"The Regret of My Seven Older Brothers"
Di balik kehidupan mewah dan kebahagiaan yang tampak sempurna, delapan bersaudara hidup dalam kesejahteraan yang diidamkan banyak orang.
Namun, semuanya berubah ketika kecelakaan tragis merenggut nyawa sang ayah, sementara sang ibu menghilang tanpa jejak.
Si bungsu, Lee Yoora, menjadi sasaran kemarahan dan penilaian keliru ketujuh kakaknya, yang menyalahkannya atas kehilangan yang menghancurkan keluarga mereka.
Terjebak dalam perlakuan tidak adil dan kekejaman sehari-hari, Yoora menghadapi penderitaan yang mendalam, di mana harapan dan kesedihan bersaing.
Saat penyesalan akhirnya datang menghampiri ketujuh kakaknya, mereka terpaksa menghadapi kenyataan pahit tentang masa lalu mereka. Namun, apakah penyesalan itu cukup untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Tolong Percaya Padaku
"Anak sialan itu!" teriak Taehwan sembari berlari keluar dari kamarnya, wajahnya merah padam karena amarah yang membara.
"Di mana dia? Yoora, di mana kamu, sialan!" teriak Taehwan, suaranya menggema di lorong, tetapi tidak mendapatkan sahutan dari orang yang dimaksud. Amarahnya semakin meluap seiring dengan ketidakpastian itu.
Tanpa putus asa, dengan wajah penuh amarah, pria bermarga Lee itu bergegas berjalan menuju ke kamar sang adik yang ada di samping dapur. Namun, saat sampai di kamar yang dituju, dia tidak menemukan sosok yang ia cari. Dengan kekesalan yang memuncak, dia terus saja berteriak memanggil nama Yoora, suaranya semakin keras seolah ingin menembus dinding.
"Aiks... di mana dia?" teriaknya lagi, suaranya pecah seakan dia merasa dunia ini tidak adil. Keributan yang dibuat oleh Taehwan menarik perhatian para penghuni rumah lainnya, yang segera berkumpul di ruang tamu, penasaran .
"Ada apa ini, Tae?" tanya Seonho, alisnya terangkat penuh keheranan melihat adiknya yang tampak sangat gelisah.
"Hyung... kalian lihat di mana anak sialan itu?" tanya Taehwan dengan nada kesal, matanya melotot penuh frustrasi, wajahnya berkerut seakan ingin mengekspresikan seluruh ketidakpuasannya.
"Apa lagi yang dia lakukan?" tanya Jihwan, yang ikut bergabung dengan Taehwan dan Seonho, wajahnya menunjukkan tanda tanya besar dan sedikit ketidakpastian.
"Dia merusak... laptopku, Hyung! Aku sudah kerja keras untuk itu, tapi dia merusak nya " ujar Taehwan dengan nada yang penuh kepedihan, mengusap wajahnya dengan tangan seolah ingin menghapus semua rasa frustrasi yang mengganggu.
"Bagaimana bisa? Memangnya kau mengizinkannya masuk ke kamarmu?" tanya Jihwan, menyipitkan mata seolah tidak percaya, seakan ingin memastikan bahwa semua ini bukan mimpi buruk.
"Aku menyuruhnya untuk membersihkan kamarku tadi pagi. Saat aku kembali ke kamar, laptopku sudah tergeletak di bawah dan itu mati seperti nya karena terkena tumpahan air," jawab Taehwan menjelaskan semuanya, suaranya mengandung rasa frustrasi yang mendalam dan keputusasaan yang menyelip di antara kata-katanya.
"Ya Tuhan... sehari saja anak itu tidak membuat kekacauan. Di mana dia sekarang?" tanya Seonho yang juga ikut emosi, gelisah melihat situasi yang terjadi, matanya berkeliling seakan berharap menemukan jejak Yoora di mana pun dia berada.
"Aku tidak mau tahu... dia harus mengganti laptopku!" jawab Taehwan, menggeram dengan nada tegas, rasa frustrasinya mendidih seperti api yang membakar semangatnya.
"Dia tidak akan mampu untuk melakukan itu. Dari mana dia punya uang?" jawab Namjin yang baru saja pulang dari pekerjaannya, menatap Taehwan dengan tatapan serius yang menunjukkan keprihatinan.
"Dia merusak barangku, Hyung!" jawab Taehwan, suaranya penuh dengan kemarahan yang membara. Wajahnya memerah, seolah semua kekecewaan yang terpendam kini meledak menjadi badai emosi.
"Yoora pasti tidak sengaja menumpahkannya, Taehwan. Lagipula, itu hanya terkena tumpahan air laptop mu tidak akan rusak separah itu hanya karena terkena air, dan kamu masih bisa memperbaikinya untuk menyelamatkan semua data yang ada di dalamnya," ujar Namjin dengan nada sabar, berusaha menenangkan adiknya yang terpancing amarah. Dia tahu betapa pentingnya laptop itu bagi Taehwan, tetapi dia juga merasa perlu memberikan perspektif yang lebih rasional.
"Kenapa Hyung menganggap semuanya dengan pandangan enteng? Di dalam laptop ini ada banyak foto klienku yang belum aku selesaikan!" ujar Taehwan, suara kesalnya semakin meningkat. Setiap kata yang diucapkannya terungkap dengan penuh frustrasi, mengekspresikan betapa pentingnya barang itu bagi masa depannya. Dia tidak bisa membiarkan orang lain meremehkan kerja kerasnya.
"Hyung tidak memandang rendah apa yang ada di laptopmu, tapi reaksi kamu itu berlebihan," kata Namjin, berusaha menunjukkan empati terhadap situasi Taehwan. Dia mengerti betapa pentingnya proyek tersebut bagi Taehwan, tetapi menyadari bahwa kemarahan tidak akan menyelesaikan masalah.
"Tapi, Hyung..." Ucapan Taehwan terpotong oleh nada tegas Namjin yang kini mendekatinya.
Namjin berjalan mendekati semua saudaranya, berhenti tepat di depan Taehwan. Dengan tatapan datar yang tidak menunjukkan emosi, dia kembali berucap.
"Tidak ada tapi-tapian. Kau tahu dia belum bekerja dan masih bergantung pada kita. Kamu ingin laptopmu kembali, kan? Maka Hyung yang akan menggantinya untukmu." Ucapannya terdengar tegas dan tanpa kompromi, seolah dia meletakkan tanggung jawab di atas bahunya. Namjin pun berlalu begitu saja, meninggalkan Taehwan yang tertegun dengan perasaan campur aduk kemarahan, kekecewaan, semua itu terjadi karena kesalahan yoora begitulah yang Taehwan pikiran sekarang.
"Hyung...." panggil Tae, suaranya melengking penuh keputusasaan, namun panggilannya tak digubris oleh Namjin. Dia merasa seolah diabaikan, dan itu menambah berat bebannya. Dalam sekejap, rasa kesepian itu menghantamnya, dan ia hanya bisa menggelengkan kepala, tak tahu bagaimana harus merespons situasi ini.
"Sudah, Tae... yang penting Namjin mau menggantinya untukmu," ujar Seonho, berusaha menenangkan adiknya sambil menghela napas. Dia tahu betul betapa berharganya laptop itu bagi Taehwan, tetapi ia juga ingin menjaga kedamaian di antara mereka.
"Hyung juga menganggap semuanya mudah?" Tanya Taehwan, suaranya meninggi dengan rasa frustasi yang tidak terkatakan. Dia merasa seperti semua orang di sekitarnya tidak memahami betapa berat beban yang ia tanggung.
"Kau pikir Hyung seperti itu?" Tanya Seonho, dengan tatapan tajam yang membuat Taehwan terdiam. Dia berusaha untuk menjelaskan sudut pandangnya, tetapi Taehwan malah berbicara dengan intonasi tinggi padanya.
Setelah mengatakan itu, Seonho pun ikut pergi, meninggalkan kedua adiknya di sana. Taehwan tentu tidak terima akan hal itu. Meskipun tujuan utama untuk mendapatkan kembali laptop yang dirusak oleh Yoora sudah terpenuhi, entah kenapa rasa tidak suka terhadap Namjin yang terkesan selalu membela Yoora membuat emosinya tidak mereda sedikit pun.
"Kenapa Namjin Hyung selalu membela dia?" Ujar Taehwan, suaranya masih tersulut emosi. Ada kekesalan yang jelas terasa dalam nada bicaranya, seolah dia merasa dikhianati oleh orang terdekatnya sendiri.
"Entah apa yang sudah dia lakukan pada Namjin Hyung, padahal Namjin Hyung juga tahu jika dialah penyebab Daddy meninggal dan Mommy yang meninggalkan kita di sini," ujar Jihwan, mencerminkan kesedihan yang mendalam. Rasa sakit itu terukir di wajahnya, mengingat kembali semua kenangan pahit yang mereka alami.
"Aku harus melakukan sesuatu pada anak itu," jawab Taehwan sembari mengepalkan tangan, wajahnya terbalut kemarahan yang semakin membara. Dia merasa ada kebutuhan mendesak untuk mengambil tindakan, untuk melindungi apa yang tersisa dari keluarganya.
"Itu ha..." Ucapan Jihwan terpotong saat mereka mendengar suara langkah kaki di lorong. Tanda bahwa orang yang mereka tunggu baru saja kembali.
Tanpa basa-basi, Taehwan yang sudah dikuasai amarah langsung melayangkan tamparannya pada pipi sang adik yang baru saja tiba.
Plakk... Plakk...
Suara tamparan itu menggema keras di ruangan yang hening, membuat udara seakan membeku seketika. Yoora, yang tak sempat bereaksi, terhuyung ke belakang, kedua pipinya memerah akibat tamparan itu. Tubuhnya yang lemah gemetar di tempat, tak paham mengapa dirinya menjadi sasaran amarah yang begitu besar.
Jihwan, yang berdiri di samping, perlahan tersenyum tipis, merasakan kepuasan aneh merayap di dadanya. Bagi Jihwan, tamparan itu seakan menjadi balasan atas semua rasa kesal yang mereka alami -sebuah pembalasan kecil yang menurutnya layak diterima oleh Yoora.
" Dia pantas mendapatkannya," Gumam Jihwan dalam hati, matanya tajam memandangi Yoora yang kini memegangi pipinya dengan tatapan terkejut.
Sementara itu, Taehwan menatap Yoora dengan penuh kemenangan, seolah tamparan itu berhasil melampiaskan sebagian dari kebencian yang sudah lama ia pendam. Dia merasa puas, meskipun tidak sepenuhnya.
"Itu hanya permulaan, aku akan melakukan banyak hal lagi " gumamnya dengan nada dingin. Baginya, rasa sakit Yoora adalah cara untuk menyeimbangkan semua luka yang telah ia alami karena kehadirannya.
Namun, di tengah kepuasan itu, tak satu pun dari mereka yang menyadari betapa hancurnya perasaan Yoora saat itu. Gadis itu tak berkata apa-apa, tak membela diri, hanya menunduk dalam diam, menyimpan segala rasa sakit dan ketidakadilan yang ia alami di dalam hatinya.
•••YOORA POV on•••
Aku terdiam beberapa saat setelah mendapatkan tamparan tiba-tiba dari kakakku, hingga kesadaranku kembali saat Jihwan kembali berucap.
"Bagus kau ya... sudah merusak barang orang lain malah pergi begitu saja, apa kau tidak tahu diri?" Ujar Jihwan dengan nada penuh amarah, matanya tak lepas dari wajahku yang masih memerah.
"Barang apa yang oppa maksud?" Tanyaku bingung, mencoba memahami situasi yang mendadak ini. Apa yang mereka bicarakan? Aku bahkan baru saja selesai membuang sampah dan tidak ingat melakukan kesalahan apapun.
"Barang apa kau bilang?" Sela Taehwan yang sedari tadi menatapku dengan sorot mata penuh kemarahan, seolah ingin meledak setiap saat. Napasnya tersengal, seperti menahan emosi yang hampir tak terbendung.
Aku hanya bisa diam. Tidak ada yang masuk akal bagiku. Apa yang sedang terjadi? Apa yang telah aku lakukan kali ini? Aku, yang baru saja kembali dari luar setelah selesai membuang sampah, tiba-tiba saja harus mendapatkan perlakuan kasar seperti ini dari kedua kakakku. Detik-detik yang terasa begitu menekan, aku mencoba mengingat apa yang mungkin telah kulakukan salah, tetapi tidak ada... Aku sungguh tidak paham mengapa mereka begitu marah. Rasanya seperti jatuh ke dalam jurang yang tak terlihat—kegelapan yang memeluk erat tanpa ada penjelasan.
“Kau harus mengganti barang Tae!” Ujar Jihwan dengan nada geram, tatapannya tajam, menuntut jawaban dari Yoora yang masih terdiam di tempat.
“Barang apa yang aku rusak?” tanyaku lagi, merasa semakin kebingungan. Aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi, tidak ada kejadian apapun yang bisa aku ingat.
“Barang apa kau bilang!” Taehwan membentakku dengan suara yang lebih keras, membuat jantungku berdegup kencang. Rasa takut kembali menguasai.
“Bukan aku yang merusaknya, aku sama sekali tidak tahu apa-apa soal itu.” Jawabku jujur, meskipun aku tahu mereka tidak akan percaya.
“Kau memang tidak pernah berguna jadi manusia! Seharusnya mommy tidak pernah melahirkan anak seperti dirimu, Yoora… Kami sangat membencimu,” ujar Taehwan, sambil dengan kasar mendorong tubuhku hingga aku terjatuh ke lantai. Lantai dingin yang menyambut tubuhku seolah mempertegas perasaan dingin dan hampa yang selalu menghantuiku.
Aku mencoba menahan tangis, memandang ke arah kakakku yang tampak puas melihatku terjerembab.
“Dengar, kau harus menggantinya. Jika tidak, aku dan Jihwan Hyung akan mengadukan ini pada Seonho Hyung dan Yongki Hyung. Camkan itu!” Ujar Taehwan sebelum beranjak pergi, diikuti Jihwan yang masih menatapku dengan penuh kebencian.
Setelah mereka pergi, aku masih duduk di tempatku, terdiam. Segala macam perasaan menghantamku. Rasa bingung, marah, sedih, semuanya bercampur aduk.
“Apa yang telah aku lakukan? Kenapa selalu seperti ini?” Gumam ku pada diriku sendiri, mencoba mencari alasan di balik semua ini. Situasi seperti ini bukanlah hal baru. Sudah berkali-kali Taehwan dan Jungsoo melimpahkan kesalahan mereka padaku, membuatku menjadi kambing hitam atas semua masalah.
Dengan perasaan hampa, aku memaksakan tubuhku untuk bangkit dari lantai. Aku tidak punya waktu untuk terus meratapi nasibku. Sebentar lagi semua orang harus sarapan, dan aku tahu tugasku adalah menyiapkan semuanya. Tak ada yang peduli pada keadaanku, dan aku pun harus segera bersiap-siap pergi ke sekolah.
Aku tak ingin menambah beban mereka dengan kehadiranku yang mereka anggap tidak berguna. Aku harus terus bergerak, seolah-olah semua baik-baik saja.
Selama memasak, pikiranku terus dipenuhi dengan kebingungan tentang barang apa yang dimaksud oleh Taehwan oppa hingga dia semarah itu. Aku tidak pernah merasa telah merusak apapun. Pikiran itu menghantuiku, berputar tanpa henti seolah mencari jawaban yang tak kunjung datang.
Saat aku tenggelam dalam lamunan, tiba-tiba suara lembut yang familiar mengejutkanku, membuat jantungku berdetak kencang. Refleks, aku menoleh.
"Oppa!" seruku kaget ketika melihat Namjin berdiri di belakangku, senyum tipis menghiasi wajahnya.
"Kenapa melamun?" tanyanya lembut, matanya penuh perhatian yang selalu bisa membuatku merasa tenang.
"Tidak ada, oppa. Aku hanya sedikit ada masalah di sekolah," jawabku sambil tersenyum kecil, mencoba menutupi kegelisahanku dengan kebohongan kecil. Aku tidak ingin dia khawatir.
"Masalah apa?" tanyanya lagi, nadanya penuh rasa ingin tahu.
"Bukan masalah besar, ini hanya tentang pelajaran," sahutku, berharap pembicaraan ini tidak berlanjut lebih jauh. Tapi aku lupa, Namjin selalu tahu kapan aku berbohong.
"Benarkah? Bukan karena Tae?" tanyanya, langsung menusuk ke inti permasalahan. Tepat sasaran.
Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa lagi. Tatapanku jatuh ke lantai, merasa tidak bisa menghindar dari perhatian kakakku yang satu ini. Namjin menatapku sebentar sebelum menghela napas pendek, seperti sudah tahu apa yang terjadi.
"Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Oppa yang akan mengganti laptop Tae. Lain kali, lebih berhati-hati ya, supaya Tae tidak marah lagi padamu," ucapnya lembut, seolah memberikan perlindungan tanpa syarat.
Deg! Aku langsung tersadar. Jadi, barang yang dimaksud oleh Taehwan adalah laptopnya.
"Tidak seharusnya oppa yang menggantinya. Biar Yoora saja yang ganti," jawabku cepat, meski tahu tidak mungkin.
"Kamu punya uang dari mana?" katanya, terkekeh kecil. Senyumnya seolah membuat masalah ini terlihat ringan.
"Tidak... biar Yoora yang menggantinya," desakku, meskipun aku sendiri tak tahu bagaimana caranya. Namjin tertawa kecil lagi, tapi kali ini ada nada tegas di suaranya.
"Sudahlah. Kalau kamu punya uang, simpan saja. Biar oppa yang urus semuanya, mengerti?" ujarnya mutlak, seolah tak ingin ada bantahan, aku hanya bisa mengangguk lemah.
"Nee..." jawabku akhirnya, meskipun hati kecilku masih merasa tidak nyaman.
"Bagus. Setelah selesai memasak, pergilah bersiap-siap. Oppa akan mengantarmu ke sekolah," ucapnya lagi sambil tersenyum. Aku terbelalak kaget.
"A...a...," kalimatku terpotong karena Namjin sudah melangkah pergi, tak memberi ruang untuk menolak atau membantah keputusannya.
Aku hanya bisa berdiri di sana, menatap punggungnya yang semakin jauh. Ada perasaan campur aduk dalam hatiku bahagia karena perhatian Namjin, namun juga takut pada reaksi saudara-saudaraku yang lain. Mereka pasti akan marah jika tahu bahwa Namjin akan mengantarku ke sekolah, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Perasaan was-was itu perlahan merayap, tapi aku tahu, aku tak bisa menolaknya.
Brakk! Suara keras gebrakan meja dapur membuat lamunan dan perasaan hangatku buyar seketika. Aku menoleh cepat, terkejut saat melihat Jungsoo oppa yang entah sejak kapan sudah ada di sana. Wajahnya penuh dengan kemarahan.
"Wah... pintar sekali kau mengambil belas kasihan dari Kakakku!" sindirnya, suaranya penuh cemoohan. Aku tidak tahu apakah dia mendengar seluruh percakapan antara aku dan Namjin oppa, tapi sorot matanya tajam, menusuk langsung ke dalam hatiku.
"Tidak, aku tidak melakukan apapun, oppa," jawabku dengan suara kecil, tubuhku gemetar. Aku menunduk, tak sanggup menatapnya lebih lama. Jungsoo selalu membuatku takut. Dia, Jihwan, dan Taehwan, semuanya selalu menjadikanku sasaran kemarahan mereka menyalahkanku atas hal-hal yang tidak pernah aku lakukan. Dan setiap kali itu terjadi, mereka akan melaporkannya kepada Seonho oppa atau Yongki oppa, yang membuat segalanya semakin buruk.
"Ck, wajah sok polosmu itu membuatku jijik!" desis Jungsoo sebelum tiba-tiba tangannya terulur dan menjambak rambutku dengan kasar. Aku meringis kesakitan, berusaha memegangi tangannya agar tidak menarik rambutku lebih keras.
"Sakit, oppa!" jeritku, tubuhku gemetar menahan perih. Helaian rambutku jatuh ke lantai, dan aku bisa merasakan bagaimana kepalaku berdenyut sakit.
"Kau bilang sakit? Lebih sakit mana, hah? Aku yang kehilangan kedua orang tuaku karena keegoisanmu, atau hanya rasa sakitmu itu?" Teriakannya menggema di dapur yang sepi. Dengan setiap kata yang keluar dari mulutnya, Jungsoo semakin mempererat cengkeraman tangannya di rambutku, menariknya dengan brutal, Air mata mulai membanjiri wajahku.
"Sakit, oppa... Hiks..." Aku tak mampu menahan lagi, rintihan penuh rasa sakit terlepas dari bibirku. Rasanya kepalaku seperti terbakar, tiap tarikan membuatku semakin tak berdaya.
"Kau merusak kebahagiaanku. Karena kau, aku kehilangan semuanya! Apa kau tahu bagaimana rasanya? Kau tidak pantas hidup, sialan! Dan sekarang, kau juga mau merebut kasih sayang Namjin hyung, huh?! Apa maumu sebenarnya?!" Bentak Jungsoo dengan emosi yang semakin menggebu -gebu.
Jungsoo yang sudah dibutakan oleh amarahnya semakin kehilangan kendali. Dia mendorong tubuhku ke dinding dengan kasar, membenturkan kepalaku ke permukaannya. Brak! Satu hentakan kuat, dan dunia di sekitarku mulai berputar. Pengelihatanku semakin kabur. Aku merasakan cairan hangat mengalir di dahiku, dan tubuhku pun mulai kehilangan keseimbangan. Dalam sekejap, aku jatuh ke lantai, tak sanggup menahan tubuhku yang lemah lagi.
" Kau dengar ini sialan, jauhi Namjin Hyung atau aku akan melakukan hal yang lebih dari ini " ujar Jungsoo yang kini mensejajarkan diri nya dengan ku.
Kegelapan yang mencekam perlahan merenggut kesadaranku, seperti tangan tak terlihat yang menarik ku ke dalam kehampaan. Tubuhku terasa semakin berat, sementara suara-suara di sekelilingku mulai memudar, tergantikan oleh hening yang menusuk. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, hanya rasa takut yang perlahan menyelimuti sebelum semuanya benar-benar lenyap di telan kegelapan.
•••POV end•••