Alena harus melunasi hutang kakaknya dan juga membayar tebusan kakaknya yang dipenjara akibat fitnah. Akhirnya Alena meminjam uang pada bosnya, Bima si CEO. Ia diberi pinjaman dengan syarat nikah kontrak dan berikan keturunan laki-laki.
Celakanya Alena tidak tahu kalau Bima sudah menikah sebelumnya dan hanya membutuhkan anak darinya saja. Begitu anak lahir, Alena dipisahkan dari anaknya. Perawatan yang tidak maksimal membuat anaknya meninggal dunia.
Melihat keterpurukan Alena dan dendam membara membuat Bima membongkar bahwa semua hanya skenario keluarganya. Ia terpaksa mengikuti dan tidak pernah bermaksud menjebak Alena sebab ia benar2 mencintainya.
Akankah Alena memaafkan semua kesalahan Bima saat akhirnya laki-laki itu menceritakan semua fakta yang terjadi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Genta Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26 Izinkan Aku, Please
Usai kegagalan malam pertama itu, Bima memutuskan untuk memberikan Alena waktu. Ia sengaja tidak pulang selama tiga hari. Alena benar-benar bernafas lega.
Alena menikmati waktu sendiri di dalam apartemen itu. Meski tidak sempat menyembunyikan HP sebagaimana saran Sendy, ia masih diberi hiburan dengan menonton TV.
Usai menyantap makan siang, Alena memutuskan untuk nonton TV. Ia lebih memilih menonton berita. Setidaknya tidak ketinggalan kabar yang terjadi di luar.
Penyiar berita mengabarkan tentang pejabat yang ditangkap KPK, kasus pembunuhan, dan bencana alam. Satu berita membuat degup jantung gadis itu berdegup kencang.
Kabar percobaan perampokan di salah satu rumah warga yang mengakibatkan salah satu penghuni mengalami kritis di rumah sakit.
"Bunda..." ujar Alena syok saat melihat wajah dan nama korban yang ditampilkan. Korban itu rupanya pengasuh panti asuhan tempat dimana Alena tinggal dulu.
Air mata Alena langsung menetes. Ia tahu betul. Bundanya tidak memiliki siapapun. Alena sangat menyayangkan sebab beliau lebih senang tinggal sendiri di rumah. Lokasinya memang tidak jauh dari panti. Hanya saja, sangat rawan tinggal sendiri.
"Bima...please cepat pulang. Aku harus pergi ke rumah sakit." Alena panik. Ia menelusuri seluruh ruangan, berharap menemukan kunci cadangan. Sayangnya tidak ketemu.
Alena hanya bisa menangis tersedu-sedu. Panik, cemas, dan takut. Ia sangat ingin menemui Bunda di rumah sakit.
Beruntung, beberapa saat kemudian terdengar pintu depan terbuka. Bima pulang lebih awal dari biasanya.
Bergegas ia menyambut Bima dengan delapan air mata.
"Kenapa kamu?" tanya Bima heran.
"Mas...please...ijinin aku ke rumah sakit sekarang. Tolong...aku harus kesana sekarang."
"Kenapa? Kamu sakit?"
"Bunda aku...bunda aku sakit. Tolong...tolong!" teriak Alena putus asa. Ia bersikeras membujuk Bima agar memberinya ijin. Bahkan setengah meronta.
"Tenangkan diri kamu. Jelaskan baik-baik ke saya."
"Aku nggak punya waktu lagi. Tolooong!"
"Saya tidak akan ijinkan kamu."
"Kamu jahat! Kamu manusia tidak punya hati!"
"Kamu yang tenang. Saya tidak akan ijinkan kamu keluar dalam keadaan sekacau ini!" bentak Bima lebih keras dari Alena.
Gadis itu terdiam. Ia mencoba menenangkan diri. Beberapa saat kemudian, saat nafasnya mulai teratur, ia mencoba membujuk kembali.
"Bunda yang pernah mengasuh aku mengalami percobaan perampokan. Sekarang ia kritis di rumah sakit. Dia tidak punya siapa-siapa, Mas. Ijinkan aku ke rumah sakit sekarang. Aku ingin merawat beliau."
*****
Sepanjang perjalanan Alena terus berusaha menutupi rasa panik. Bima mencarikan jalan alternatif agar secepatnya sampai ke rumah sakit.
Setengah jam kemudian, mereka memasuki pelataran rumah sakit. Begitu mobil berhenti, Alena bergegas turun dan berlari menuju ICU.
Di sana tampak perempuan paruh baya tengah berbaring tak sadarkan diri. Ada selang oksigen dan juga infus yang menempel di tubuhnya.
"Bunda..." panggil Alena pelas. Tangisnya kembali menetes.
Melihat kondisi perempuan yang dimaksud Alena, membuat Bima ikut empati. Ia pun meminta pada perawat untuk memberikan tindakan ekslusif dengan kelas VVIP.
Penanganan yang semula apa kadarnya berubah menjadi perawatan intensif. Alena jauh lebih tenang dari sebelumnya.
Usai penanganan awal, Bunda langsung dipindahkan ke ruang rawat VVIP.
"Namanya Bunda Fatia. Beliau dulu yang mengasuhku saat kecil di panti asuhan. Jauh sebelum diadopsi oleh keluargaku yang sekarang. Beliau tidak punya siapa-siapa. Makasih, ya. Udah bantu Bunda." Alena tulus mengucapkan kalimat barusan.
"Saya akan kirim pelayan untuk temani kamu selama di sini. Cukup dia yang bolak-balik urus keperluan kamu. Mulai besok pagi. Jadi, kamu tidak usah bolak-balik. Pulanglah begitu Bunda Fatia sembuh."
Mata Alena berkaca-kaca. Ia tersenyum lega. "Terima kasih..."
Bima hanya diam saja tak menanggapi. Usai melihat arloji di tangan, ia pamit pergi. "Saya pergi dulu."
"Perlu aku antar ke depan?"
"Nggak perlu." Bima beranjak pergi.
Alena mengucap syukur dalam hati. "Alhamdulillah, setidaknya dalam keadaan urgent kayak gini, Eskimo itu masih punya hati."
Selama proses merawat Bunda Fatia di rumah sakit, Alena benar-benar telaten. Diam-diam Bima terkadang datang untuk mengamati apa saja yang diperbuat Alena. Pria itu diam-diam mengamati dari luar kamar.
Melihat ketelatenan Alena dalam merawat Bunda Fatia membuatnya trenyuh. "Harusnya yang kamu perlihatkan sisi manusia jahat...bukannya baik hati...ini membuat saya heran, kenapa oma kejam sekali jadikan kamu seperti ini," batin Bima heran.
*****
Bunda Fatia baru menjalani rawat inap tiga hari di rumah sakit, tapi beliau sudah tidak betah. Akibat penganiayaan dari perampok, beliau mendapatkan luka tusuk di perut. Dokter sudah menjahit lukanya.
"Alena...Bunda ingin pulang saja. Kasihan anak-anak di panti. Para pengasuh pasti kewalahan."
"Bunda...ikuti kata dokter dulu. Ale yakin...di panti akan baik-baik saja. Kemarin saat Bunda masih tidur, mereka datang kemari. Mereka pesan pada Ale untuk melarang Bunda pulang kalau belum diberi mandat langsung sama dokter."
Bunda Fatia terus meminta pulang bahkan sampai mogok makan. Menyerah berdebat, Alena memutuskan untuk bertanya pada dokter yang bertanggung jawab menangani Bunda.
Alena bertanya apakah Bunda Fatia sudah diperbolehkan pulang atau belum. Ia juga mengatakan kalau Bunda Fatia mogok makan kalau tidak diijinkan pulang.
Dokter pun berusaha membujuk Bunda Fatia untuk bersabar dua hari lagi. Sayangnya beliau sangat keras kepala.
"Baiklah, Bunda. Kalau memang sudah sangat ingin pulang dan memilih rawat jalan, saya ijinkan. Syaratnya kalau merasa nyeri berlebih silakan periksa kemari. Beberapa hari kedepan wajib kontrol luka."
Bunda Fatia menyanggupi. Dokter akhirnya setuju mengijinkan sang pasien pulang ke rumah.
Alena mengatakan pada pelayannya untuk memberi kabar pada Bima terkait kepulangan Bunda Fatia.
Usai memberi kabar, pelayan suruhan Bima mengatakan kalau sopir yang menjemput sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit.
"Mbak...ijinkan ke Mas Bima kalau saya ingin merawat Bunda sampai benar-benar pulih. Jadi, saya akan menginap di rumah Bunda."
Pelayan itu tampak kebingungan. "Waduh, Non. Barusan Tuan Bima kasih pesan kalau Non harus langsung pulang ke apartemen setelah mengantar Bunda pulang."
"Please, Mbak. Saya nggak mungkin biarkan Bunda sendirian dalam kondisi masa pemulihan. Di panti pasti repot semua. Nggak akan ada yang bisa menemani 24 jam. Please."
"Non ngomong sendiri sama Tuan Bima, ya. Saya sambungkan." Pelayan itu sekali lagi menelfon Bima.
Selama beberapa menit Alena kembali memohon untuk diijinkan menginap di rumah Bunda Fatia sampai kondisi beliau pulih total.
"Please...ijinkan aku, Mas," rengek Alena melalui percakapan telfon.
"Saya tidak bisa membiarkan program kita ditunda terus, Alena. Kamu ada kewajiban yang tidak bisa kamu nomor duakan."
"Aku mohon..." pinta Alena sungguh-sungguh.
Beberapa saat Bima hanya diam. Akhirnya keluar kata iya untuk Alena. "Oke, ini terakhir kalinya saya ijinkan kamu menginap di luar sampai Bunda Fatia sembuh total."
"Terima kasih, Mas."
udah tau keles
jangan lupa mampir juga di karyaku