasa bahagia karena bisa membantu Naira, dan dia yakin bahwa hubungan mereka akan semakin kuat di masa depan.
"Menggali Masa Lalu"
Seminggu kemudian, Naira dan Nauval memutuskan untuk mengunjungi rumah Naira. Rumah itu terletak di pinggiran kota, sebuah rumah sederhana namun terasa hangat. Ibu Naira menyambut mereka dengan ramah, senyumnya tulus dan menenangkan. Namun, Naira bisa merasakan sedikit ketegangan dalam tatapan ibunya.
Setelah berbincang sebentar dengan Ibu Naira, Nauval dan Naira naik ke kamar Naira. Suasana kamar itu sederhana, mencerminkan kepribadian Naira yang tenang. Naira duduk di tepi ranjang, matanya berkaca-kaca.
"Aku sudah siap," bisik Naira, suaranya sedikit gemetar. "Aku ingin tahu kebenarannya."
Nauval menggenggam tangan Naira, memberikan kekuatan dan dukungan. "Aku ada di sini," katanya, suaranya lembut. "Kita akan menghadapi ini bersama."
Naira mengambil ponselnya dan menghubungi ayahnya. Jantungnya berdebar kencang, menunggu jawaban dari panggilannya. Setelah beberapa kali dering, panggilan diangkat. Suara ayahnya terdengar di seberang sana, sedikit kaku dan formal.
"Ayah," sapa Naira, suaranya masih gemetar.
"Naira? Ada apa?" tanya ayahnya, suaranya terdengar dingin.
Naira menarik napas dalam-dalam. "Ayah, aku ingin bertanya tentang perceraian Ayah dan Ibu," katanya, suaranya mulai tegas. "Aku ingin tahu alasan sebenarnya."
Ada jeda yang panjang di seberang sana. Nauval bisa merasakan ketegangan yang mencengkam ruangan. Naira tampak menahan air mata.
"Naira," akhirnya ayahnya berkata, suaranya terdengar berat, "Ini bukan hal yang mudah untuk dibicarakan."
"Tapi aku harus tahu, Ayah," kata Naira, suaranya mulai meninggi. "Aku sudah cukup lama menyimpan rasa penasaran ini."
Ayah Naira menghela napas panjang. "Baiklah, Naira. Aku akan jujur padamu. Aku memang melakukan kesalahan. Aku... aku jatuh cinta pada wanita lain."
Kata-kata itu menusuk hati Naira. Air mata mengalir di pipinya. Nauval memeluknya erat, memberikan kenyamanan dan dukungan.
"Maafkan Ayah, Naira," kata ayahnya, suaranya terdengar menyesal. "Ayah menyesal telah menyakitimu dan Ibumu."
"Kenapa, Ayah?" tanya Naira, suaranya bergetar. "Kenapa Ayah melakukan ini?"
"Ayah... Ayah tidak bisa menjelaskannya," jawab ayahnya, suaranya terdengar lirih. "Ayah hanya bisa mengatakan bahwa Ayah salah."
Naira terdiam, hatinya hancur. Dia tidak menyangka bahwa alasan perceraian orang tuanya sesederhana itu, namun sekaligus begitu menyakitkan. Dia merasa dikhianati, merasa ditinggalkan.
"Ayah," kata Naira, suaranya terdengar tenang namun tegas. "Aku memaafkan Ayah. Tapi, aku harap Ayah bisa belajar dari kesalahan ini."
Ayah Naira terdiam, tidak bisa berkata apa-apa. Hanya kesunyian yang memenuhi telepon.
Setelah menutup telepon, Naira menangis tersedu-sedu di pelukan Nauval. Nauval mengelus rambut Naira, memberikan kenyamanan dan dukungan. Dia tahu bahwa ini adalah momen yang sangat berat bagi Naira.
"Aku tidak apa-apa," kata Naira, setelah beberapa saat. "Aku sudah tahu kebenarannya. Itu sudah cukup."
Nauval menatap Naira dengan penuh kasih sayang. Dia bangga dengan kekuatan Naira yang mampu menghadapi kenyataan pahit ini. Dia tahu bahwa Naira akan mampu melewati semuanya, dengan dukungan dari orang-orang yang menyayanginya.
"Kita akan makan malam bersama Ibumu," kata Nauval, memeluk Naira erat. "Kita akan melewati malam ini bersama."
Mereka turun ke bawah, bergabung dengan Ibu Naira. Suasana makan malam terasa sedikit tegang, namun hangat. Ibu Naira sesekali melirik Naira, matanya penuh dengan kasih sayang dan pengertian.
Setelah makan malam, Nauval mengantar Naira pulang. Di dalam mobil, Naira terlihat tenang. Dia sudah menerima kenyataan, dan dia siap untuk melangkah maju.
"Terima kasih, Nauval," kata Naira, tersenyum tipis. "Kau telah membantuku melewati semuanya."
Nauval tersenyum, "Aku selalu ada untukmu, Naira."
Mereka sampai di rumah Naira. Nauval mencium kening Naira, lalu berpamitan. Naira menatap kepergian Nauval, hatinya dipenuhi dengan rasa syukur dan cinta. Dia tahu bahwa dia tidak sendirian, dia memiliki Nauval, dan dia memiliki orang-orang yang menyayanginya. Dia siap untuk menghadapi masa depan, dengan kekuatan dan keberanian yang baru. Dia telah menggali masa lalunya, dan sekarang, dia siap untuk membangun masa depannya.