"Pergi kamu! Jangan pernah datang ke sini lagi! Bapak dan ibuku bukanlah bapak dan ibu kamu!" usir kakak sulungku yang ucapannya bagaikan belati menusuk hati, tapi tidak berdarah.
Kakak kandungku mengusir aku yang datang menemui bapak dan ibu kandungku, tapi bapak dan ibuku hanya diam tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Inilah kisahku. Kisah seorang gadis yang terjebak dalam konflik keluarga. Memaksa diriku yang masih kecil berpikir dewasa sebelum waktunya.
Aku berusaha menjalani hidup sebaik yang aku bisa dan melakukan apapun semampuku. Selalu berusaha berpikir positif dalam setiap masalah yang menderaku. Berjuang keras menahan semua penderitaan dalam hidupku. Berusaha tetap tegar meskipun semua yang aku hadapi tidak lah mudah.
Bagaimana caraku, menghadapi kemelut dalam keluargaku yang berpengaruh besar dalam hidupku?
Yuk, ikuti ceritaku!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Menggambarkan
Bel tanda istirahat kedua telah berbunyi. Para siswa pun keluar dari kelas. Aku yang dijuluki sebagai "Queen of silence" di kelasku ini pun mulai membaca buku yang ku pinjam dari teman sekelas ku.
"Kamu tidak mau ke kantin?" tanya Zayn padaku.
"Tidak," sahut ku tersenyum tipis pada Zayn.
"Ayo, bro, kita ke kantin," ajak Yoga seraya menarik tangan Zayn. Zayn pun mengikuti Yoga keluar dari kelas dan meninggalkan aku sendirian di dalam kelas.
Aku tahu Zayn sering memerhatikan aku. Tapi aku tahu pasti kalau dia memerhatikan aku bukan karena suka sama aku. Aku bisa melihat ada rasa penasaran dari tatapan mata tajamnya yang tersembunyi di balik kacamata tebalnya itu. Entah apa yang membuat dia terlihat penasaran padaku.
Aku menghabiskan waktu istirahat dengan membaca dan merangkum buku yang aku pinjam, hingga waktu istirahat selesai. Semua murid pun kembali ke kelas dan siap mengikuti pelajaran berikutnya.
Aku sudah siap dengan buku mata pelajaran yang akan segera dimulai.Tak lama kemudian, seorang guru pun masuk ke kelas ku. Pelajaran kimia, itulah pelajaran saat ini. Guru kimia ku menerangkan rumus kimia yang menggunakan lambang unsur yang membuat kusut isi kepalaku. C(s) + O2(g) → CO(g) atau C(s) + O2(g) → CO2(g).
Ah, entahlah. Otakku seperti benang kusut bin ruwet jika sudah membahas soal kimia, apalagi kalau harus menyelesaikan soal kimia. Aku auto memegang bendera putih. Nyerah, dah! Kalau ada soal kimia, aku cuma bisa nulis diketahui, dan di tanya doang.
Mending aku nulis puisi atau pantun dari pada memaksakan diri memahami rumus kimia yang malah bikin pusing kepala. Guru kimia pasti menyangka aku sedang mencatat apa yang beliau terangkan di depan saat aku menunduk menulis. Dan beliau pasti mengira aku menyimak apa yang beliau jelaskan saat aku menatap ke depan mencari inspirasi kata yang hendak aku tulis. Ha..ha..ha..aku emang pinter, 'kan? Pinter mengelabui guru wk..wk .
Aku menghela napas lega setelah mata pelajaran kimia itu berakhir dan guru kimia sudah keluar dari ruangan ini. Untung saja pelajaran kimia cuma satu jam pelajaran dalam satu minggu. Entah gimana kalau 3-6 jam per minggu. Matilah aku!
"Kamu tidak suka pelajaran kimia?" tanya Zayn membuat aku terkejut.
"Aku tidak suka pelajaran yang ada perhitungan dan menggunakan rumus. Rumus-rumus dan lambang-lambang membuat kepalaku pusing," sahut ku dengan ekspresi tidak berdaya tanpa menatap Zayn.
Aku enggan menatap matanya yang tajam itu. Aku merasa terintimidasi saat menatap matanya.
"Tekuni saja apa yang kamu suka. Kamu suka membuat puisi?" tanya Zayn lagi.
Aku terkejut mendengar apa yang dikatakan Zayn. Aku menoleh, menatap Zayn yang duduk di sebelah ku.
Zayn tersenyum samar, "Puisi apa yang paling kamu sukai?" tanya Zayn dengan suara yang mengalun tenang di indra pendengaranku.
"SEPISAUPI," sahut ku kembali menunduk. Siapa sebenarnya Zayn ini? Kenapa auranya begitu kuat dan mendominasi?
Aku melirik Zayn yang nampak memainkan gawainya. Ternyata dia mencari puisi yang aku katakan tadi dan tak lama kemudian ia mulai membaca puisi itu.
...SEPISAUPI...
...Sepisau luka sepisau duri...
...Sepikul desa sepukau sepi...
...Sepisau duka serisau diri...
...Sepisau sepi sepisau nyanyian...
...Sepisaupa sepisaupi...
...Sepisapanya sepikan sepi...
...Sepisaupa sepisaupi...
...Sepikul diri sekeranjang diri...
...Sepisaupa sepisaupi...
...Sepisaupa sepisaupi...
...Sepisau sepisaupi...
...Sampai pisaunya ke dalam nyanyi...
...Oleh : Sutardji Calzoum Bahri...
Aku tertegun menatap Zayn yang membaca puisi yang paling aku sukai, karena puisi itu menggambarkan isi hatiku, rasa sepi dan kesendirian ku.
Apalagi suara Zayn saat membaca puisi itu penuh penghayatan dan begitu mengena di hati. Setiap bait yang ia bacakan membuat bulu kuduk ku berdiri dan hati ku terasa nyeri.
Suara gemuruh tepuk tangan terdengar di ruangan kelas ku setelah Zayn selesai membaca puisi di layar handphonenya. Ia tidak menyadari bahwa seisi kelas menatap, memperhatikan dan mendengarkan ia yang sedang membaca puisi. Dia nampak sedikit terkejut, namun sesaat kemudian ia tersenyum samar.
"Puisi itu menggambarkan luka yang mendalam, kesendirian, kesepian, dan penyesalan. Kenapa kamu menyukai puisi ini?" tanya Zayn menatapku dengan tatapan matanya yang tajam.
Aku tidak menjawab. Aku hanya tertunduk dengan senyuman samar menyimpan kesedihan di dalam hati ku.
Hatiku merasa terluka saat mengingat kehadiran ku tak diinginkan. Aku merasa sendirian dan kesepian, meskipun aku berada di tengah keramaian seperti saat ini. Ada rasa sesal di hatiku, kenapa aku harus dipisahkan dari kedua orang tuaku. Tidak ada tempat yang nyaman untuk ku berkeluh kesah dan berbagi cerita. Hanya bisa menyimpan apa yang aku rasakan sendirian.
Akhir-akhir ini keluarga dari bapak lumayan sering memberikan uang padaku. Bahkan semenjak aku kelas 11, bapak sesekali mengirim uang padaku. Meskipun tidak banyak, tapi cukup membantu keuanganku.
Usia nenek yang sudah 70 tahun membuat tenaganya jauh berkurang, karena nenek sudah tidak bisa bekerja terlalu keras seperti dulu lagi. Jadi, meskipun ada bantuan keuangan dari bapak dan keluarganya, bahkan saat libur sekolah kadang aku bekerja di sawah orang, namun keadaan perekonomian ku tetap sama, karena nenek tidak lagi menghasilkan uang seperti sebelumnya.
Aku benar-benar takut kalau nenek keburu di panggil Allah sebelum aku bisa mandiri. Namun, lagi-lagi aku hanya bisa menyimpan semua rasa sedih dan risau hati yang aku rasakan sendirian.
"Semua orang yang hidup di dunia ini pasti memiliki masalah. Dan hidup diselimuti masalah itu wajar. Karena, kalau diselimuti wijen, berarti kita bukan manusia, tapi onde-onde. Kamu harus tetap semangat menjalani hidup. Yakinlah, bahwa semua akan indah pada waktunya," ucap Zayn membuat aku kembali menatapnya.
Aku merasa kagum dengan sikap tenangnya dan juga kedewasaan yang terpancar darinya. Teman-temanku juga nampak kagum pada Zayn. Namun seperti biasa, aku tidak berani menatap matanya terlalu lama.
Mungkin teman-temanku tidak menyadari betapa tajam tatapan mata Zayn, karena mereka hanya menatap Zayn dari jauh. Tapi bagi aku yang duduk sebangku dengan dia, tentu saja aku bisa melihat tatapan tajamnya yang ia sembunyikan di balik kacamata tebalnya.
*
Hari ini paman dan bibi panen padi. Seperti biasanya, mereka panen di hari dimana aku libur sekolah. Sepertinya bibiku tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk memakai tenagaku.
Aku memakai celana panjang dan juga baju berlengan panjang untuk melindungi kulitku dari sengatan sinar matahari. Tak lupa sebuah caping sudah bertengger di kepalaku.
Tahu apa itu Caping bukan? Caping adalah topi atau penutup kepala petani yang berbentuk kerucut untuk melindungi kepala dari panas matahari. Biasanya, caping dibuat dari anyaman bambu, daun pandan, daun kelapa, atau rerumputan. Caping dilengkapi juga dengan tali dagu agar saat dipakai, tidak mudah lepas
"Kita panen dari sini saja yang tempatnya teduh, biar nanti terus ke sana mengikuti tempat yang teduh," ucap paman ku memberikan instruksi.
"Iya, paman," sahut ku sudah siap memulai pekerjaan.
Ada beberapa orang yang diupah paman ikut memanen padi di sawah paman ini. Bibi sendiri tidak ikut ke sawah karena memasak untuk kami yang ada di sawah.
"Bismillahirrahmanirrahim ( Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.)" ucap ku yang selalu memulai pekerjaan dengan menyebut nama Allah.
Aku memanen padi menggunakan sabit yang tentu saja tajam. Tangan kiri menggenggam rumpun padi dan tangan kanan memegang sabit. Dengan sabit yang tajam dan kecepatan tanganku, aku memotong banyak rumpun padi dalam waktu singkat.
"Srash"
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
trus kabarbindah yg dijodohkan dan udah nikah bagaimana ??
apa akan di lanjutkan di cerita indah yg sudah dewasa nanti ??
terimakasih author.ditunggu karya berikutnya