Felicia, seorang mahasiswi yang terjebak dalam hutang keluarganya, dipaksa bekerja untuk Pak Rangga, seorang pengusaha kaya dan kejam, sebagai jaminan pembayaran utang. Seiring waktu, Felicia mulai melihat sisi manusiawi Pak Rangga, dan perasaan antara kebencian dan kasih sayang mulai tumbuh di dalam dirinya.
Terjebak dalam dilema moral, Felicia akhirnya memilih untuk menikah dengan Pak Rangga demi melindungi keluarganya. Pernikahan ini bukan hanya tentang menyelesaikan masalah utang, tetapi juga pengorbanan besar untuk kebebasan. Meskipun kehidupannya berubah, Felicia bertekad untuk mengungkapkan kejahatan Pak Rangga dan mencari kebebasan sejati, sambil membangun hubungan yang lebih baik dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi'rhmta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 4: Lingkungan yang Mencekam
Felicia sudah beberapa minggu bekerja di rumah Pak Rangga, dan semakin hari semakin terasa bahwa rutinitas yang dijalaninya tidak hanya melelahkan, tetapi juga semakin mencekik kebebasan dan jiwanya. Setiap hari, dia bangun lebih awal dan tidur larut malam, bekerja tanpa henti—mulai dari mengatur jadwal pribadi Pak Rangga, merapikan rumah, hingga memenuhi permintaan-permintaan yang datang entah dari mana. Waktu untuk dirinya sendiri nyaris tidak ada, dan itu membuatnya merasa semakin terperangkap dalam kehidupan yang bukan pilihannya.
Pada suatu sore yang sepi, setelah menyelesaikan beberapa tugas administrasi, Felicia duduk di sudut ruang tamu besar, mencoba mencari sedikit ketenangan. Namun, pikirannya penuh dengan kekhawatiran. Dia sudah beberapa kali mencoba berbicara tentang keadaan yang menekan ini kepada Pak Rangga, berharap ada sedikit pengertian, tapi selalu saja ada alasan yang membuatnya diam.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Pak Rangga muncul di ambang pintu, mengenakan setelan jas hitam yang terlihat semakin membuatnya terlihat berwibawa. Tatapannya seolah menilai apa yang ada di depan matanya.
“Kau masih di sini, Felicia?” Pak Rangga bertanya dengan nada yang tidak terlalu keras, namun penuh makna.
Felicia terkejut. “S-saya baru selesai beberapa pekerjaan, Pak Rangga,” jawabnya cepat, berusaha terlihat profesional meskipun tubuhnya mulai merasa lelah.
Pak Rangga mendekat dan berdiri di depan jendela, memandang keluar. “Kamu tidak merasa lelah? Terlalu banyak pekerjaan bisa membuatmu hilang fokus, Felicia.”
Felicia terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Saya baik-baik saja, Pak. Hanya sedikit lelah.”
“Lelah bukan alasan untuk berhenti bekerja,” kata Pak Rangga dengan suara yang tenang, namun ada ketegasan yang tidak bisa diabaikan. “Aku tidak ingin mendengar kata ‘lelah’. Kamu harus terus maju.”
Felicia menundukkan kepala, merasa seolah tidak ada ruang untuk mengeluh di sini. “Tentu, Pak. Saya akan lanjutkan pekerjaan saya.”
Pak Rangga berbalik, matanya tetap terfokus pada Felicia. “Felicia, aku tidak ingin ada keluhan tentang pekerjaan ini. Kau harus fokus pada tugasmu. Semua orang di rumah ini memiliki kewajiban, dan itu tidak bisa ditunda.”
Felicia merasakan semakin dalam tekanan yang diberikan oleh Pak Rangga. Setiap kali dia mencoba berbicara atau bahkan hanya beristirahat sejenak, selalu ada alasan yang membuatnya merasa tidak berhak atas waktu luangnya. “Saya paham, Pak,” jawab Felicia, meskipun hatinya penuh keraguan.
Namun, ada saat-saat tertentu di mana Felicia merasa ingin melarikan diri dari rumah ini. Dia ingin berbicara dengan seseorang—teman, atau bahkan keluarga—untuk melepaskan ketegangan yang semakin menumpuk. Tetapi setiap kali dia mencoba mencari kesempatan untuk keluar atau menelepon seseorang, selalu ada saja hal yang menghalangi langkahnya.
Suatu hari, Felicia mengatur waktu untuk menelepon sahabatnya, Maya. Dia ingin sekali berbagi tentang perasaannya yang tertekan dan mencari dukungan. Saat itu, Pak Rangga masuk ke ruang tamu secara tiba-tiba, menyebabkan Felicia buru-buru menutup ponselnya.
"Sedang menelepon siapa, Felicia?" tanya Pak Rangga dengan suara datar, namun ada rasa ingin tahu yang mengintai.
Felicia terkejut dan dengan cepat menjawab, "Hanya… hanya memeriksa pesan pribadi, Pak."
Pak Rangga memandangnya dengan tatapan tajam. "Aku tidak ingin ada yang mengganggu pekerjaanmu di sini, Felicia. Semua yang kamu lakukan harus berfokus pada pekerjaan ini."
Felicia merasa lidahnya kelu. Setiap kali dia mencoba mencari sedikit ruang untuk dirinya sendiri, selalu ada halangan yang datang. Seolah-olah Pak Rangga selalu tahu apa yang sedang dia pikirkan, dan selalu ada alasan yang membungkamnya.
Hari berikutnya, Felicia merasa terjebak. Semua yang dia lakukan terasa tidak pernah cukup, dan semakin lama, dia semakin merasa seperti robot yang hanya menjalankan perintah tanpa pernah mendapatkan kesempatan untuk bernafas. Setiap langkah yang dia ambil, setiap usaha yang dia lakukan, selalu ada pengawasan yang mengikutinya.
Pada suatu malam, setelah menyelesaikan pekerjaan, Felicia memutuskan untuk melarikan diri ke taman belakang rumah, mencoba mendapatkan sedikit udara segar. Saat dia duduk di bangku taman, matahari sudah lama terbenam dan cahaya rembulan menggantikan sinar matahari. Dia menatap langit yang gelap, berpikir tentang masa depan yang tidak jelas.
Namun, tak lama kemudian, dia mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Pak Rangga muncul di depan pintu, berdiri di sana dengan tatapan tajam. "Felicia," katanya dengan suara rendah, "Aku tidak suka melihatmu sendirian di sini tanpa alasan. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan."
Felicia merasa tubuhnya seperti dibekukan. "Saya hanya… ingin sedikit waktu untuk diri saya sendiri, Pak."
Pak Rangga mendekat, matanya tetap fokus pada Felicia. "Aku tidak ingin mendengar alasan. Tugasmu belum selesai, Felicia. Kita semua punya peran di sini, dan kamu harus tahu tempatmu."
Felicia menundukkan kepala, merasa hatinya semakin terhimpit oleh kata-kata itu. Dia tahu bahwa dia tidak bisa lagi melarikan diri dari kenyataan ini. Setiap kali dia mencoba berbicara atau mengambil waktu untuk dirinya sendiri, selalu ada sesuatu atau seseorang yang menghentikan langkahnya.
“Segera kembali ke dalam,” perintah Pak Rangga tanpa rasa ragu. Felicia tidak bisa menolak, hanya bisa mengangguk pelan dan kembali ke dalam rumah, merasa semakin terjebak dalam rutinitas yang tak ada habisnya.