Sinopsis:
Zayden Levano, pewaris perusahaan besar, dihadapkan pada permintaan tak terduga dari kakeknya, Abraham Levano. Sang kakek memintanya untuk mencari Elara, seorang gadis yang kini bekerja sebagai wanita penghibur di klub malam. Keluarga Zayden memiliki hutang budi kepada keluarga Elara, dan Abraham percaya bahwa Elara berada dalam bahaya besar karena persaingan bisnis yang kejam.
Permintaan ini semakin rumit ketika Abraham menuntut Zayden untuk menikahi Elara demi melindungi dan menjaga warisan keluarga mereka. Di tengah kebingungan dan pertarungan moralnya, Zayden juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa istrinya, Laura, mengandung anak yang bukan darah dagingnya. Kini, Zayden terjebak antara tanggung jawab keluarga, cinta yang telah retak, dan masa depan seorang gadis yang hidupnya bergantung padanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terjebak di Lingkaran Kakek Abraham
Bab 26
Elara merasa situasi semakin ganjil. Sejak mereka masuk ke rumah besar ini, Kakek Abraham tak henti-hentinya bersikap hangat padanya. Bahkan saat berjalan menuju ruang paling dalam, lelaki tua itu merangkul Elara dengan erat, seperti cucunya sendiri—atau mungkin lebih dari itu?
Elara beberapa kali menoleh ke Zayden, berharap dia akan melakukan sesuatu. Tapi apa yang dilihatnya? Pria itu justru menahan tawa. Bahunya berguncang sedikit, dan dia bahkan menutup mulutnya agar tak terdengar.
'Dasar laki-laki menyebalkan!' pikir Elara sambil mengerucutkan bibir.
Mereka terus berjalan melewati deretan kursi yang tampak seperti ruang tamu, lalu ruang lain yang penuh dengan meja kayu besar, hingga akhirnya tiba di sebuah ruangan di bagian terdalam rumah. Elara sudah kehilangan orientasi.
“Silakan duduk di sini, Nak Elara,” kata Kakek Abraham, menunjuk sofa empuk yang terletak di sampingnya.
Dengan terpaksa, Elara menuruti permintaan itu. Namun, rasa risih mulai menjalari tubuhnya ketika Kakek Abraham tetap duduk di sebelahnya, bahkan lebih dekat dari sebelumnya.
"Kamu mau minum apa?" tanya Kakek Abraham, sambil menepuk tangan Elara yang berada di atas pahanya.
"E, em bebas Kek. Apa aja." Elara gugup. Gak nyaman lebih tepatnya.
"Ok, sama seperti kesukaan Zayden aja ya. Cokelat Panas dengan Marshmallow. Karena hari masih cukup pagi. Jangan dulu minum yang dingin-dingin."
Zayden langsung sedikit menunduk dan tangannya pura-pura menyentuh kening. 'Aduh ... Kakek. Kenapa nyebut minuman itu di depan Elara,' batinnya.
Sedangkan Elara menatap Zayden dengan sorot mata tak percaya. Seorang Zayden, CEO gagah, minumannya seperti anak kecil?
"Ok, boleh Kakek tahu awal kalian..."
“Eh, maaf, Kakek. Saya perlu ke toilet sebentar,” kata Elara, memotong pembicaraan Abraham. Sebenarnya dia hanya mencari alasan untuk menjauh.
“Oh, tentu saja!” Kakek Abraham meraih ponselnya dan menekan sesuatu. Dalam hitungan detik, seorang pelayan masuk ke ruangan.
“Tolong antar Nona Elara ke toilet,” perintahnya dengan nada penuh wibawa.
Pelayan itu mengangguk sopan dan mempersilakan Elara mengikutinya. Saat mereka berjalan menuju toilet, Elara menatap pelayan itu dengan tatapan penuh tanya.
“Ehm, boleh tanya sesuatu?” Elara berbisik.
“Tentu, Nona,” jawab pelayan itu ramah.
“Ehm, soal Kakek Abraham... dia selalu seperti ini sama orang baru?"
Pelayan itu tersenyum tipis, seolah mengerti maksud pertanyaan Elara. “Kakek Abraham memang mudah dekat dengan orang. Kalau menurut beliau, seseorang pantas dicintai, maka beliau akan sangat perhatian dan peduli."
"Sama semua orang?"
"Enggak juga. Biasanya hanya pada wanita yang beliau anggap pantas."
Elara menghentikan langkahnya sesaat, merasa ada sesuatu yang menusuk di pikirannya. “Maksudnya... dia mudah jatuh cinta?”
“Bisa dibilang begitu,” jawab pelayan itu sambil tersenyum.
Elara menahan napas. Tubuhnya merinding mendengar penjelasan itu.
Padahal, Elara salah paham dalam hal ini. Pelayan itu menjelaskan tidak detail. Maksudnya, Abraham akan sangat dekat dengan wanita yang dia anggap pantas. Seperti cucunya, mantunya, kerabatnya atau rekan yang benar-benar sudah akrab sejak lama.
###
Setelah selesai dari toilet, Elara memutuskan untuk duduk lebih dekat dengan Zayden. Baginya, ini adalah satu-satunya cara agar terhindar dari perhatian berlebihan Kakek Abraham.
Saat Elara kembali, untungnya Kakek Abraham sedang tidak ada. Dia bisa leluasa menumpahkan kesal pada suaminya.
Saat ia duduk di samping suaminya, Zayden langsung menoleh dengan alis terangkat. “Ada apa? Tumben manja gini.”
Elara melotot. “Diam, kamu! Aku nggak mau duduk di sebelah kakekmu lagi. Serius, Zayden. Dia... dia aneh!”
Zayden hanya terkekeh. “Aneh? Maksudmu? Jangan berpikir macam-macam tentang Kakek, ya.”
“Bukan macam-macam, tapi ini fakta. Dia terlalu perhatian, berlebihan, terlalu dekat! Aku bahkan nggak tahu harus gimana kalau dia terus merangkulku seperti tadi. Rasanya geli banget!” Elara berbisik dengan nada penuh frustrasi.
Zayden menyandarkan tubuhnya ke sofa sambil menatap Elara dengan senyum usil. “Yah, wajar sih. Kakek memang selalu ramah sama orang yang dia suka.”
“Suka?” Elara menatap Zayden dengan mata melebar. “Zayden, dia kakekmu! Jangan bilang ini biasa buat kalian?”
Zayden mengangkat bahu, tampak tak terpengaruh. “Biasa aja. Lagipula, dia cuma menganggapmu spesial.”
“Spesial apanya? Aku cuma temanmu! Eh, maksudku istrimu yang—ah, sudahlah! Pokoknya ini nggak normal!” Elara memukul lengan Zayden pelan.
Zayden menahan tawa. “Kamu terlalu serius, Elara. Lagipula, kamu harus bersyukur, tahu? Nggak semua orang bisa dapat perhatian khusus dari Kakek Abraham.”
“Perhatian khusus apanya? Aku hampir merasa seperti—seperti...” Elara menggertakkan giginya, mencari kata yang tepat. “...seperti mangsa!”
Zayden akhirnya tertawa terbahak-bahak. “Kamu memang lucu kalau lagi marah-marah begini.”
Elara memalingkan wajahnya, berusaha mengabaikan Zayden. Tapi dalam hati, ia tahu satu hal: Awas saja kamu, Zayden. Ini belum selesai. Seharian ini Elara dibuat main-main oleh Zayden.
Saat melihat pelayanan datang dengan dua coklat marshmallow, Elara mendapatkan ide.
"Mau ke mana?" tanya Zayden. Melihat Elara bangkit dari duduknya.
Elara tak menjawab, dia terus melangkah menghampiri pelayan yang menuju ke arah mereka.
"Biar aku saja, Mba," pinta Elara. Mengambil alih nampan dari pelayan.
Awalnya pelayan itu menolak, pasti nanti kena marah Tuan Abraham, kalau sampai Elara yang bawa suguhan ini. Namun, Elara memaksa, pelayan itu bisa apa.
"Hah ... kayanya seger, nih." Elara meletakkan dua gelas coklat marshmallow di atas meja.
Elara langsung meminumnya, tapi dua-duanya dia cicipi, dengan sengaja.
"Eh, apa-apaan? Kau rakus sekali. Teriak Zayden."
"Gak boleh ya? Aku hanya minta dikit," cibir Elara.
Zayden tak membalas cibiran istrinya. Dia tahu, ini pasti sengaja dilakukan biar dirinya kesal. Zayden bukan pria yang tidak pengalaman masalah tak tik.
"Kamu gak marah?" tanya Elara yang melihat Zayden malah membuka ponselnya, memanggil seseorang.
Elara menyimak Zayden menelpon dengan siapa.
"Hah? Gak salah?!" Elara terperangah mendengar siapa yang Zayden hubungi.
Bersambung...