SMA Rimba Sakti terletak di pinggiran Kota Malang. Menjadi tempat di mana misteri dan intrik berkembang. Di tengah-tengah kehidupan sekolah yang sibuk, penculikan misterius hingga kasus pembunuhan yang tidak terduga terjadi membuat sekelompok detektif amatir yang merupakan anak-anak SMA Rimba Sakti menemukan kejanggalan sehingga mereka ikut terlibat di dalamnya.
Mereka bekerja sama memecahkan teka-teki yang semakin rumit dengan menjaga persahabatan tetap kuat, tetapi ketika mereka mengungkap jaringan kejahatan yang lebih dalam justru lebih membingungkan.
Pertanyaannya bukan lagi siapa yang bersalah, melainkan siapa yang bisa dipercaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moon Fairy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24
Malam semakin larut saat The RADAN tiba di markas mereka. Suasana rumah tua yang sebelumnya digunakan sebagai gudang itu kini mulai tampak seperti tempat yang nyaman, walau masih dipenuhi debu dan bau kayu tua. Angin malam bertiup pelan, membawa suara dedaunan yang tertiup dari hutan belakang sekolah, menambah kesan sunyi di sekitarnya.
Aisyah yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah menyalakan beberapa senter yang mereka bawa. “Ayo, masuk. Kita harus mulai beresin barang-barang ini kalau gak mau keburu kemaleman.”
Arga mengangguk setuju. Ia mengarahkan cahaya senter ke sekeliling ruangan untuk memastikan semuanya aman, sementara Dimas mulai membuka kotak peralatan yang mereka bawa dari tadi siang.
Saat mereka mulai membersihkan dan merapikan tempat, terdengar suara langkah kaki dari luar. Suara itu terdengar cukup jelas, membuat semua orang terdiam sejenak. Rian, yang sebelumnya sibuk memasang papan investigasi, menghentikan gerakannya dan menajamkan pendengaran.
“Pada denger, kan?” bisik Dimas sambil menoleh ke arah jendela.
Arga segera mengarahkan senternya ke luar. Dari celah jendela yang sedikit terbuka, dia melihat beberapa bayangan berjalan pelan-pelan ke arah hutan belakang sekolah. Meski gelap, Arga dapat mengenali seragam sekolah yang mereka pakai.
“Itu anak Klub Misteri...” Arga berkata setengah berbisik.
Madya yang sedang menyapu lantai langsung menoleh kaget. “Serius? Mereka ngapain di sini malam-malam begini?”
“Biasa aja, aku udah sering dengen gosip kalau mereka suka nongkrong malam-malam di hutan. Ritual atau apalah, gak ada yang tau persis,” kata Rian dengan nada santai, meski matanya tak lepas dari bayangan anak-anak Klub Misteri yang semakin menjauh.
“Nggak aneh sih,” gumam Aisyah sambil melanjutkan bersih-bersih, “Mereka kan memang suka ritual-ritual gitu. Yaudah, biarin aja. Bukan urusan kita.”
Nadya tampak khawatir, tetapi dia berusaha menenangkan diri. “Tapi... mereka ngapain ke hutan malam-malam? Itu kan serem.”
Dimas menoleh ke Nadya dengan senyum penuh canda. “Mereka ka kerjaannya memang pas malam-malam, Nad.”
“Udah biarin aja,” ujar Arga. “Kita fokus aja sama markas kita. Mau ngapain mereka di hutan, itu urusan mereka.”
Mereka semua kembali sibuk dengan tugas masing-masing, walau rasa penasaran masih menyelimuti. Dalam hati, Arga merasa ada sesuatu yang aneh dengan Klub Misteri itu. Gosip tentang mereka yang suka melakukan ritual di hutan memang sudah sering terdengar, tapi melihat mereka secara langsung malam-malam begini justru memperkuat rasa misterius di balik klub tersebut.
Setelah beberapa saat, ketika suara langkah kaki dari anak-anak Klub Misteri tak terdengar lagi, suasana kembali normal. Mereka melanjutkan tugas beres-beres dengan lebih santai, meski sesekali terdengar candaan dari Rian dan Dimas yang berusaha membuat suasana tetap ringan.
Malam itu mungkin hanya sekadar ritual biasa bagi Klub Misteri, tapi bagi The RADAN, tanda tanya besar mulai terbentuk. Apa yang membuat mereka ingin terus melakukan ritual itu setiap malam?
Waktu yang semakin beranjak larut saat The RADAN terus membereskan ruang klub mereka. Suara sapu yang menggesek lantai kayu dan bunyi peralatan yang dipindahkan terdengar samar-samar di antara percakapan ringan mereka. Arga memindahkan beberapa kursi ke sudut ruangan, sementara Dimas menyusun peralatan yang baru saja mereka beli di rak.
“Ini kayaknya udah beres, deh,” kata Arga, menepuk tangan seolah ingin membersihkan debu yang menempel. “Lumayan juga buat tempat ngumpul.”
Aisyah melangkah mundur untuk memandangi ruangan. Meskipun masih terasa sederhana, tempat itu sudah mulai terasa nyaman. Papan investigasi uang mereka pasang di dinding mulai terlihat seperti markas detektif sungguhan. Meja dan kursi sudah tertata, dan beberapa peralatan baru dai belanja tadi sore sudah berada di tempatnya.
“Setuju. Besok furnitur tambahan datang, jadi mungkin lebih nyaman,” timpal Dimas sambil menyisir rambutnya yang sedikit berantakan dengan jari-jari tangannya.
Sementara mereka sibuk dengan tugas masing-masing, Nadya tampak sedikit gelisah. Ia masih teringat dengan apa yang mereka lihat tadi—anak-anak Klub Misteri yang berkeliaran menuju hutan belakang sekolah. Meskipun dia mencoba untuk tidak terlalu memikirkan tentang bayangan, apa yang mungkin saja mereka lakukan di sana, tapi itu terus berputar di kepalanya.
“Eh, kalian nggak penasaran sama anak-anak Klub Misteri tadi?” tanya Nadya, memecah kesunyian. Suaranya terdengar ragu, tapi cukup jelas untuk membuat semua orang menoleh.
Rian, yang baru saja selesai memindahkan tumpukan buku jurnal, mengangkat alisnya. “Ya, jujur aja, penasaran. Mereka ke hutan malam-malam, siapa yang gak kepo coba?”
Aisyah yang tak pernah percaya hal gaib menambahkan, “Dulu sih, katanya hutan belakang itu punya cerita mistis, ada bekas kuburan atau apalah. Tapi, ya masa sih mereka masih percaya sama hal kayak gitu di zaman sekarang gini?”
“Aku juga pernah dengar,” sambung Dimas. “Katanya dulu hutan itu dipakai buat ritual aneh orang-orang di desa. Mungkin itu sebabnya Klub Misteri masih eksis sampai sekarang, karena mereka masih menekan jejak-jejak orang-orang desa yang dulu ngelakuin ritual di tempat itu.”
Arga, sejak tadi diam, tiba-tiba berbicara, suaranya serius. “Aku mikirnya kalau mereka gak sekadar nekan bekas ritual itu.”
Rian menghendikkan bahu. “Ya, bisa jadi mereka justru ngelanjutin ritual itu.”
Kesemuanya langsung terdiam mendengar ucapan Arga dan Rian, membuat suasana kembali serius.
“Apapun itu, kita urus aja urusan kita sendiri dulu,” lanjut Arga, memecah keheningan. “Mereka punya rahasia mereka, kita punya misi kita. Kalau mereka melakukan sesuatu yang mengancam orang-orang di sekitar, baru kita ikut turun tangan.”
Meskipun semua setuju dengan pernyataan Arga, rasa penasaran masing-masing dari mereka tetaplah membekas. Tentang Klub Misteri yang lebih misterius dibandingkan nama klubnya sendiri.
...—o0o—...