Laura, adalah seorang menantu yang harus menerima perlakuan kasar dari suami dan mertuanya.
Suaminya, Andre, kerap bertangan kasar padanya setiap kali ada masalah dalam rumah tangganya, yang dipicu oleh ulah mertua dan adik iparnya.
Hingga disuatu waktu kesabarannya habis. Laura membalaskan sakit hatinya akibat diselingkuhi oleh Andre. Laura menjual rumah mereka dan beberapa lahan tanah yang surat- suratnya dia temukan secara kebetulan di dalam laci. Lalu laura minggat bersama anak tunggalnya, Bobby.
Bagaimana kisah Laura di tempat baru? Juga Andre dan Ibunya sepeninggal Laura?
Yuk, kupas abis kisahnya dalam novel ini.
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab, 26. Masa lalu, Mark
"Memutar ingatan kembali kemasa lalu. Menapaki jejak yang tertinggal. Rasa pedih yang masih tersisa, mungkinkah akan berganti dengan bahagia?"
Flashback.
"Pa, kami pamit ya. Kalau sudah sampai disana, mama akan telepon, Papa," Arumi mencium sekilas pipi Mark, yang tengah sarapan. Carry dalam gendongannya, karena tertidur
Arumi buru-buru karena bus tarvel sudah menunggu didepan rumah. Arumi hendak pulang kampung untuk menghadiri pesta pernikahan saudara sepupunya.
Karena tidak bisa cuti, Mark tidak turut serta mendampingi istrinya.
Mark, mengantar anak dan istrinya hingga pintu. Mark melambaikan tangannya saat bus travel itu bergerak meninggalkan halaman rumah dan menghilang di tikungan.
Tanpa ada firasat ternyata itu adalah pertemuan terakhir Mark dengan istrinya, Arumi.
Bus travel yang ditumpangi, Arumi. Mengalami kecelakaan. Menewaskan beberapa penumpang termasuk Arumi.
Bus travel itu terbakar setelah terguling jatuh ke jurang dengan kedalaman seratus meter.
Jasad Arumi yang terbakar dan terjepit diantara kursi sedang tubuh Carry terpental dan ditemukan di semak-semak, tanpa ada luka sama sekali.
Wajah Arumi sudah tidak bisa dikenali, karena seluruh tubuhnya terbakar. Hanya sisa sweaternyalah, yang masih melekat di tubuhnya dan sebagian ada yang tidak hangus terbakar, sehingga jasadnya dikenali.
Mark sangat kehilangan istrinya. Kematian tragis sang istri sangat disesalinya. Seandainya dia ikut, tentu istrinya tidak akan menumpangi bus travel itu.
Kecelakaan itu tidak akan terjadi, karena dia tidak suka ugal-ugalan saat di jalan raya. Kesaksian penumpang yang selamat, katanya supir tersinggung karena ada yang menyalib kenderaan mereka. Sehingga terjadi aksi kejar-kejaran.
Bus terguling ke jurang karena menghindari kendraan lain yang tiba- tiba muncul dari persimpangan. Tabrakan tidak terhindarkan lagi, bus travel terguling dan masuk jurang.
Kecelakaan itu juga menewaskan sang supir.
Hari ini tepat sepuluh tahun kejadian tragis itu. Mark menghela napas panjang. Seperti masih kemarin saja peristiwa itu, terjadi. Duka itu masih menggelayuti ruang hatinya.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya tahun ini, duka Mark tidak seberat dulu. Sejak mengenal Laura, Mark merasakan kalau bilik kosong di hatinya kini mulai terisi.
Mark lebih bergairah menjalani kehidupannya. Perhatian dan cinta Laura membuat hidupnya kini lebih berwarna.
Hanya saja, Mark belum bisa menyakinkan Laura, agar mereka menikah. Laura masih butuh waktu, untuk tinggal seatap dengan Mark.
Mark harus menghargai itu. Tidak ingin memaksakan keinginannya.
"Papa....!" teriak Carry mengagetkan Mark. Hampir saja foto pernikahannya dengan Arumi terjatuh dari tangannya. Carry menghenyakkan pantatnya disisi Mark.
"Papa, kenapa?" tanya Carry dengan antusias melihat wajah murung Mark.
"Oh, Papa tidak apa-apa sayang." Marck meletakkan foto itu kembali diatas meja kerjanya.
"Papa, teringat lagi dengan Mama, ya?" Aura sedih diwajah, Mark, langsung berpindah ke wajah Carry. Mark menatap putrinya, dengan mata yang berembun.
"Tidak apa-apa sayang." Mark merengkuh Carry dalam pelukannya. Keduanya terbenam dalam perasaan masing-masing. Hening meraja, membuat suasana semakin dalam.
"Papa, gimana kalau kita nyekar ke makam, Mama?" ucap Carry mencetuskan ide. Diangguki oleh Mark. Sudah hampir setahun, Mark tidak berkunjung ke makam istrinya, karena kesibukannya disepanjang tahun ini.
|`"Ma, Carry datang sama Papa. Maaf ya, Ma. Kami sudah lama tidak datang. Abis, Papa sibuk terus. Carry bawa bunga kesayangan, Mama." Carry meletakkan setangkai mawar putih di nisan Arumi.
Mark duduk disisi makam istrinya. Mengeja satu persatu nama istrinya. Lalu mengusap nisan bertuliskan nama istrinya.
"Sayang, maafkan aku ya. Bukan aku tidak sayang lagi padamu. Tapi, aku dan Carry harus melanjutkan hidup kami. Maafkan bila akhirnya ada wanita lain hadir dalam kehidupan kami. Percayalah sayang, kamu akan tetap dihati kami."
"Iya, Ma. Izinkan Papa bahagia ya, Ma. Carry juga. Kami tetap sayang kok, sama Mama." Carry mencium nisan Ibunya. Ingatannya tentang ibu yang mahirkannya hanyalah lewat cerita papanya, yang selalu didongengkan menjelang tidur.
Carry masih terlalu kecil untuk mengingal hal tentang ibunya. Sepanjang masa kecilnya, dia sudah cukup bahagia dengan cerita tentang ibunya. Tidak lebih dari itu. Terkadang rasa iri itu muncul menguasai segenap hatinya.
Kenapa dia tidak punya ibu. Alangkah bahagianya seandainya ibunya masih hidup.
Namun, dia tumbuh besar hanya dengan kasih sayang ayahnya. Pernah dia merengek minta seorang ibu, tapi tidak pernah digubris papanya.
"Ibu itu bukan barang mainan, Carry. Tidak bisa dibeli, seperti beli boneka. Tapi dia harus datang dengan cinta, tulus dan menyayangi. Papa tidak ingin kamu teraniaya hanya karena keegoisan, papa."
Selalu itu kata yang terucap dari papanya. Kata-kata yang belum bisa dimergerti Carry sapai saat ini.
Carry malah makin q mendapatkan ganti seorang ibu, hanya beberapa bulan setelah ibunya meninggal.
Namun, temannya itu tidak pernah seperti dulu lagi. Karena ibu tirinya selalu mengabaikan dirinya.
Sejak saat itu, Carry tidak pernah lagi meminta ibu. Carry, mulai faham dan mengerti kenapa Papanya tidak memberinya seorang ibu pengganti.
Namun, beberapa bulan yang lalu, Carry sangat terkejut saat Papanya memperkenalkan Laura padanya.
Carry tengah belajar malam itu di kamarnya, ketika papanya mengetuk pintu kamarnya dan minta izin masuk.
"Carry, kamu sudah tidur, nak? Bukain pintu kamarnya. Papa mau ngomong sebentar.
"Pintunya gak dikunci kok, Pa." sahut Carry menuruh Mark masuk.
"Lagi belajar? Putri Papa rajin juga belajar, ya?"
"Iya, dong Pa. Carry mau seperti Papa, jadi orang pintar dan sukses."
"Baguslah. Papa bangga sama kamu, nak." Mark mengusap kepala Carry, dengan lembut.
"Papa mau ngomong sesuatu, ya. Tumben malam gini ke kamar, Carry."
"Hem, iya. Papa mamu ngomong sesuatu sama kamu." Mark tidak langsung bicara, dia malah menatap sepasang mata bening milik putrinya.
Sepertinya ragu, mau mengungkapkan isi hatinya.
"Mau ngomong apa sih, Pa. Bikin Carry tegang saja." kekeh Carry bercanda.
"Carry, jawab yang jujur ya. Carry masih pengen gak punya mama lagi?"
Sepasang mata milik Carry mengerjap. Antara kaget dan senang menyergap ruang hatinya.
"Papa mau merit?" tebak Carry asal. Karwna tidak menduga ucapan papanya.
"Kalau Carry tidak keberatan. Papa mau kenalkan kamu pada seseorang. Setelah itu Carry baru bicara. Apa setuju atau tidak," ucap Mark to the point.
Ketika tiba waktunya, Carry berkenalan dengan Laura. Carry sangat antusias dengan pilihan papanya.
Carry sangat suka, seolah melihat sosok ibunya didalam diri, Laura. Tidak heran ketika mereka lekas lengket.
Selain menyukai Laura, Carry juga suka dengan Bobby. Bocah yang membuat dirinya serasa memiliki adik sendiri.
Melihat reaksi Carry, Mark jelas senang karena Carry ternyata tidak menolak kehadiran Laura di tengah-tengah mereka. Justru Carry lah yang tidak sabar, kapan Laura dan Bobby menjadi keluarganya.****