Tiga sahabat, Reza, Bima, dan Fajar, terjebak dalam sebuah misi absurd di tengah gurun pasir setelah disedot oleh portal misterius. Dengan hanya lima nyawa tersisa, mereka harus menghadapi tantangan aneh dan berbahaya untuk mencapai harta karun legendaris. Setiap kali salah satu dari mereka mati, mereka "respawn" seperti dalam permainan video, tetapi jumlah nyawa mereka berkurang, mendekatkan mereka pada nasib terjebak selamanya di gurun.
Setelah berlari dari kejaran buaya darat dan selamat dari angin puting beliung yang disebut "Angin Putri Balalinung," mereka menemukan helikopter misterius. Meskipun tidak ada yang tahu cara mengendalikannya, Bima mengambil alih dan, dengan keberanian nekat, berhasil menerbangkan mereka menjauh dari bahaya.
"Bro, lo yakin ini aman?" tanya Reza sambil gemetar, memandangi kokpit yang penuh dengan tombol.
Bima mengangguk ragu, "Kita nggak punya pilihan lain, kan?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vyann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukit Terjal
Pagi itu, sinar matahari mulai menembus celah-celah pepohonan hutan, menciptakan bayang-bayang panjang yang seolah menari di atas dedaunan. Udara segar dan sejuk membelai kulit mereka, memberikan semangat baru setelah malam panjang yang mereka lalui. Bima, Reza, dan Fajar bersiap-siap, merapikan barang-barang mereka, dan memastikan mereka siap melanjutkan perjalanan menuju tujuan selanjutnya.
"Yuk, kita jalan lagi sebelum cuaca makin panas," kata Bima sambil memasang tas di punggungnya. Reza dan Fajar hanya mengangguk, masih terasa sedikit ngantuk tapi siap menghadapi tantangan apa pun yang ada di depan mereka.
Mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang kini dikelilingi pemandangan yang luar biasa indah. Air terjun kecil mengalir deras di kejauhan, menimbulkan suara gemericik yang damai, sementara danau biru berkilauan di bawah sinar matahari. Udara pagi begitu bersih, membuat setiap tarikan napas terasa menyegarkan.
"Kalau nggak lagi kejebak di sini, mungkin gue bakal ngajak kalian piknik," Fajar bercanda, mencoba meringankan suasana.
Reza tersenyum tipis. "Iya, sayangnya kita nggak lagi liburan. Ini lebih kayak ujian akhir hidup kita."
Mereka melewati sebuah sungai yang arusnya cukup deras. Langkah demi langkah, mereka berhati-hati menyebrangi air yang dingin dan jernih, merasa perlu waspada agar tidak terpeleset. Sungai itu cukup dalam di beberapa bagian, membuat mereka harus lebih waspada.
"Pegang batu-batu di tepi, hati-hati ya!" seru Bima sambil memimpin di depan.
Setelah berhasil menyebrangi sungai, mereka melanjutkan perjalanan, kini memasuki daerah dengan medan yang lebih sulit. Tiba-tiba, di depan mereka terbentang sebuah bukit terjal yang menjulang tinggi. Tidak ada jalan lain kecuali memanjatnya.
"Tebing lagi," gumam Reza sambil memandang bukit itu dengan ekspresi tidak percaya. "Kenapa selalu harus ada tebing?"
Bima, yang selalu paling fokus, mulai memeriksa tebing itu. "Kita harus memanjatnya. Tidak ada jalan lain."
Dengan penuh kewaspadaan, mereka mulai mendaki tebing tersebut. Bukit itu begitu curam, dengan batu-batu besar yang menjadi satu-satunya pegangan. Tangan mereka berkali-kali harus meraba permukaan kasar batu, mencari tempat yang cukup aman untuk menjejakkan kaki. Setiap langkah memerlukan konsentrasi penuh.
Bima memimpin di depan, dengan gerakan kuat dan stabil. Reza dan Fajar mengikuti di belakang, meskipun Fajar beberapa kali terhuyung saat mencoba menjaga keseimbangan. Tangan mereka mulai terasa pegal, tapi mereka tahu tidak ada pilihan selain terus mendaki.
"Wah, tebing ini tinggi banget," keluh Fajar sambil mengusap keringat di dahinya. "Jangan sampai gue jatuh, ya."
Reza tertawa kecil, meskipun jelas juga mulai kelelahan. "Tenang, kalau jatuh, kita kan masih punya nyawa... tapi gue nggak mau coba-coba."
Mereka terus mendaki dengan penuh perjuangan. Alam di sekitar mereka tetap indah, dengan burung-burung yang berkicau dari jauh dan sesekali angin dingin yang berhembus, seolah memberi sedikit kesegaran di tengah lelah mereka. Pemandangan di sekeliling semakin indah ketika mereka mulai mencapai ketinggian. Dari tempat mereka berdiri, mereka bisa melihat hamparan hutan yang luas dan air terjun yang berkilauan di kejauhan.
Namun, bukit itu tak kunjung berakhir. Setiap kali mereka merasa hampir sampai di puncak, ada lagi tanjakan baru yang lebih sulit di depan mereka.
"Ayo, tinggal sedikit lagi!" seru Bima, meskipun napasnya sudah mulai berat.
Mereka berjuang hingga akhirnya, setelah apa yang terasa seperti berjam-jam, mereka tiba di puncak bukit tersebut. Nafas mereka terengah-engah, tapi pandangan dari atas sana benar-benar memukau.
"Wow," Fajar terpesona, menatap cakrawala yang terbentang di depan mereka. "Ini... indah banget."
Bima tersenyum tipis, meskipun lelah. "Iya, tapi jangan lupa, perjalanan kita belum selesai. Ayo, kita lanjutkan."
Dengan tubuh yang lelah tapi hati yang sedikit terhibur oleh pemandangan, mereka mulai menuruni bukit dan melanjutkan perjalanan menuju tantangan berikutnya. Suara alam yang damai menemani langkah mereka, tapi mereka tahu tantangan yang lebih besar masih menunggu di depan.
Bersambung...
Mati pun gk usah khawatir ya, yg penting balik.