Sejak usia tujuh tahun, Putri Isolde Anastasia diasingkan ke hutan oleh ayahandanya sendiri atas hasutan selir istana. Bertahun-tahun lamanya, ia tumbuh jauh dari istana, belajar berburu, bertahan hidup, dan menajamkan insting bersama pelayan setia ibundanya, Lucia. Bagi Kerajaan Sylvaria ia hanyalah bayangan yang terlupakan. Bagi hutan, ia adalah pewaris yang ditempa alam.
Namun ketika kerajaan berada di ujung kehancuran, namanya kembali dipanggil. Bukan untuk dipulihkan sebagai putri, melainkan untuk dijadikan tumbal dalam pernikahan politik dengan seorang Kaisar tiran yang terkenal kejam dan haus darah. Putri selir, Seravine menolak sehingga Putri Anastasia dipanggil pulang untuk dikorbankan.
Di balik tatapannya yang dingin, ia menyimpan dendam pada ayahanda, tekad untuk menguak kematian ibunda, dan janji untuk menghancurkan mereka yang pernah membuangnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gosip Liar
Langkah-langkah Anastasia terdengar berirama di sepanjang koridor istana Agartha. Cahaya pagi yang menembus jendela kaca patri memantulkan siluetnya… begitu anggun, namun dingin seperti bayangan yang tak tersentuh. Namun di belakang keheningan itu, bisikan-bisikan kecil bergaung di setiap sudut.
“Kau dengar berita itu? Mereka bilang ia sangat dekat dengan Jenderal Alexius.”
“Benar, bahkan mereka sering berduaan di taman istana. Dasar sinting, melakukan tindakan tidak terpuji di tempat umum.”
“Astaga… berani sekali. Padahal Kaisar Lexus terkenal tak kenal ampun kalau soal penghianatan.”
“Tapi mungkin itu sebabnya ia bisa memikat dua pria sekaligus…”
Suara mereka terputus ketika Anastasia menoleh. Sekilas tatapannya dingin, tapi cukup untuk membuat semua pelayan buru-buru menunduk pura-pura sibuk. Langkahnya kembali berlanjut, ringan namun penuh wibawa seperti seseorang yang tak ingin membuang waktu menanggapi dunia yang terlalu kecil untuk pikirannya.
Salah satu pelayan yang baru datang berbisik pelan pada temannya,
“Dia tak marah sama sekali….”
Temannya menjawab,
“Mungkin karena dia tahu… gosip itu benar.”
Anastasia mendengar kalimat itu, namun hanya mengangkat bahunya malas. Ia bahkan sempat tersenyum samar, senyum dingin seseorang yang sudah terlalu sering disalahpahami.
“Biarkan mereka menyalak,” gumamnya lirih sambil terus berjalan. “Seekor singa tidak menjelaskan dirinya pada kawanan anjing.”
Ia terus melangkah, gaunnya bergoyang lembut seiring langkahnya meninggalkan kgosip tidak penting di belakang tubuhnya.
“Ha… ha… ha… “ tawa kepuasan terdengar dari balik tirai merah, Selir Bahrana memperhatikan pemandangan itu dengan senyum kecil yang licik.
“Biarkan gosip itu tumbuh…” bisiknya pelan. “Sampai akhirnya, Kaisar sendiri tak bisa membedakan cinta dan penghianatan.”
Alexius melangkah cepat melewati menuju taman Paviliun Trianon. Semakin ia mendekat, semakin kuat keinginan untuk memastikan sendiri bagaimana keadaan Anastasia setelah semua gosip keji itu menyebar ke seantero istana.
“Kakak Ipar…” panggilnya pelan. Ia mengira akan menemukan wanita itu menangis di balik dahan pohon ceri seperti kebanyakan wanita istana yang reputasinya ternoda. Tapi yang ia temukan justru kebalikannya.
Anastasia duduk santai di kursi batu di bawah pohon magnolia, gaun panjangnya tersibak sedikit oleh angin. Ia tampak menikmati ketenangan sore dengan sepiring besar potongan buah anggur dan apel di pangkuannya. Sesekali ia mengunyah pelan tanpa ekspresi, seolah seluruh dunia di sekitarnya tidak lebih dari gangguan kecil.
Alexius berhenti beberapa langkah darinya, menatap tak percaya.
“Kau…” suaranya nyaris pelan, “tidak marah mendengar semua omongan mereka?”
Anastasia menoleh sebentar, menatapnya dengan mata datar lalu mengangkat bahu ringan.
“Marah? Untuk apa? Lidah manusia memang diciptakan untuk bergerak. Jika mereka tak bergosip, mungkin lidah mereka akan membusuk.”
Alexius nyaris tertawa mendengarnya, tapi ada kekaguman tulus yang tumbuh dalam dirinya.
“Kau tahu, aku datang kemari dengan pikiran paling buruk. Kupikir akan mendapati kau menangis atau berteriak marah.”
Anastasia mengambil sepotong kecil apel hijau, menatap buah itu sejenak sebelum menanggapinya dengan tenang.
“Menangis tidak akan membuat mereka berhenti. Dan marah hanya membuat mereka berpikir aku merasa bersalah.”
Ia mengangkat potongan apel itu, menatapnya di bawah cahaya matahari lalu menambahkan,
“Biarkan saja… paling sebentar lagi mereka akan bosan. Gosip tidak berkembang tanpa biang, dan aku tidak berniat menanggapi biang dengan rencana murahan seperti itu.”
Alexius menatapnya lama, bukan sebagai selir istana atau istri dari kakaknya tapi sebagai sosok gadis yang kuat, cerdas, dan terlalu tenang menghadapi badai.
Dalam hati ia bergumam, Sesuai dugaanku, sejak awal aku yakin wanita ini… berbeda. Benar-benar berbeda.
Anastasia menoleh sekilas, menyadari tatapannya.
“Kenapa menatapku begitu?”
Alexius tersenyum tipis, menunduk sedikit sambil berkata ringan.
“Kupikir gosip itu salah satu ujian kecil bagi mereka yang menantang istana. Tapi tampaknya, kaulah ujian bagi kami semua.”
Anastasia mengernyit pelan, tapi tak menanggapi. Ia hanya mengambil satu buah anggur dan melemparkannya ke arah Alexius.
“Kalau datang hanya untuk mengoceh, lebih baik bantu aku memetik buah ceri yang banyak.”
Alexius terkekeh pelan, Anastasia selalu tahu bagaimana membuat hidupnya jadi lebih hidup.
Derap langkah berat terdengar di Paviliun Selir Bahrana
“Yang Mulia Kaisar Lexus memasuki ruangan.” seru para pengawal.
Setelah Sang Kaisar menghilang di balik pintu, pengawal saling melihat satu sama lain. Hanya sebentar, tapi cukup bagi para pelayan dan pengawal istana untuk menjadikannya santapan gosip hangat di malam hari.
Anastasia yang tengah duduk di teras Paviliun Trianon mendengarnya dari dua pelayan yang tak sengaja lewat sambil berbisik. Ia menegakkan punggung, menatap kosong ke arah taman yang masih diselimuti kabut tipis.
“Hmph…” ia berdecih pelan, “Dasar kaisar celap-celup, kini dia menari di ranjang selirnya lagi.”
Nada suaranya penuh ejekan, tapi tangan yang memegang cangkir teh sedikit bergetar. Ia tidak menyadarinya atau mungkin pura-pura tidak.
“Benar-benar menjijikkan,” gumamnya lagi, mencoba menahan nada getir di ujung lidahnya.
Lucia, pelayan setianya menatap majikannya dengan khawatir.
“Yang Mulia, barangkali itu hanya kabar angin. Orang-orang di istana senang melebih-lebihkan.”
Anastasia mengibaskan tangannya. “Tidak perlu membelanya, Lucia. Jika benar, itu bukan hal tabu. Kaisar memiliki banyak selir, sudah sepantasnya ia mengelilinginya satu per satu.”
Namun seiring kata-kata itu meluncur, dada Anastasia sedikit tercubit. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan dan sulit untuk dijelaskan. Ia menatap langit lalu menarik napas panjang, mencoba menepis bayangan wajah Lexus yang tiba-tiba melintas dalam benaknya.
“Bodoh,” desisnya pada diri sendiri, “kenapa aku harus peduli?”
Tapi bahkan setelah ia berpaling dan mencoba menenangkan diri, tatapan matanya tetap tak bisa menghindari arah kediaman Selir Bahrana di kejauhan.
Lorong utama istana tampak lengang ketika Kaisar Lexus kembali dari kediaman Bahrana malam itu. Anastasia yang berjalan dari arah berlawanan berhenti sejenak, mengutuk waktu kenapa harus bertemu dengan kaisar itu. Dalam hatinya berdecak keras, “Setelah dari kediaman Selir Bahrana, jangan-jangan dia sedang menghitung siapa yang berikutnya?”
Ia menghela napas lalu berjalan lurus ke depan, seolah tidak menyadari keberadaan sang kaisar yang berpapasan dengannya. Lexus menahan tangan Anastasia, namun wanita itu segera menarik diri, mundur satu langkah. Tatapannya tidak gentar, hanya jijik seolah lelaki di hadapannya adalah makhluk paling kotor yang pernah hidup.
“Jangan mendekat! Aku tidak ingin aroma selirmu menempel di pakaianku.”
Urat di leher Lexus menegang, jemarinya menggenggam udara kosong di sisi tubuhnya. Pandangan jijik Anastasia membuatnya ingin meledak.
“Berhati-hatilah dengan kata-katamu, Anastasia. Jangan membuatku kehilangan kesabaran!” suaranya berat.
Anastasia hanya mengangkat alisnya, lalu berbalik tanpa menjawab. Gaunnya berkibar lembut saat ia pergi meninggalkan aroma bunga yang samar, aroma yang justru terasa menusuk di hidung Lexus.
Lexus berdiri di tempatnya, menatap punggung wanita itu menjauh dalam diam. Matanya merah, napasnya terasa memburu. Dalam dadanya sesuatu bergolak tak beraturan, amarah, penghinaan, dan sesuatu yang lebih gelap lagi. Ia mengepalkan tangan begitu kuat hingga buku jarinya memutih.