Kelanjutan Novel 'Sepucuk Surat'
Khusus menceritakan kisah kakak Ifa, putri pertama Farel dan Sinta. Namun, Alurnya akan Author ambil dari kisah nyata kehidupan seseorang dan di bumbui pandangan Author untuk menghiasi jalan cerita.
Semoga kalian suka ya🥰🥰
------------------------
"Haruskah aku mengutuk takdir yang tak pernah adil?"
Adiba Hanifa Khanza, Seorang gadis tomboy tapi penurut. Selalu mendengarkan setiap perkataan kedua orang tuanya. Tumbuh di lingkungan penuh kasih dan cinta. Namun, perjalanan kehidupan nya tak seindah yang di bayangkan.
"Aku pikir menikah dengannya adalah pilihan yang terbaik. Laki-laki Sholeh dengan pemahaman agama yang bagus tapi ..., dia adalah iblis berwujud manusia."
Mampu kan Ifa bertahan dalam siksa batin yang ia terima. Atau melepas semua belenggu kesakitan itu?
"Kenapa lagi, kau menguji ku Tuhan?"
Ikutin kisahnya yuk, jangan sampai ketinggalan.
Salam sapa Author di IG @Rahmaqolayuby dan Tiktok @Rahmaqolayuby0110
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rahma qolayuby, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 Saling dukung
Ketakutan yang Ifa rasakan ternyata tidak terjadi.
Sampai saat ini, Akmal tak ada menghubungi atau datang. Antar lega dan juga kecewa. Entahlah. Ifa masih tak menyangka jika ada orang seperti Akmal. Setidaknya bertanggung jawab akan anaknya. Walau Ifa tak pernah mengharapkan itu.
Lebih baik memang Akmal tak pernah datang lagi. Agar ketenangan Ifa tidak terganggu.
Manusia di muka bumi ini memang sangat unik. Berbagai sikap dan sifat nya. Namun, Ifa masih tak habis pikir jika ada orang seperti Akmal. Ini bukan tentang fiksi tapi fakta yang di alami Ifa. Mungkin, orang menyangka kisah Ifa hanyalah kisah karangan semata. Nyatanya itu nyata Ifa mengalaminya.
Ifa kembali menjalani aktivitas seperti biasa. Mencoba tenang, jika semua akan baik-baik saja. Ifa sudah siap dengan apapun yang akan terjadi kedepannya jika memang Akmal kembali.
Karena memang, Ifa harus menghadapi nya secara langsung. Agar memastikan lukanya sembuh. Terkadang, kita menyembuhkan luka bukan pergi ataupun menghindar tapi hadapi.
Perut yang terlihat membuncit itu tak lekas membuat aktivitas Ifa terganggu. Ifa tetap nyaman dan santai melakukannya. Entah kapan Ifa akan istirahat.
Bahkan kepikiran kearah sana pun tidak. Ifa akan tetap bekerja semampu yang dia bisa. Jikapun sudah tak mampu maka Ifa harus siap.
Namun, yang membuat Ifa sedikit kepikiran. Siapa yang akan mengelola perusahaan jika Ifa melahirkan. Abi Farel sudah tak mampu lagi. Mengingat kondisinya yang tak boleh banyak pikiran karena sakit yang di deritanya.
Andai Mikail masih ada, mungkin Ifa akan menitipkan perusahaan kembali pada Mikail. Tapi, nyatanya Mikail pergi.
Ifa harus memutar otak, siapakah yang akan menggantikannya. Kali ini, Ifa tidak percaya pada siapapun.
Di balik pikiran yang berisik, Ifa masih terlihat tenang. Bahkan wajahnya tak menunjukan kecemasan atau ketegangan apapun.
Sudah selesai urusan kantor. Kini, waktunya pulang. Bahkan, seperti nya Ifa sudah tak boleh menyetir sendiri. Entah bagaimana susahnya Ifa mengatasi semuanya.
Ifa benar-benar perempuan hebat. Bahkan jarang sekali Ifa mengeluh. Walau terkadang hatinya menjerit.
Ifa menjalankan mobilnya sangat santai. Ifa ingin menikmati suasana sore.
Namun, itu hanya angan saja. Nyatanya saat ini Ifa sedang terjebak macet.
Ifa harus hati-hati melajukan mobilnya. Lima belas menit kemacetan terjadi kini mulai kembali normal.
Melihat ada yang jualan pentol, Ifa menepikan mobilnya. Perut Ifa tiba-tiba merasa lapar. Bukan lapar, melainkan memang Ifa semenjak hamil jadi doyan makan.
Terlihat sekarang, tubuh Ifa semakin gemoy.
"Bang, beli pentol nya dua puluh ribu."
"Siap, neng. Tunggu sebentar."
"Sok, neng nya duduk dulu."
Ucap penjual pentol mempersilahkan Ifa duduk. Apalagi merasa miris melihat perut Ifa yang besar masa di biarkan berdiri.
"Terimakasih, pak."
"Sama-sama."
"Suaminya kemana? Kok sendiri?"
"Lagi pengen sendiri, pak."
"Walah, sudah berapa bulan itu? Kelihatan kaya mau melahirkan bentar lagi."
"Delapan bulan pak. Alhamdulillah, doa kan saja pak. Semoga lancar."
"Aamiin."
Tukang pentol begitu lihai mempersiapkan pesanan Ifa sambil mengobrol. Seolah obrolan itu tak menggangu aktivitas nya.
Mungkin, sudah terbiasa bagi para penjual kaki lima melayani sambil mengajak ngobrol.
"Ini pesanannya sudah jadi. Bapak kasih bonus sepuluh."
"Masyaallah, terimakasih banyak pak."
Ifa mengambil uang di dompetnya. Lalu menyerahkan pada penjual pentol.
"Si neng, ini ke banyakan."
"Gak apa, bapak kasih gratis. Saya juga kasih bapak lebih."
"Terima pak."
Desak Ifa karena penjual pentol tak mau menerima.
"Terimakasih banyak neng."
"Sama-sama."
Sudah membayar pesanannya. Ifa bergegas pergi. Namun, langkahnya terhenti melihat ada penjual lain lagi. Seperti nya enak.
Niat cuma beli pentol doang. Ifa malah membeli jajanan lain.
Sosis bakar, bakso tusuk, telor gulung, roti bakar dan batagor kesukaan ummah Sinta.
Ifa yakin, Harfa pasti senang dia membelikan jajanan kesukaan nya.
Di rasa sudah tak ada yang mau di beli lagi. Ifa memutuskan pulang. Pada akhirnya, Ifa sampai rumah pas waktu magrib.
"Assalamualaikum, semuanya."
Ucap Ifa masuk rumah sambil menenteng jajanannya.
"Waalaikumsalam, bawa apapun kak?"
"Sosis bakar, pentol, bakso tusuk, roti bakar, batagor dan ..., telor gulung."
Harfa, Abi Farel dan ummah Sinta menganga melihat jajanan yang begitu banyak Ifa beli.
"Ya Allah, kak. Banyak banget belinya."
"Hehehe. Biar kebagian semuanya."
Ummah Sinta terdiam, tak tahu harus bicara apa.
"Kakak gak boleh makan jajanan itu banyak-banyak loh. Ingat, janin kakak."
"Gak apa kali, dek."
"Tapi ..,"
"Sudah, biarkan dek."
Lerai ummah Sinta tak mau kedua putrinya malah berdebat.
"Kakak sholat dulu sana."
Cetus Abi Farel membuat Ifa menepuk jidatnya. Ifa lupa jika ia belum sholat.
Ifa bergegas naik kelantai atas di mana kamarnya berada.
Segera, Ifa melaksanakan kewajibannya. Sudah, selesai, Ifa kembali turun.
Ummah Sinta, Abi Farel dan Harfa menatap Ifa yang menuruni anak tangga. Ifa terlihat santai sekali bahkan tak ada raut takut sedikitpun. Ifa seperti orang yang tidak hamil saja ketika turun tangga. Ifa seolah biasa saja. Berbeda dengan orang yang melihat, merasa miris sendiri.
Karena Ifa beli jajanan banyak, otomatis mereka makan malam cuma sedikit. Perut mereka kenyang memakan jajanan yang Ifa beli tadi.
Sambil berbincang ringan di ruang keluarga. Setelah selesai makan malam.
"Apa sebaiknya, kakak pindah ke kamar bawah saja. Abi Geri lihat nya."
Celetuk Abi Farel membuat Ifa terdiam sejenak.
"Kakak merasa baik bi."
"Tapi, perut kamu sudah besar. Apa gak kesusahan nantinya?"
"Benar, kak."
Potong ummah Sinta menahan Ifa bicara.
"Sebentar lagi kakak akan melahirkan. Jika masih di lantai atas pasti kesusahan. Takutnya, nanti kontraksi tiba-tiba di lantai atas. Siapa yang akan bantu."
Lanjut ummah Sinta, bukan tak bisa membantu. Hanya saja jika ibu hamil mengalami kontraksi itu sangat beresiko. Sukur-sukur Abi Farel bisa menggendong Ifa.
Ummah Sinta ataupun Harfa tak mungkin juga. Mereka pasti kesusahan.
Yang di Katakan ummah Sinta memang benar. Ifa tak mau merepotkan semua orang. Setidaknya jika di bawah itu lebih mudah.
"Baiklah, kakak akan pindah."
"Itu bagus."
"Hari weekend saja, kak. Biar aku bisa bantu."
Ujar Harfa dengan mulut penuh dadar gulung.
"Iya,"
"Ngapain tunggu weekend, besok saja. Ummah kan bisa bantu."
"Gak, ummah pasti cape. Nanti saja, iya kan, kak?"
"Hm, betul ummah. Lebih baik ummah jangan bantu apapun. Kakak juga gak mau ummah nanti kecapean turun naik tangga."
Ummah Sinta merasa terharu akan perhatian kedua putrinya. Ummah Sinta sangat bangga pada mereka. Dalam kondisi seperti ini pun, mereka selalu saling mendukung, membantu satu sama lain.
Ikatan mereka tak pernah goyah. Bahkan mereka semakin erat walau keadaan mereka di landa musibah.
Bersambung ...
Jangan lupa Like, Hadiah, komen dan Vote Terimakasih .
Datang untuk nya...