Cinta datang tanpa diundang. Cinta hadir tanpa diminta. Mungkin begitu yang dirasakan oleh Halim saat hatinya mulai menyukai dan mencintai Medina-gadis yang notabene adalah muridnya di sekolah tempat dia mengajar.
Halim merasakan sesuatu yang begitu menggebu untuk segera menikahi gadis itu. Agar Halim tidak mengulangi kesalahannya di masa lalu.
Apakah Halim berhasil mendapatkan hati Medina?
Apakah Medina menerima cinta dari Halim yang merupakan Gurunya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ils dyzdu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Papanya Erik selaku Penghulu, mulai memimpin acara akad nikah. Dengan Uwak Medina-Abang kandung dari Ayahnya yang menjadi wali nikahnya.
Dengan sekali tarikan nafas, Halim dengan lancar mengucapkan ijab kabul. Di sahkan oleh para saksi, dan diakhiri dengan doa.
“Sekarang panggil Istrinya.”
.....**.....
Medina menggenggam erat tangan Nona ketika mendengar Halim mengucapkan ijab kabul. Ketika para saksi bilang sah, Medina menghela nafas dengan lega.
“Selamat ya, Me. Ya Allah gak nyangka elu jadi Istri Pak Halim.”
Medina tersenyum. “Alhamdulillah, Na. Jangankan elu, gue aja juga gak nyangka.”
“Hahaha, elu ada-ada aja!”
Widya menyibak tirai kamar Medina. Seketika Widya tersenyum pada putri semata wayangnya itu. Dia mendekat, lalu mengusap wajah cantik Medina.
“Selamat ya, Nak. Sekarang udah jadi Istri. Pesan Ibu jadi Istri yang baik, ya?”
Medina terharu. Dia menghambur memeluk Ibunya.
Widya mengusap lembut punggung Medina. “Cuma, Ibu mau Medi jangan dulu hamil, ya?”
Medina melepaskan pelukannya dan tercengang. “Hah?”
Widya membulatkan mata. Apa jangan-jangan anaknya gak mengerti soal begituan?
“Sebenarnya terserah Halim aja nanti. Karena Medi ‘kan udah jadi Istrinya sekarang. Kita keluar yuk.”
Medina mengerutkan alis sebentar. Lalu dia berdiri dan dirangkul oleh Ibunya dan Nona untuk keluar dari kamar.
Semua mata tertuju pada pengantin wanita. Semua merasa takjub akan kecantikan Medina, yang berbalut gamis dan hijab syar’i lengkap dengan veil dan perintilan lainnya.
Halim sampai tak berkedip memandangi Medina yang sekarang sudah duduk di sampingnya.
Medina memberanikan diri menatap mata Suaminya dan tersenyum. Kemudian dia kembali menunduk karena rasa malunya.
Halim jadi senyum-senyum sendiri. ‘Ya Allah, ingin rasanya aku sujud syukur. Dan sekarang aku jadi bersalah karena udah berdoa yang gak-gak untuk Medina.’
“Ayo Nak Medina, salim tangan Suaminya.”
Medina mengulurkan tangannya, Halim langsung menyambut. Medina membawa tangan Halim untuk dia cium, lalu menaruhnya di keningnya.
Jantung Halim berdebar-debar. Ini nyata atau mimpi? Dia tidak menyangka tangannya dicium oleh gadis impiannya. Uwau.
Setelah itu, Penghulu menyuruh Halim menyerahkan mas kawin pada Medina.
Lalu menyuruh mereka untuk saling memasangkan cincin kawin.
Medina memandang haru dan sendu, cincin emas model belah rotan--yang melingkar cantik di jari manis tangan kanannya.
Medina kemudian memasangkan cincin perak model serupa pada Halim.
Halim tersenyum bahagia. Di sini, Halim terlihat semakin tampan kuadrat dalam penglihatan Medina. Pipi Medina langsung bersemu merah dan jantung seketika berdebar menatap Suaminya sendiri.
Tak lupa juga Halim dibimbing untuk mencium kening Medina, lalu memegang ubun-ubunnya dan membaca doa.
Semua momen itu diabadikan oleh seorang fotografer.
Selesai dengan itu, Halim dan Medina sungkem kepada orang tua dan keluarga. Acara selanjutnya adalah Halim dan Medina berfoto dengan gaya diatur oleh fotografer. Di dekor yang sudah terpasang cantik.
Tidak ketinggalan Reno dan Bagas ikut berfoto dengan hebohnya. Habibah dan Nona apalagi yang mereka lakukan, kecuali juga ikut-ikutan mengganggu jalannya acara foto memfoto itu.
Acara akad nikah selesai, Widya langsung menyuruh seluruh keluarga untuk makan. Makanan sudah terhidang secara prasmanan.
Padahal yang nikah adalah anaknya, tapi dia merasa tidak melakukan apapun, karena semua sudah disiapkan oleh Aisyah.
Aisyah yang bahagianya tak ampun, bolak-balik memeluk Widya. Dia tidak menyangka kalau mereka akan berbesan. Sudah lama tidak bertemu, eh ketika bertemu malah jadi besan.
Medina yang sedang duduk di bangku manten, tersenyum melihat keramaian yang ada di rumahnya saat ini.
Dia juga melirik kotak-kotak hantaran yang diletakkan tak jauh dari pelaminannya ini.
Ketika dia menoleh ke samping, terpampang seorang pria tampan yang tak lain adalah Suaminya.
Suami? What? Suami? Medina mengerjapkan mata, ketika lagi-lagi dia merasakan semua ini nyata di depan matanya.
Suaminya yang tampan berbalut jas itu sedang tersenyum padanya.
Medina yang merasa malu diperhatikan begitu, dia pun menunduk dan tersenyum malu-malu.
Interaksi mereka yang malu-malu kucing itu mengundang gelak tawa. Siapa lagi yang tertawa, kalau bukan orang dibalik layar yang tahu Halim tidak mau menikah.
“Gimana, Lim? Gak jadi nyesel ‘kan?” Bagas berceloteh diiringi ketawa yang lebar.
“Hahaha. Lim! Lim! Untung aja jadi nikahnya, ya?” sahut Reno tidak mau kalah.
Halim langsung melotot. Dia mengayunkan bogeman udara pada mereka.
Kemudian Halim kembali menoleh lagi pada Medina yang sudah menahan tawa.
Halim langsung cengengesan dan mengusap tengkuk belakangnya.
.....**.....
Setelah sholat ashar, pihak keluarga Halim pamit pulang.
Tinggal Aisyah dan Habibah yang masih belum pulang. Mereka masih berkumpul di ruang tamu bersama Halim, Medina dan Widya.
“Alhamdulillah, akad nikah hari ini berjalan lancar, ya?” ucap Aisyah.
“Alhamdulillah,” jawab yang lainnya kompak.
“Halim, sekarang udah nikah. Udah jadi seorang Suami. Mama harap kamu bisa jadi imam yang baik untuk Medina, ya?”
Halim mengangguk. “Insya Allah, Ma. Halim akan berusaha jadi imam yang baik untuk Istri Halim.”
Bluuusshh. Pipi Medina langsung merona seketika mendengar ucapan Halim.
Aisyah meraih tangan Medina dan menggenggamnya. “Medina, sekarang udah jadi menantunya Mama. Mama anggap kamu sebagai anak Mama. Jangan sungkan sama Mama, ya? Anggap Mama ini sebagai Ibu kamu sendiri, ya?”
Medina tersenyum. “Iya, Ma.”
“Oh iya, Mama minta maaf juga atas nama Papa, ya? Papa gak bisa hadir karena kesibukannya di luar negeri.”
“Iya, Ma.”
Mendengar kata ‘Papa’ membuat air muka Halim langsung berubah.
“Itu nanti barang hantarannya dibukain aja, ya?”
“Iya, Ma.”
“Oh iya satu lagi, Mama sama Ibu sepakat mau ngomong ini sama kalian.”
Halim menaikkan alis sebelah. “Mau ngomong apa, Ma?”
“Ehm gini, Medina ini ‘kan masih sekolah. Jangan hamil dulu ya kalau bisa. Tapi ya kembali lagi itu terserah kamu ‘sih, Bang. Medina ‘kan Istri kamu. Sepenuhnya hak kamu. Kalau memang nanti kadung hamil, terpaksa home schooling.”
Bukannya menjawab, Halim malah sibuk senyum-senyum sendiri.
Aisyah memutar mata malas. “Haliiim!!”
Halim terkesiap. “Iya, Ma!” Halim menoleh pada Medina yang duduk di sampingnya dan tersenyum. “Halim juga gak tega kalau Medina hamil di usianya yang masih muda gini, Ma.”
“Alhamdulillah.”
“Tapi kembali lagi, jika Allah menakdirkan Medina hamil, berarti memang udah begitu jalan yang harus kami terima,” sambung Halim lagi, menatap lekat manik mata Mamanya.
Aisyah tersenyum sembari menepuk lembut kepala Halim.
Usai obrolan ringan itu, Aisyah dan Habibah pamit untuk pulang ke rumah Halim.
Sedang Halim akan bermalam dulu di rumah Medina.
.....**.....
Setelah sholat maghrib, para Pelayan yang Halim tahu berasal dari rumahnya, membantu membereskan rumah Medina.
Yang tadinya rumah sedikit berantakan karena acara, sekarang sudah tersusun rapi. Tidak tanggung-tanggung, lantai juga bahkan di pel oleh mereka. Bahkan kaca jendela juga sudah kinclong dibuat mereka.
Dekor pelaminan dan tenda juga mulai dibongkar.
Sekarang rumah kembali rapi seperti sedia kala.
Tinggal barang-barang hantaran yang belum sempat dibongkar.
Halim duduk di ruang tamu, dari semenjak tadi hatinya gelisah. Dia ingin segera berduaan dengan Istrinya. Tapi Istrinya masih segan karena di rumah masih ramai orang berlalu lalang.
Halim memperhatikan rumah Medina yang tidak terlalu besar ini. Masih ada satu persatu orang keluar masuk untuk mengangkat barang-barang dekor.
Medina yang masih memakai gamis akad (tanpa veil dan embel-embel lainnya ya), datang menghampiri Halim.
Halim yang melihat Medina menghampirinya dengan senyum manis begitu, membuat jantung Halim berdebar-debar kencang.
“Adek,” panggil Halim penuh kelembutan.
Medina duduk di samping Halim dan tersenyum. “Saya, Bang.”
Deg. Deg. Deg. Subhanallah! Apa itu tadi? Medina memanggil dia Abang? Ini mimpi atau nyata?
‘Coba tutup lobang hidung aku, kalau aku sesak nafas dan cengap-cengap, berarti nyata!’
‘Please jantung! Bertahan di tempat! Jangan keluar dari tempatmu!’
......***......
Assalamu'alaikum Pembaca aku.🤗
Bonus chapter untuk para Pembaca setia aku di malam Minggu ini.
Selamat malam mingguan. Dan selamat membaca Pembaca akoh yang manis2. Ahaai.
Makasih banyak yang udah kasih aku hadiah ya, Weh. Makasih banyak.🤗
Aku sayang kalian. love muah muah 💐 ❤️
NOTE : HABIS BACA, LANGSUNG LIKE YA, WEH? SENANGKAN HATI BIDADARI SEPERTI AKOH INI, YA? 🤣🤣🤣
zaina kaget lihat rmh raina jadi gudang sampah
jangan jangan selangkah maju dari musuh y lim
Om Ocong Vs Mbak Kunti Ngasih iklan