Dijodohkan sejak bayi, Zean Andreatama terpaksa menjalani pernikahan bersama aktris seni peran yang kini masih di puncak karirnya, Nathalia Velova. Memiliki istri yang terlalu sibuk dengan dunianya, Zean lama-lama merasa jengah.
Hingga, semua berubah usai pertemuan Zean bersama sekretaris pribadinya di sebuah club malam yang kala itu terjebak keadaan, Ayyana Nasyila. Dia yang biasanya tidak suka ikut campur urusan orang lain, mendadak murka kala wanita itu hendak menjadi pelampiasan hasrat teman dekatnya
--------- ** ---------
"Gajimu kurang sampai harus jual diri?"
"Di luar jam kerja, Bapak tidak punya hak atas diri saya!!"
"Kalau begitu saya akan membuat kamu jadi hak saya seutuhnya."
-------
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33 - Hanya Pergi, Bukan Meninggalkan.
Segala sesuatu jika niatnya hanya setengah-setengah memang tidak baik pada akhirnya. Zean berakhir pulang cepat, tujuan pertamanya ke rumah ketua RT demi meminta foto pernikahannya. Akan tetapi, hari ini Zean justru menetap bersama istrinya di rumah sakit.
Zean terlena dengan kenyamanan, sampai dia tidak menyadari jika pertengkarannya bersama Nathalia sampai ke telinga Zia. Awalnya Zean hendak menyalahkan Yudha, akan tetapi dia salah besar dan yang terjadi sesungguhnya adalah ulah Nathalia sendiri.
Mau tidak mau, Zean harus pulang dan membela dirinya karena Zia mengatakan Nathalia menangis dan mogok makan. Menyebalkan sekali bukan? Selama ini keduanya santai saja dengan kehidupan masing-masing. Akan tetapi, entah kemana Nathalia berulah setelah Zean sudah memiliki Syila.
"Hati-hati ya."
Mereka sudah menikah, tapi kenapa harus ada adegan Zean pulang ke rumah yang berbeda. Sore hari dia mengantar sang istri pulang ke rumah sebelum dia pergi. Sebenarnya Syila ingin di rumah sakit saja, akan tetapi Nyayu tidak memberikan izin karena keesokan harinya Syila sudah harus masuk kerja.
"Kok diizinin, tahan dong," ujar Zean mencebikkan bibirnya kala Syila merestui kepergiannya.
Keduanya masih berdiri di depan pintu, Zean benar-benar enggan pulang sejujurnya. Entah kenapa pesona istri keduanya memang membuat Zean tidak mampu berkutik.
"Sekalipun ditahan, kamu tetap harus pulang, 'kan? Mama kamu khawatir, jadi wajar dia minta pulang."
"Mama, Syila Mama ... jangan begitu nyebutnya," ucap Zean lantaran merasa sebutan "Mama kamu" yang keluar dari bibir istrinya seolah berjarak sekali.
"Iya, Mama maksudku."
Syila merapikan kerah kemeja dan dasi sang suami. Padahal, ini sore hari dan rasanya Zia tetap percaya dengan pengakuan Zean yang mengatakan sudah masuk kerja sekalipun sedikit berantakan.
"Sudah sana, tadi ngakunya di kantor, 'kan?"
Istrinya begitu mengerti keadaan, Zean tidak tega meninggalkannya. Beberapa kali Zean melihat sekeliling mereka, memang banyak tetangga tapi perasaan Zean sama sekali tidak tenang.
"Maaf ya, kamu harus merasakan hal yang begini."
"It's okay, kamu bukan punyaku sendirian ... lagipula sudah tiga hari tidak pulang, jangan buat Mama marah," tutur Syila sedikit berkhianat sebenarnya.
Istri mana yang baik-baik saja jika suami tidak berada di sisinya, terkecuali istri gila. Zean mendekat dan merengkuh istrinya erat-erat, tidak peduli sekalipun masih ada tetangga yang melihat pemandangan itu.
"Pintunya kunci, jangan tidur larut ... nanti malam aku telpon," ucapnya masih enggan melepaskan pelukan, seperti hendak LDR Sumatera - Penang saja.
Tidak ada jawaban dari Syila, wanita itu hanya mengangguk pelan kemudian menunduk dalam-dalam. Pesan Zean membuat hatinya sedikit sedih, hingga kecupan singkat di keningnya membuat Syila terkejut sedikit.
"Aku pergi sebentar ya," pamit Zean kemudian melepas pelukannya, perpisahan ini harus terjadi meski berat sekali.
Syila menghela napas perlahan, dia menatap punggung sang suami yang kini semakin jauh. Beberapa saat lalu dia mengizinkan Zean pergi, akan tetapi entah kenapa batinnya teriris kala mendengar suara mobil Zean.
Zean tidak izin "Pulang" melainkan "Pergi". Hal itu menghantui pikirannya dan membuat Syila sedikit besar kepala pada akhirnya.
"Ikhlaskan, Syila. Jangan serakah," tutur syila menenangkan batinnya, pengantin baru mana yang harus terpisah di saat hubungan tengah manis-manisnya selain mereka, pikir Syila.
Beberapa saat kemudian mobil Zean benar-benar berlalu. Namun, baru saja hendak keluar pagar tiba-tiba berhenti dan Zean kembali menghampirinya.
"Sayang."
Jantung Syila berdebar tidak karuan, itu adalah panggilan spesial pertama yang Zean berikan. Wanita itu terpaku, bibirnya mendadak bingung hendak berucap apa hingga kala Zean kembali melingkarkan tangan di pinggangnya.
"Kenapa? Kok balik?"
"Aku melupakan sesuatu," ucapnya sebelum kemudian meraih tengkuk Syila dan menyapu lembut bibir sang istri begitu manisnya.
Zean memang benar-benar tidak tahu tempat, beruntung saja tetangga mulai sibuk di dalam rumah. Butuh beberapa saat untuk mereka menikmati manisnya senja kali ini. Tidak hanya langit yang merona, melainkan wajah Syila.
"Ck, kenapa harus di sini?" kesal Syila mencubit perut rata Zean, sekalipun dia juga menikmati tetap saja khawatir ada yang menyaksikan tindakan mereka.
"Kalau di kamar bahaya, bisa-bisa aku tidak bisa pergi sampai besok," jawab Zean tertawa sumbang kemudian kembali mengecup keningnya sebagai ungkapan perpisahan untuk terakhir kali.
"Ingat pesanku, kunci pintunya ... tidak ada yang boleh masuk kecuali aku ataupun ibu." Zean takut jikalau anak sulung ketua RT bernama Antony itu masih berusaha mendekati Syila.
"Iya, bawel."
"Aku bukan ikan, Syila."
"Itu bawal, Zean."
Ini bukan waktunya bercanda, tapi kenapa bisa Presdir satu ini mengalihkan kesedihan dengan kalimat yang membuat Syila lupa jika suaminya akan pulang ke pelukan istri pertama. Sesaat dia terkekeh, Zean hanya ingin Syila tidak terlalu bersedih. Padahal, dengan cara dia yang begitu semakin Syila merasa kehilangan.
"Gitu dong, senyum ... biar aku perginya sedikit lebih tenang." Zean mengusap pelan rambutnya.
Mereka hanya berjarak beberapa KM, akan tetapi bagi Zean tetap saja berat. Jika saja Syila bisa dia kecilkan dengan senter pengecil layaknya dunia fiksi, sudah tentu Zean bawa kemanapun dia pergi. Sayangnya, sebesar apapun cinta yang mereka miliki, masih patah dengan kekuatan akta pernikahan jika dihadapan keluarga besarnya.
Saat ini, Zean sudah berada di dalam mobil dengan pandangan tetap tertuju pada istrinya. Syila masih betah menunggu, dia melambaikan tangan meski Zean semakin jauh. Tanpa sadar, mata Zean memanas hingga dia merasakan pipinya membasah.
"Ck? Mau apa kalian keluar dari matamu!" ketusnya mengusap kasar air mata yang lancang memasahi wajahnya.
.
.
- To Be Continue -