Warning!!!
ini hanya sebuah cerita kayalan belaka, bukan area bocil, jika tidak suka silahkan skip.
Tolong juga hargai karya ini dengan memberikan LIKE untuk mengapresiasi karya ini, VOTE atau GIFT sangat berharga buat kami para penulis, terima kasih sebelumnya.
-------
Berkali-kali mengalami kegagalan dalam pernikahan membuat seorang janda muda yang umurnya belum genap 24 tahun nan cantik jelita bernama Sisilia Aramita memutuskan untuk tidak akan menikah lagi seumur hidupnya. Meskipun statusnya janda namun ia masih tatap perawan.
Ia sudah bertekat, jika menemukan pria yang menurutnya tepat ia akan menyerahkan dirinya pada orang itu dan hanya akan menjalani hubungan tanpa ikatan pernikahan.
Hingga ia bertemu dengan seorang pengusaha tampan bernama Jackson Duran, yang membuat dunianya jungkir balik.
Apakah Jackson bisa merubah pendirian Sisilia untuk mau menikah kembali ataukah ia akan gagal mendapatkan cinta Sisilia.
Yuk simak bagaimana kisah mereka berdua...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nona manis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku ingin mengenal Alan
Yuk Gaess...yang belum vote tolong vote dulu ya...
Jangan lupa like dan komen ya gaes...nona tunggu terima kasih.
......................
Waktu terasa melambat ketika semua menunggu kepastian tentang bagaimana keadaan Alan. Sisil pun ikut cemas, sedikit demi sedikit Sisil mulai membuka hatinya untuk Alan yang telah resmi menjadi suaminya beberapa hari yang lalu.
Pintu ruangan terbuka, semua berdiri dan menghampiri dokter yang tadi memeriksa kondisi Alan.
"bagaimana kondisi anak saya dok" mamanya Alan yang lebih dulu bertanya
"pasien masih dalam kondisi kritis...namun sepertinya ada yang membuatnya membuka matanya...saya tidak bisa memastikan bagaimana kondisi pasien, kita berdoa saja semoga ia berangsur pulih" ucap dokter itu dengan wajah yang terlihat pasrah
"tapi dia sudah sadar kan dok...?" mamanya Alan masih belum puas menerima jawaban dari dokter itu
"dia hanya membuka matanya....dan mengatakan Sisil...itu saja" dokter itu menatap satu per satu yang berada di hadapannya.
Tubuh Sisil menegang, kenapa namanya disebut oleh Alan. Ia tak bisa berkata-kata selain menangis, kenapa rasanya sakit ketika mendengar kenyataan kondisi Alan masih tetap sama.
"ada yang bernama Sisil?" tanya dokter itu
"saya dok..." Sisil terisak
"silahkan ke dalam, mungkin dengan kehadiran Nona bisa membuat kondisinya berangsur membaik" ucap dokter itu
Tanpa menunggu apa-apa lagi, Sisil langsung menerobos masuk. Perasaannya tak karuan, namun rasa bersalahnya lebih dominan.
"Alan...." ucap Sisil menghambur mendekati Alan dan menggenggam tangan Alan.
Perlahan mata Alan terbuka, terlihat Alan menyunggingkan senyumnya.
"Si..sil...is..tri..ku..." ucap Alan terbata-bata "ka...mu...baik..baik...sa..ja..."
"iya aku baik-baik saja....cepatlah sembuh...agar kita bisa pacaran...ayo ...aku menagih janjimu...." Sisil terisak, air matanya terus saja mengalir
"Si...sil...a..ku...men..cinta...i..mu" ucap Alan kemudian tangan yang Sisil genggam tiba-tiba menjadi lemas, dan suara monitor di sebelahnya berbunyi nyaring dan menunjukkan garis lurus.
"Alaaannnn....." teriak Sisil sambil memeluk tubuh Alan. Semua yang berada di luar ruangan pun berhambur masuk ke dalam ruangan. Dokter pun memeriksa Alan, dan akhirnya ia hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Tangis semuanya pecah, semua larut dalam kesedihan. Sisil merasa hatinya hancur, orang yang baru saja ia kenal, dan ia juga baru saja membuka hatinya untuknya, telah meninggalkan dirinya.
Sisil kecewa, marah, ia hanya bisa menangis meraung meluapkan segala emosinya. Rasanya takdir sedang mempermainkan dirinya. Kenapa harus dipertemukan jika harus berpisah secepat itu.
Sisil menyesali semuanya, ia menyesali kenapa ia tak menolak ketika Alan menjadikan tubuhnya tameng agar Sisil selamat. Berkali-kali ia menyalahkan dirinya, seharusnya ia yang terbaring di sana, namun nyatanya itu bukan dirinya.
Sisil tampak duduk termenung di sebelah gundukan tanah yang masih basah. Ya...Alan baru saja dimakamkan, hati Sisil begitu hancur, ia harus menerima kenyataan jika orang yang mulai mengisi hatinya sudah terbaring di dalam sana.
Terasa bahu Sisil ada yang memegangnya, ia pun mendongak menatap mama mertuanya yang juga terlihat sangat bersedih. "Alan anak yang baik, ia selalu menuruti apa yang kami inginkan"
"ma...bolehkah Sisil sementara tinggal di rumah mama" Sisil terisak air matanya tak berhenti mengalir "Sisil belum lama mengenal Alan, Sisil ingin lebih mengenal Alan ma..." ucap Sisil memberanikan dirinya.
"boleh...kamu boleh tinggal bersama kami...kamu menantu di rumah kami..." mamanya Alan memeluk Sisil.
Mereka pun meninggalkan area pemakaman. Sisil menoleh ke arah papanya yang wajahnya terlihat datar, seolah-olah ia tak merasakan kesedihan. Sisil beralih menatap mamanya, mamanya pun juga sama, hanya diam, dan menitikkan air mata.
Bahkan saat dirinya dibawa mertua lebih tepatnya mantan mertuanya, papanya tak bergeming. Hati Sisil sakit, semakin sakit. Sisil tak tahu apa yang papanya rasakan apakah tak ada yang tahu.
Sisil mengikuti mama mertuanya itu masuk ke dalam rumahnya. Rumah yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya Sisil.
"ini kamar Alan...masuklah..." ucap mamanya Alan. Sisil membuka pintunya, dan pandangan pertamanya adalah kamar bercat biru muda, dengan sprei berwarna senada.
Sisil mulai menyusuri kamar itu, semua tampak rapi, berbagai macam piala dan piagam menghiasi kamarnya. Ia melihat foto-foto Alan sewaktu masih remaja, kemudian ada lagi saat ia wisuda sarjana, dan terakhir foto saat wisuda S2 di luar negeri. Ada satu foto yang mencuri perhatiannya, yaitu foto saat dirinya sedang tersenyum.
Sisil tak kuasa menahan tangisnya kembali, ia tak tahu jika Alan pernah memfotonya diam-diam. Sisil semakin merasa bersalah, ia baru menyadari jika Alan memang benar-benar memiliki perasaan seperti yang pernah ia ucapkan.
Sisil pun mengambil satu foto Alan dan mendekapnya kemudian ia merebahkan dirinya di atas tempat tidur masih dengan memeluk foto Alan.
Sisil masih saja terisak, mamanya Alan yang melihat itu semua tak kuasa menahan tangisnya. Ia pun kemudian keluar dari kamar dan menutup pintu itu rapat-rapat. Sisil pun tertidur karena ia lelah menangis.
Papanya Sisil berada di depan rumah besannya itu. Ia bingung tak tahu bagaimana bersikap, di satu sisi kini mereka sudah tak ada hubungan apa-apa lagi karena Alan telah tiada, di sisi lain Sisil masih menganggap mereka adalah mertuanya.
Tuan Johan pun mengetuk pintu rumah itu, dan papanya Alan yang membukanya.
"Ren...aku ingin menjemput Sisil..." ucap Tuan Johan tercekat
"kenapa?"
"aku tidak mau Sisil merepotkan kalian" tuan Johan tak tahu alasan apa yang tepat namun ia merasa tak enak hati jika Sisil berada di rumah yang sudah tak ada hubungan apa-apa lagi dengannya.
"biarkan Sisil di sini dulu, aku tahu ini pasti berat buat dia..." ucap tuan Rendra
"apa tidak apa-apa? Karena mengingat Alan sudah tiada" ucap tuan Johan ragu
"Sisil tetap menantu di rumah ini, biarkan dia tenang dulu...dia boleh tinggal di sini selama yang ia mau" ucap tuan Rendra yang tahu kegusaran tuan Johan
"tapi Ren..."
"Jo...biarkan Sisil....dia ingin lebih mengenal mendiang Alan...aku tak bisa melarangnya...aku melihat dia begitu terpukul..." terang Tuan Rendra
"baiklah...kabari aku jika Sisil berubah pikiran" akhirnya tuan Johan mengalah. Ia berpikir mereka semua masih dalam suasana berduka, tak baik jika ia memaksakan kemauannya.
Ia sendiri juga terpukul, ia tak menyangka anaknya akan menjadi janda secepat ini. Meskipun ia tak pernah menyanyangi Sisil sebagaimana mestinya seorang ayah pada anaknya, ia tetap menginginkan Sisil hidup bersama orang pilihannya, yang ia anggap baik buat Sisil.
.
.
.
B e r s a m b u n g