Cerita ini benar karya orisinil Author.
✅️ Bijak dalam membaca
✅️ Mohon saran dan kritik yang membangun
❌️ Tidak boomlike dan lompat bab
Uswa wanita yang penuh luka, menemukan secercah cahaya dalam sorot mata Hanz, seorang nahkoda yang ia temui di dermaga.
Gayung pun bersambut, bukan hanya Uswa yang jatuh hati, namun Hanz juga merasakan getaran kecil di hatinya.
Seiring berjalannya waktu, rasa di antara keduanya semakin besar. Namun, Uswa selalu menemukan ketidakpastian dari kegelisahan Hanz.
Uswa pun terjebak dalam penantian yang menyakitkan. Hingga akhirnya, ia dipertemukan oleh sosok Ardian, pria yang berjuang untuk Uswa.
Lantas, kisah mana yang akan dipilih Uswa?
Tetap menanti Hanz yang perlahan memulihkan luka, namun selalu berakhir dengan ketidakpastian?
Atau membuka lembaran baru bersama Ardian yang jelas memiliki jawaban yang sudah pasti?
Ikuti kisah dan temukan jawaban Uswa pada cerita Senandung Penantian.
Cover by Ig : @desainnyachika
Ig : @oksigentw
TT : @oksigentw
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oksigen TW, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Sepeninggalan Ardian, Uswa hendak menutup pintu. Namun, ia mengurungkan niat karena mobil hitam yang ia kenal, masuk ke pekarangan rumahnya. Uswa membiarkan pintunya terbuka. Ia terus berdiri di ambang pintu, menunggu sosok yang ia kenal turun dari mobil.
Setelah mesin mobil mati, Hanz pun keluar. Kemudian, ia membuka pintu jok belakang. Hanz mengambil beberapa kantong plastik dari sana. Pria itu menutup kembali pintu mobil. Ia segera melangkah menuju teras rumah pujaan hatinya.
Wajah Hanz semakin murung, karena melihat Uswa masih mengenakan mukena. Menurutnya, tanpa sedikit polesan, Uswa terlihat segar dan semakin ayu. Dalam benaknya mengira, bahwa Ardian telah menatap wajah ayu pujaan hatinya. Itulah yang membuatnya murung.
"Ngapain dia ke sini lagi?" Tanpa salam, tanpa basa-basi, Hanz langsung melontarkan pertanyaan pada Uswa.
"Dia siapa?" heran Uswa.
"Pria tadi sore," jawab Hanz, singkat dan terdengar kesal.
"Ooh, Ardian? Ngantar ini ...." Uswa mengangkat kantong plastik ke hadapan Hanz.
"Apa itu?"
"Dessert."
"Apa sih kamu, Yang? Kalau mau dessert, kan, bisa bilang ke Mas. Kenapa harus dia yang ngantar, sih?"
Mendengar omelan Hanz, Uswa mengerutkan kening. Ia tidak menyangka, bahwa Hanz akan secerewet itu. Uswa mengulum senyum, terbesit dalam benaknya untuk menggoda Hanz.
"Gimana, ya? Soalnya dia selalu ada, sih. Selalu ngasih kabar. Nggak tiba-tiba ngilang," sindir Uswa.
Air muka Hanz berubah drastis. Ia diam membisu. Matanya yang sipit, memancarkan sorot tajam. Namun, Uswa tidak peduli dengan itu. Karena ia sengaja membuat Hanz marah. Ia ingin menyadarkan Hanz, untuk tidak semena-mena bersikap padanya.
"Buruan ganti sana. Kita makan. Nggak perlu masak. Mas sudah bawa makanan. Nanti kamu capek, kalau harus masak lagi," ujar Hanz, terdengar jelas menahan cemburu.
"Iya," jawab Uswa.
Wanita itu terdiam sejenak. Sesaat, ia mengalihkan pandangan menatap meja lesehan di dalam ruang tamunya. Uswa berpikir, untuk menggunakan meja lesehan, yang lebih lebar, dan nyaman digunakan untuk makan.
Tanpa menutup pintu, Uswa masuk meninggalkan Hanz. Ia melangkah menuju kamar di sebelah kamarnya. Di sana, Uswa mencari karpet untuk alas duduk. Ia pun keluar dari kamar itu dengan membawa karpet dan sapu. Uswa langsung menuju teras.
"Mas ..." panggil Uswa, saat sampai di teras, dan melihat Hanz sudah duduk di kursi.
"Dalem, Dek?" jawab Hanz, terdengar lembut, dengan suaranya yang khas dengan logat jawanya. (Iya, Dek?)
'Iiiih ... manisnya dia,' batin Uswa, menahan salah tingkah, karena mendengar Hanz menjawab panggilannya dengan bahasa jawa. Menurutnya, jawaban itu adalah jawaban yang romantis dari Hanz.
Uswa terdiam, ia mengulum senyum. Wajahnya memerah, karena menahan salah tingkah. Ia tidak ingin ketangkap basah, kalau sedang salah tingkah dengan sikap Hanz.
Hanz yang merasa aneh dengan Uswa, segera bangun dari duduknya. Pria itu berjalan beberapa langkah, hingga sampai di hadapan Uswa. Ia menundukkan pandangan, karena perbedaan tinggi badan yang cukup jauh. Hanz menatap heran wanita di hadapannya.
"Enten nopo, Dek?" tanya Hanz, masih dengan bahasa jawa yang khas, dan terdengar penuh kelembutan. (Ada apa, Dek?)
'Iiiih ... bisa-bisa mati salah tingkah diri ini, Ya Allah. Huhuhu ... bisa-bisanya pria ini bersikap selembut ini. Aaahh ... semudah ini aku luluh? Nggak bisa, nggak bisa. Tahan, Wa, tahan. Jangan sampai salah tingkah dirimu, hei ... Aaahhh ....'
Batin Uswa semakin resah. Ingin rasanya ia teriak, lompat-lompat, meluapkan salah tingkahnya yang semakin menggebu. Wajah Uswa pun semakin memerah. Hanz mengerutkan kening, ia menatap Uswa semakin dalam.
"Kamu sakit?" tanya Hanz. Cahaya teras rumah Uswa yang sangat terang dan jelas, hingga Hanz dengan muda menangkap perubahan rona di wajah Uswa. Namun, ia hanya mengira bahwa Uswa sakit.
Uswa menggeleng dengan cepat. Ia mengalihkan pandangan, sedikit mengigit bibir, untuk menahan rasa salah tingkahnya. Hanz bingung dengan sikap Uswa.
"Ini jadi makan nggak toh, Yang? Keburu azan," celetuk Hanz, membuyarkan lamunan Uswa.
"Ja ...."
Belum sempat Uswa menyelesaikan kalimatnya, azan isya berkumandang. Uswa pun tersenyum, ia menyengir, menampakkan barisan giginya yang rapi.
"Mas ke masjid dulu ..." ujar Hanz. Ia pun melangkah meninggalkan teras rumah Uswa, menuju ke mobil.
Hanz pun mengarahkan mobilnya, keluar pekarangan rumah Uswa. Rumah sederhana dengan halaman yang cukup luas, membuat Hanz dengan mudah mengarahkan mobil, menuju jalanan.
Sebenarnya jarak masjid dan rumah Uswa tidak terlalu jauh, hanya saja cukup memakan waktu, jika Hanz harus jalan kaki. Dan itu, membuat Hanz akan berkeringat. Ia tidak ingin Uswa menghirup aroma keringat tubuhnya. Ia ingin selalu wangi di dekat Uswa.
Sepeninggalan Hanz, Uswa pun membawa bungkusan yang dibawa Hanz. Wanita itu hendak melaksanakan salat isya. Ia pun menutup dan mengunci pintu. Kemudian, meletakkan bungkusan di atas meja lesehan, yang akan ia keluarkan nanti.
Uswa melepas mukena, ia kembali berwudu. Setelah itu, ia langsung melaksanakan salat isya. Sebelum memulai salat, ia beristighfar. Membuang bayang-bayang Hanz, dan pikirannya tentang dunia. Dirasa sudah tenang, uswa mengangkat kedua tangannya, menandakan dimulainya salat.
Dengan khusyuk, wanita itu melaksanakan dan menyelesaikan salat isya. Tidak lupa ia berzikir, bersyukur pada Illahi Rabbi. Tak lupa pula, ia kirimkan selawat dan salam pada junjungan semesta alam. Baginda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
"Alhamdulillah ..." lirih Uswa, sembari mengusap kedua telapak tangan pada wajahnya.
Uswa segera bangun dari sajadah. Ia merapikan peralatan salat. Dan, segera mengganti pakaian. Malam itu, Uswa ingin memakai pakaian santai. Ia memilih celana kulot dan baju tunik sebetis. Ia memilih mengambil jilbab sorong, yang menurutnya tidak ribet.
Selesai bersiap, Uswa segera keluar kamar. Ia menuju pintu dan membukanya. Uswa langsung meraih sapu yang ia tinggalkan bersama karpet. Uswa menyapu lantai, kemudian membentang karpet yang biasa ia gunakan untuk piknik.
Setelah membentang karpet, Uswa masuk ke rumah, ia mengangkat meja lesehan yang berbahan plywood. Meja itu berukuran 60x50 cm. Tidak terlalu berat, sehingga Uswa dengan mudah memindahkannya.
Ia terdiam sejenak, menatap meja yang sudah pindah ke teras. Terulas senyum indah di wajahnya. Dengan cepat, Uswa melangkah masuk. Ia menuju dapur, mengambil peralatan makan. Uswa kembali lagi ke teras, ia menata makanan yang dibawa Hanz.
Dua porsi ayam bakar dengan lalapan, satu porsi sop daging, satu porsi kentang goreng. Ada juga beberapa tusuk sate kerang. Uswa mengeluarkan dua botol minumam rasa jeruk, dan menuangkan ke gelas. Ia juga menghidangkan dessert pemberian istri Yadi. Ia pun menyediakan air mineral di teko keramik sedang, dan menyediakan cangkir yang senada dengan teko.
Selesai menata makanan, Uswa kembali memandangi meja. Ia menatap, seolah meneiliti meja yang hampir penuh dengan makanan. Sesaat, ia berpikir menambahkan lilin dan bunga Anggrek mini. Uswa kembali masuk ke rumah, mengambil beberapa lilin aroma lavender.
Wanita itu sibuk menata lilin. Tidak lupa, ia meletakkan bunga anggrek di pot mini, di tengah meja. Bunga anggrek bulan yang sedang mekar itu, tampak indah dan menawan. Ia pun menyalakan lampu tumbler, yang memang terpasang di dinding teras Uswa. Lampu itu menghasilkan cahaya temaram.
Dengan cekatan, Uswa mengatur cahaya lampu utama menjadi lebih redup. Dengan tujuan, agar cahaya lampu tumbler bersinar dengan baik. Tidak membutuhkan waktu lama, Uswa merubah terasnya menjadi lebih romantis. Uswa tersenyum puas, menatap hasil usahanya untuk makan malam dengan Hanz.
Beberapa menit kemudian, sorot lampu mobil menerangi halaman rumah Uswa. Hanz, pria itu segera mematikan mesin mobil. Ia pun segera keluar mobil, melangkah menuju teras rumah Uswa.
Pria itu membulatkan mata. Ia terpaku, menatap suasana yang diciptakan Uswa. Ia tidak menyangka, Uswa membuat makan malam sederhana, menjadi makan malam yang berkesan.
'Bagaimana aku tidak semakin jatuh hati padamu, jika sikapmu membuatku sangat terkesan ...' batin Hanz, sembari tersenyum hangat, menatap lekat manik indah yang selalu ia rindukan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Bagaimana aku tidak luluh padamu, sedangkan sikapmu sangat lembut padaku....
...~Oksigen TW~...
...****************...
berasa jadi TTM