Adelia Adena, seorang gadis SMA yang ekstrover, ceria dan mudah bergaul dengan siapa saja, tiap harinya selalu di isi dengan keceriaan dan kebahagiaan.
Hingga suatu hari hidupnya berubah, ketika sang Ayah (Arsen Adetya) mengatakan bahwa mereka akan pindah di perkampungan dan akan tinggal disana setelah semua uang-nya habis karena melunasi semua utang sang adik (Diana).
Ayahnya (Arsen Aditya) memberitahukan bahwa sepupunya yang bernama Liliana akan tinggal bersama mereka setelah sang Ibu (Diana) melarikan diri.
Adelia ingin menolak, tapi tak bisa melakukan apa-apa. Karena sang Ayah sudah memutuskan.
Ingin tahu kelanjutannya, simak terus disini, yah! 🖐️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khairunnisa Nur Sulfani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bima Juga Patut di Curigai!
"Siapa itu?" tanya Bima sesampainya di hadapanku, ia menatap kepergian pak Umar dengan lekat hingga lelaki tua itu tidak terlihat lagi. Sedang aku, aku tidak tahu harus meresponnya bagaimana. Aku ingin menceritakannya tapi mengingat perkataan terakhir pak Umar agar merahasiakan pembicaraan kami, aku jadi mengurungkan niatku tersebut.
"Bapak-bapak disini, aneh loh. Kamu jangan mudah percaya sepenuhnya." ujarnya, kini beralih menatapku.
"Apa maksudmu?." tanyaku. Sedang Bima, seolah tersadar akan yang baru saja ia ucapkan, ia memintaku untuk melupakannya saja. Aku menanyakan alasan mengapa Bima kemari dan meninggalkan pekerjaannya di Kota, sedang Bima mengatakan jika Hana sendiri yang menelponnya dan memintanya segera kemari.
Oh, ya. Setiap temanku Hana mengetahuinya dan dekat, termasuk dengan bima, tapi aku tidak menyangka jika Hana sampai meneleponnya. Bima bilang, jika Hana menghubunginya berkali-kali dan mengatakan ada hal penting yang ingin ia bicarakan terkait aku. Ya, aku. Sedikit kesal akan tingkah Hana yang kurasa terlalu berlebihan sampai harus menelepon orang lain.
"Ini." ujar Bima memperlihatkan layar hpnya, tepatnya memperlihatkan notifikasi pesan masuk di ponselnya dari Hana. Sedang aku, aku tidak menanggapinya, hanya meresponnya biasa saja. Tunggu, sebenarnya wallpaper yang digunakan Bima lebih menarik perhatianku dibanding pesan yang ia perlihatkan. Itu menggangguku, dan kurasa aku pernah melihat gambar itu sekilas, tapi aku lupa dimana.
Untuk memastikannya sekali lagi, aku berpura-pura meminta Bima melihat kembali pesan Hana dan menanyakan apa yang Hana katakan karena aku begitu penasaran. Tanpa curiga dan mengetahui tujuanku, bima memperlihatkannya lagi dan memberitahuku isi pesan itu. Benar, aku pernah melihat gambar itu.
Bima menanyakan apakah aku ribut dengan Hana, aku mengatakannya dengan jujur dan mengatakan jika Hana meminta pindah karena tidak nyaman tinggal di Desa. Ya, aku mengatakannya meski tidak sepenuhnya benar. Aku tidak mengatakan apa alasan sesungguhnya karena entah mengapa, aku tiba-tiba menjadi ragu hanya karena gambar yang aku lihat itu. Aku berusaha mengingatnya dengan begitu keras.
Hingga aku berhasil mengingatnya. Ya, wallpaper yang di gunakan Bima saat ini sama persis dengan profil dari sebuah user dengan nama pengguna @Bma_p yang aku lihat saat melakukan pencarian diinternet tadi. Postingan yang kurasa begitu ambigu dan aku tidak mengerti apa maksud postingan yang ia buat dua tahun lalu.
Tapi apa benar itu Bima? @Bma_p apakah itu berarti nama penggunanya adalah Bima, dan hurup p di akhir yang aku tidak tahu apa maksudnya. Apakah ia orang itu? Aku menghentikan langkah ku tiba-tiba dan membuat Bima bertanya apa yang terjadi.
"Ada apa Arsen?." tanyanya kini. Aku menyesali apa yang tengah aku lakukan sekarang. Tiba-tiba, apa yang dikatakan oleh pak Umar tadi menggangguku. Sungguh, jika apa yang aku pikirkan sekarang adalah benar, dan apa yang Hana hendak ceritakan adalah mengenai apa yang terjadi, maka Hana memilih menceritakannya pada orang yang salah yang bisa saja menyebabkan kami berada di situasi yang sulit.
Tapi lagi, seolah Tuhan berada di pihakku. Aku menemukan alasan yang tepat pada Bima agar menunda waktu bertemu dengan Hana, aku berharap bisa segera memberi tahu Hana agar tidak menceritakannya.
"Sepertinya aku menjatuhkan cincin pernikahanku." ujarku seolah tengah mencari sesuatu dibawah rumput. Ya, aku biasanya memang selalu mengenakkan cincin pernikahan kami, dan aku menjatuhkannya tadi saat Bima tidak melihat ke arahku.
"Benarkah?." ujarnya yang juga ikut mencarinya. Dan sialnya, Bima menemukannya dengan cepat, seolah bumi mempermainkanku. Bima memberikan cincin itu padaku. Aku mengambilnya dengan sedikit kecewa namun berusaha terlihat biasa saja.
"Benarkah kamu menjatuhkannya? Dan bukannya sengaja?." tanyanya yang berhasil menghentikan langkahku yang kebetulan berjalan lebih dulu. Tadi aku berjalan lebih dulu, khawatir bisa saja Bima ini membaca mimik wajahku. Aku merasa sedikit gugup, kemudian berusaha menatapnya seolah bingung dengan yang ia tanyakan.
"Bercanda, hahahaha." tawanya seolah ada yang lucu, padahal hal tersebut membuatku merasa seolah nafasku ikut terhenti.
"Maaf, apa kamu kesal? Aku hanya merasa kamu seolah tidak ingin aku bertemu dengan Hana."
"Khawatir kamu cemburu saja. Tenang, aku sudah tidak menyukai Hana." benar, Bima ini pernah menyukai Hana dahulu. Tapi sayang, Hana menolaknya karena ia adalah milikku. Hal ini berhasil membuatku bisa bernafas lega, walau sesaat. Karena setelah ini kami akan bertemu Hana dan aku sudah tidak punya alasan apapun untuk menahannya bertemu dengan Hana. Bagaimana cara aku memberitahukan ini pada Hana?
Dikejauhan terlihat Hana sudah berdiri hendak menyambut kami. Bima melambaikan tangannya menyapa Hana dan Hana membalasnya dengan melambaikan tangan juga. Ia mempersilahkan kami masuk dan duduk di ruang tamu. Oh, Tuhan, aku khawatir sekali.
"Terimakasih, ya, Bim. Sudah mau datang." ucap Hana.
"Cemilannya mana ini?." ujarku menyadarkan Hana agar menyiapkan minuman serta kudapan, yang sebenarnya hanya untuk membuatnya urung menceritakan masalah kami. Hana hanya melirikku sekilas seperti kesal dan segera berlalu. Hana kemudian kembali dan menyiapkan minuman di atas meja. Astaga, sebenarnya Hana kenapa bisa melakukannya dengan cepat.
"Maaf ya, jadi lupa."
"Iya, nggak apa-apa. Jadi, apa yang mau kamu ceritakan yang kamu bilang saat tadi menelponku?." tanya Bima. Hal itu berhasil membuatku tersedak minumanku sendiri.
"Kamu kenapa sih, Mas?." tanya Hana melihat ke arahku, sedikit kesal namun tetap melihat ke arahku, kesempatan ini aku gunakan untuk memberitahu Hana agar tidak menceritakan masalah yang sebenarnya pada Bima. Meski hanya lewat gelengan kecil berupa kode yang semoga Hana menyadarinya. Hana hanya memperhatikanku dengan menautkan alisnya seolah bingung.
"Bilang apa tadi? Sorry yah, Arsen memang suka bikin rusuh." ujar Hana, sedang Bima ia terlihat tidak sabaran. Hana melihat ke arahku dengan pandangan tidak mengerti.
"Ini loh, Bim. Aku minta Arsen buat jual rumah ini. Kamu kan tahu, kalau aku tidak terbiasa tinggal di Desa. Aku juga nggak ngerti tinggal di rumah kecil ini tanpa ada pembantu satu orangpun." decak Hana seolah tengah kesal. Ia pun sesekali melirik ke arahku dengan raut wajah tidak suka. Sedang aku, aku tidak tahu bagaimana respon Bima dan aku tidak peduli.
Aku lebih bersyukur karena Hana tidak jadi menceritakannya.
Bima pamit setelah saling bertukar pendapat dan memberikan saran-saran pada Hana. Ia seolah biasa saja dan mendukung keputusan Hana dan ikut menyudutkan aku. Memang sih, dari dulu dia selalu berpihak pada Hana. Tapi kini, kurasa perlu berhati-hati pada Bima dan dia memang patut di curigai.
Kami mengantar Bima sampai ke depan pintu. Selepas kepergian Bima, Hana melihat ke arahku dengan tatapan penuh kekesalan dan kemarahan. Tapi tak apa, aku lebih suka ia marah dibanding ia dalam bahaya. Tapi sebelum itu, aku mengajak Hana ke kamar dan menceritakan semua yang terjadi. Mulai dari apa yang aku temukan di internet, pertemuanku dengan bapak Umar dan pembicaraan kami. Juga reaksi Bima saat melihat pak Umar ia seolah khawatir akan sesuatu.
"Oh, astaga, yang benar saja." ucap Hana syok. Hana bilang, tadi ia hendak menceritakan semua yang terjadi dan apa yang ia ketahui, tapi melihatku, ia mengurungkan niat itu, karena Hana memang merasa jika aku melarangnya mengatakan yang sesungguhnya.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?."
"Kurasa bawa anak-anak dan juga kamu pergi dari sini, Hana."
"Dan kamu? Kamu akan tetap disini dan tetap merencanakan rencana gilamu itu!? Dengar mas, kami lebih butuh kamu!" bentak Hana.
"Kamu bahkan bukan polisi. Tolong, mari pergi bersama dari sini." ujar Hana melembut, ia memegang tanganku dan aku memeluknya saat itu juga. Maaf sayang, aku membuat kalian berada di posisi sulit.
"Jangan membuatku marah lagi." ucapnya kemudian berlalu. Sungguh, perasaan yang mudah berubah cepat sekali.
Sedang anak-anak, mereka hanya diam saja di rumah dan tidak melakukan aktifitas apapun. Semakin membuatku merasa bersalah. Aku menghampiri Adelia dan Lilian, memberitahukan bahwa aku tidak jadi mendaftarkan mereka di sekolah di sini. Aku pun memberitahukan juga rencanaku agar bisa pergi dari sini.
"Benarkah?." tanya Adelia. Aku tidak tahu apa yang ia rasakan sekarang. Frustasikah atau ia juga merasa kesal sepertiku juga Hana?
"Maaf. Semua ini karena aku dan Ibu." sahut Lilian.
"Ini memang salahmu." sahut Adelia kemudian berlalu, sedang Lilian ia hanya menunduk sembari memainkan tangannya merasa bersalah. Jika biasanya aku akan menenangkannya dan mengatakan tidak apa-apa. Sekarang aku membiarkannya saja dan berlalu. Maaf Nak, hidup memang rumit dan semenyebalkan itu.