sinopsis Amelia, seorang dokter muda yang penuh semangat, terjebak dalam konspirasi gelap di dunia medis. Amelia berjuang untuk mengungkap kebenaran, melindungi pasien-pasiennya, dan mengalahkan kekuatan korup di balik industri medis. Amelia bertekad untuk membawa keadilan, meskipun risiko yang dihadapinya semakin besar. Namun, ia harus memilih antara melawan sistem atau melanjutkan hidupnya sebagai simbol keberanian dalam dunia yang gelap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nurul natasya syafika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 2: Misteri Insulin Baru
Amelia baru saja kembali ke ruangannya setelah malam yang panjang menangani komplikasi serius dari uji klinis kanker ginjal. Matanya masih berat karena kurang tidur, tetapi pikirannya terus berputar.
Kasus yang menimpa salah satu pasien kecilnya, Raka, masih meninggalkan rasa bersalah yang tak kunjung reda. Namun, pagi itu, ia tak punya waktu untuk merenung terlalu lama. Sebuah panggilan datang dari Dr. Lina, kepala divisi endokrinologi.
“Amelia, saya butuh bantuanmu,” kata Lina melalui telepon. Suaranya terdengar tegas, tetapi juga sedikit tergesa-gesa. Amelia mendengarkan dengan serius.
“Uji coba insulin cerdas sedang memasuki fase penting. Kami butuh pandangan tambahanmu untuk memastikan semuanya berjalan lancar.”
Amelia menarik napas dalam-dalam. Setelah semua yang terjadi dengan uji klinis kanker ginjal, ia merasa skeptis terhadap proyek-proyek inovatif seperti ini. Tapi ia tidak menolak. Panggilan tugas datang, dan Amelia selalu mendahulukan kebutuhan pasien di atas segalanya.
......................
**Di Ruang Konferensi**
Amelia melangkah masuk ke ruang konferensi di lantai tiga rumah sakit. Ruangan itu penuh dengan anggota tim medis dan para peneliti, semua sibuk dengan dokumen dan presentasi. Di layar besar di depan mereka, diagram insulin cerdas diproyeksikan.
Dr. Lina berdiri di depan ruangan, menjelaskan dengan penuh semangat. “Insulin cerdas ini dirancang untuk menyesuaikan dosis secara otomatis sesuai dengan kadar gula darah pasien. Algoritmanya bekerja real-time, menggunakan data dari sensor yang ditanamkan di tubuh pasien. Tidak ada lagi suntikan manual atau penghitungan karbohidrat yang rumit.”
Semua orang di ruangan itu terlihat terkesan, termasuk Amelia. Namun, sebagai seseorang yang teliti, ia selalu mencari potensi masalah dalam setiap inovasi baru.
“Dr. Lina,” Amelia memulai dengan nada hati-hati, “teknologi ini terdengar luar biasa. Tapi apakah kita sudah benar-benar memastikan bahwa algoritma ini aman dalam setiap situasi? Misalnya, bagaimana jika pasien mengalami fluktuasi gula darah ekstrem? Bagaimana algoritma mengatasi metabolisme yang tidak stabil?”
Lina terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Algoritma ini telah melalui banyak simulasi komputer dan uji lab. Kami yakin ini cukup aman. Tapi, seperti biasa, uji klinis langsung akan menjadi penentu.”
Amelia memperhatikan nada ragu dalam jawaban Lina. Dia tahu terlalu baik bahwa dalam dunia kedokteran, keyakinan tanpa bukti konkret sering kali menjadi sumber masalah. Tapi untuk saat ini, ia memutuskan untuk mengamati lebih dulu sebelum menyimpulkan apa pun.
......................
Amelia mulai berinteraksi dengan pasien-pasien yang menggunakan insulin cerdas. Salah satu pasiennya adalah Dina, seorang remaja berusia 16 tahun yang baru saja didiagnosis dengan diabetes tipe 1. Dina tampak optimis dan bersemangat mencoba teknologi baru ini.
“Bu Dokter,” kata Dina suatu sore ketika Amelia memeriksa alat insulin di tubuhnya, “saya senang banget ada teknologi ini. Saya benci harus terus-menerus memeriksa gula darah saya. Jadi, ini seperti punya asisten pribadi, kan?”
Amelia tersenyum lembut. “Betul, Dina. Tapi ingat, meskipun alat ini pintar, kamu tetap harus memerhatikan pola makan dan kebiasaanmu. Ini alat bantu, bukan keajaiban.”
Dina mengangguk penuh semangat, dan Amelia merasa sedikit lega melihat optimismenya. Dalam beberapa hari pertama, hasilnya memang terlihat menjanjikan. Pasien seperti Dina menunjukkan peningkatan kontrol gula darah, dan tim medis mulai merasa percaya diri dengan teknologi ini.
......................
Namun, hanya dalam waktu beberapa hari, situasi mulai berubah. Salah satu pasien dewasa, Pak Johan, ditemukan tidak sadarkan diri di ruang rawatnya. Alarm insulin cerdas di tubuhnya berbunyi keras, menarik perhatian perawat yang segera memanggil Amelia.
Amelia berlari ke ruang rawat dengan perasaan cemas. Ketika tiba, ia langsung memeriksa monitor gula darah Pak Johan. Angka di layar membuatnya tertegun.
“Gula darahnya sangat rendah!” serunya. “Cepat, berikan infus glukosa!”
Sambil tim perawat menangani Pak Johan, Amelia mencoba memahami apa yang salah.
Perawat Rani, yang juga berada di ruangan itu, menggeleng bingung. “Bagaimana ini bisa terjadi, Dok? Algoritma seharusnya menyesuaikan dosis secara otomatis, kan?”
Amelia mengangguk pelan, tetapi pikirannya penuh dengan tanda tanya. Ini bukan kasus pertama. Dua hari sebelumnya, seorang pasien anak hampir mengalami hipoglikemia parah. Amelia merasa ada pola yang mencurigakan di balik kejadian-kejadian ini.
......................
Setelah menangani pasien-pasiennya, Amelia memutuskan untuk memeriksa laporan algoritma insulin yang digunakan oleh pasien-pasien tersebut. Ia menghabiskan malamnya di depan komputer, mempelajari data yang rumit dan mencoba menemukan jawaban.
Setelah beberapa jam, ia menemukan pola yang tidak bisa diabaikan. Algoritma tampaknya memiliki kelemahan mendasar: alat ini tidak mampu menangani perubahan kadar gula yang ekstrem, terutama pada pasien dengan metabolisme yang lebih cepat atau fluktuasi gula darah yang tidak teratur.
Keesokan harinya, Amelia membawa temuannya ke kantor Dr. Lina.
“Lina,” katanya sambil menunjukkan laporan di tangannya, “ini bukan kebetulan. Algoritma ini memiliki kelemahan serius. Jika pasien memiliki metabolisme yang tidak stabil, insulin ini bisa menjadi ancaman nyata.”
Dr. Lina terlihat cemas mendengar penjelasan Amelia. “Aku tahu ini terlihat buruk. Tapi kami sudah melakukan simulasi. Mungkin ini hanya kasus yang sangat jarang.”
Amelia mendesak lebih jauh. “Lina, kita tidak bisa bermain-main dengan nyawa pasien. Apakah simulasi ini benar-benar cukup, atau ada sesuatu yang dilewatkan?”
Namun, Lina tidak memberikan jawaban yang memuaskan. Amelia merasa ada sesuatu yang disembunyikan, tetapi Lina tampaknya tidak mau membicarakannya lebih jauh.
......................
Malam itu, Amelia kembali ke rumah sakit untuk memeriksa lebih banyak dokumen. Ia mendapatkan akses ke laporan internal yang sebelumnya tidak pernah ia lihat. Laporan itu mencantumkan detail rapat antara tim peneliti dan perusahaan farmasi yang mendanai proyek ini.
Saat membaca dokumen itu, Amelia merasa jantungnya berhenti. Perusahaan farmasi yang mendanai proyek ini mendesak agar insulin cerdas segera diluncurkan, meskipun simulasi algoritma belum sepenuhnya selesai.
Dalam catatan itu tertulis:
“Kami berada di bawah tekanan untuk meluncurkan produk sebelum akhir tahun fiskal. Risiko efek samping dapat diatasi setelah peluncuran.”
Amelia terduduk di kursinya. Ia tidak percaya bahwa keselamatan pasien dikorbankan demi keuntungan finansial.
“Mereka lebih peduli dengan keuntungan daripada keselamatan pasien...” bisiknya dengan nada marah.
Saat ia hendak menyimpan salinan dokumen itu, pintu kantornya tiba-tiba terbuka. Seorang pria berpakaian jas masuk dengan wajah tegang.
“Dokter Amelia,” katanya dengan suara dingin, “saya sarankan Anda berhenti mencari. Ini bukan urusan Anda.”
Amelia berdiri, mencoba terlihat tenang meskipun hatinya berdegup kencang. “Siapa Anda? Apa yang Anda sembunyikan?” tanyanya dengan tegas.
Pria itu tidak menjawab. Sebaliknya, dia meninggalkan sebuah amplop di meja Amelia sebelum pergi begitu saja.
Amelia membuka amplop itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya ada selembar catatan kecil yang bertuliskan:
“Jika Anda terus mencari, pasien Anda akan membayar harga yang mahal.”
Amelia menggenggam catatan itu erat. Matanya menyala dengan tekad yang membara. Ia tahu, ancaman ini adalah bukti bahwa ia sedang menyentuh sesuatu yang besar.
Tetapi bagi Amelia, tidak ada pilihan untuk mundur. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan terus mencari kebenaran, apa pun risikonya.
“Mereka tidak bisa menghentikanku,” gumamnya pelan. “Demi pasien-pasienku, aku akan melawan.”