aku berdiri kaku di atas pelaminan, masih mengenakan jas pengantin yang kini terasa lebih berat dari sebelumnya. tamu-tamu mulai berbisik, musik pernikahan yang semula mengiringi momen bahagia kini terdengar hampa bahkan justru menyakitkan. semua mata tertuju padaku, seolah menegaskan 'pengantin pria yang ditinggalkan di hari paling sakral dalam hidupnya'
'calon istriku,,,,, kabur' batinku seraya menelan kenyataan pahit ini dalam-dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
masa lalu abang
Setelah beberapa menit menunggu dengan sabar, Rama akhirnya merasakan getaran di ujung kail untuk kesekian kalinya. ia segera menariknya dengan cekatan, dan dalam waktu singkat, satu ekor ikan lagi berhasil naik ke permukaan. dan ikan ke-lima ini ternyata lebih besar lagi dari yang pertama.
seketika wajah Alda langsung berseri-seri, matanya berbinar melihat hasil tangkapan Rama. "wow, kamu dapat ikan besar Ram, hebat!" ucap antusias Alda seraya memotret setiap gerakan Rama dengan ponselnya.
Rama hanya tersenyum bangga, dan ia melanjutkan meletakkan ikan-ikan itu ke ember, menyiapkan semuanya untuk dibawa pulang. "ini hanya keberuntungan, Da. harinya berpihak padaku"
namun, setelah beberapa saat, Rama melirik jam tangannya dan menyadari waktu sudah hampir mendekati malam. ia menghela napas sejenak dan berkata dengan lembut, "Da, sudah hampir malam. kita harus pulang."
Alda sedikit terkejut, tapi wajahnya yang bahagia itu tetap terlihat jelas. "tapi, Ran... aku masih ingin melihat kamu memancing" Alda tampak enggan meninggalkan tempat itu.
Rama menatapnya dengan senyum hangat, berusaha meyakinkan Alda. "nanti kita bisa datang lagi, Da. tapi sekarang, kita pulang dulu. ikan-ikan ini harus segera dimasak. aku ingin merasakan hasil tangkapan kita ini"
Alda menatapnya sejenak, sepertinya berpikir sejenak, sebelum akhirnya ia tersenyum malu-malu. "baiklah, kalau begitu." namun, wajahnya tetap terlihat sedikit ragu, masih ingin menikmati momen di sana.
Rama segera menyelesaikan semua persiapan, membayar hasil tangkapannya, dan dengan langkah ringan, ia mengajak Alda untuk kembali ke mobil. "ayo, Da. kita pulang dan nanti kamu bisa masak ikan ini bersama Ibu"
"iya Ram. aku juga tidak sabar mengolahnya" Alda melirik hasil tangkapan tadi yang kini sudah berada di tangan Rama.
dan sebelum mereka benar-benar meninggalkan tempat itu, Rama sempat menyuruh Alda untuk membeli beberapa cemilan bekal mereka pulang, namun, Alda menolak dengan sopan, "tidak usah, Ram. aku ingin cepat-cepat pulang dan memasak ikan-ikan itu untuk kamu."
Rama mengangguk setuju, tersenyum melihat perhatian Alda. "baiklah, kalau begitu. kita langsung pulang saja."
dengan hati yang penuh kebahagiaan dan tangan yang saling menggenggam erat, mereka pun menuju mobil dan melaju pulang, perjalanan pulang yang terasa semakin hangat dan penuh dengan kebersamaan.
***
setelah mereka sampai di rumah, Rama dan Alda bergegas masuk ke dalam. kali ini rumah tampak sedikit lebih senyap dari biasanya, namun begitu mereka masuk, sang Ibu langsung menyambut dengan senyuman hangat.
"ah, kalian sudah pulang, bagaimana tadi di rumah orangtua Alda? kabar mereka baik-baik saja kan?"
Rama tersenyum sedikit seraya melirik Alda sekilas. "kami diterima dengan hangat, Bu. kakek Alda juga mulai menerima kehadiran Rama"
"syukurlah jika demikian. Ibu lega mendengarnya" Ibu mengangguk senang, tapi matanya kemudian melirik kantung kresek yang berada di tangan Alda.
"lalu, apa yang kalian bawa itu, Nak?"
Rama tersenyum, sedikit bangga, dan menjelaskan,
"tadi Rama mengajak Alda singgah di tempat biasa Rama memancing, Bu. dan kita mendapat ikan-ikan nila yang segar."
mendengar itu, Ibu tersenyum lebar. "hm, kebetulan sekali! Ibu memang sedang ingin memasak ikan sungai. Alda, ayo bantu Ibu di dapur. kita olah ikan itu bersama-sama."
alda mengangguk antusias, senang bisa ikut membantu. kemudian mereka berdua lekas berjalan menuju dapur, sementara Rama memilih duduk di sebelah Ayah yang sedang serius menatap layar ponselnya.
Rama mengalihkan pandangannya dari dapur ke arah lelaki disampingnya. Ayahnya tampak tidak seceria biasanya. ekspresinya lebih serius dan agak murung.
"Ayah, ada apa?" tanyanya hati-hati.
Ayah tidak langsung menjawab. ia hanya menghela napas panjang, lalu menatap Rama dengan ekspresi yang sulit ditebak.
"abangmu tiba-tiba murung di kamar," ujar Ayah akhirnya. "entah apa yang terjadi dengannya."
Rama terdiam sejenak, mencerna perkataan itu. abangnya bukanlah tipe orang yang suka mengurung diri. biasanya, justru dia yang paling banyak bicara, paling sering membuat suasana rumah hangat dengan celotehannya.
"bang Raka?" Rama mengulang dengan nada heran.
Ayah mengangguk, lalu bersandar di sofa. "sejak pulang kerja tadi, dia langsung masuk kamar dan tidak keluar-keluar. Ibumu sudah mencoba bertanya, tapi dia cuma bilang ingin sendiri dulu."
Rama mengernyit. ada sesuatu yang tidak beres. pikirannya langsung dipenuhi berbagai kemungkinan. masalah pekerjaan? atau ada masalah lain?
"Rama akan coba bicara dengan bang Raka, yah," kata Rama akhirnya.
Ayah hanya mengangguk pelan. "coba saja, nak. siapa tahu dia mau cerita."
tanpa menunggu lebih lama, Rama bangkit dan berjalan menuju kamar kakaknya. ia mengetuk pintu dengan lembut.
"Bang, ini Rama. boleh masuk?" tanyanya hati-hati.
hening.
Rama mencoba lagi, kali ini lebih keras. "bang Raka?"
beberapa detik kemudian, terdengar suara langkah mendekat. kunci pintu diputar, dan pintu terbuka sedikit. Raka berdiri di baliknya dengan ekspresi yang sulit diartikan. matanya tampak sedikit sayu, namun juga terlihat lelah.
Rama menelan ludah, semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
"boleh aku masuk, bang?" tanyanya lagi dengan lembut.
Raka tidak langsung menjawab, tetapi setelah beberapa detik, ia membuka pintu lebih lebar dan melangkah mundur, memberi isyarat agar Rama masuk.
begitu pintu tertutup, Rama melihat kakaknya duduk di tepi ranjang, menundukkan kepala dengan tangan bertaut di antara lututnya.
"bang, ada apa?" Rama mencoba membuka pembicaraan.
Raka akhirnya menghela napas panjang sebelum berkata dengan suara berat, "hubunganku dengan Risa… tidak sedang baik-baik saja, Ram."
Rama terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata kakaknya. seingatnya, hubungan Raka dan gadis itu selalu terlihat baik-baik saja. tidak pernah terdengar masalah besar di antara mereka, apalagi sampai ke tahap seperti ini.
"maksud abang?" tanya Rama hati-hati.
Raka mengusap wajahnya, tampak lelah. "aku dan Risa sering bertengkar belakangan ini. dia bilang sudah capek… dia minta pisah, Ram."
Rama semakin bingung. ia mengenal Risa cukup lama, bahkan sebelum wanita itu menjalin hubungan dengn abang nya. Risa adalah kakak tingkat Rama yang sekarang menjadi seorang perawat di salah satu rumah sakit di kota ini, dia adalah wanita pendiam yang tidak pernah neko-neko. setahu Rama, Risa bukanlah tipe orang yang suka mengumbar masalahnya, apalagi sampai meminta pisah begitu saja.
itulah kenapa Rama sangat terkejut ketika mendengar Risa ingin berpisah dari abangnya.
"tapi, bang… Risa bukan orang yang mudah menyerah dalam hubungan," kata Rama, mencoba memahami situasinya. "sejauh yang aku tahu, dia bukan tipe yang akan mengambil keputusan seperti ini tanpa alasan yang jelas. ada apa sebenarnya?"
namun, lagi-lagi, Raka hanya diam. seakan ada sesuatu yang ia sembunyikan.
Rama memperhatikan gerak-gerik abangnya dengan penuh selidik. setiap kali ia mencoba menggali lebih dalam, Raka selalu menghindari pembicaraan. seolah ada hal besar yang sedang ia tutupi.
"bang…" Rama menatapnya tajam. "jangan bilang ada sesuatu yang belum abang ceritakan padaku."
Raka masih menghindari pembicaraan, kali ini dengan alasan yang terdengar kurang masuk akal.
"mungkin Risa cuma lagi stres dengan pekerjaannya di rumah sakit, Ram. kami hanya butuh waktu untuk menenangkan diri masing-masing."
Rama menatapnya, jelas tidak sepenuhnya percaya. namun, melihat Raka yang masih belum mau jujur, ia memilih untuk diam lebih dulu. tidak ada gunanya memaksa seseorang bicara kalau mereka belum siap. tapi dalam hati, Rama sudah memutuskan, ia akan mencari tahu sendiri nanti.
"baiklah, bang. tapi kalau ada yang ingin dibicarakan, aku ada," ujar Rama sebelum bangkit dari tempat duduknya dan berjalan keluar kamar.
begitu menutup pintu kamar Raka, Rama menarik napas panjang, mencoba meredakan pikirannya yang masih dipenuhi tanda tanya. ia melangkah menuju kamarnya sendiri, tapi saat baru masuk, ia langsung melihat Alda berdiri di samping ranjang.
Alda terlihat hendak pergi ke kamar mandi, terbukti dari handuk dan baju bersih yang ada di tangannya. namun, saat melihat kedatangan Rama dengan ekspresu yang tampak sedikit cemas, Alda menautkan alisnya.
"Rama, ada apa? wajahmu terlihat berbeda," tanyanya dengan nada lembut.
Rama mengerjap, menyadari bahwa pikirannya terlalu terlihat jelas. ia mengusap tengkuknya sebentar sebelum menjawab, "bukan apa-apa, Da. hanya saja… hubungan bang Raka dan risa sedang tidak baik."
mendengar itu, Alda langsung mengernyit, terkejut. "maksudnya? mereka bertengkar?"
Rama mengangguk pelan dan duduk di sofa yang ada di dekat jendela kamar. Alda yang masih penasaran akhirnya ikut duduk di sampingnya, meletakkan handuk dan baju di atas pangkuannya.
Alda yang sejak kini telah berada di samping Rama, akhirnya memberanikan diri bertanya lebih jauh. "apa Risa itu orang penting di hidup mas Raka?" tanyanya hati-hati.
Rama sempat terdiam sejenak, baru menyadari bahwa Alda memang tidak mengenal siapa itu Risa. sampai pada akhirnya Rama mengangguk pelan, mencoba menjelaskan. "Risa itu pacar bang Raka sejak kuliah. dia seorang perawat di salah satu rumah sakit di kota ini. orangnya pendiam, tidak neko-neko, dan setia. dan itulah alasan ku sedikit tidak percaya, kenapa tiba-tiba dia ingin berpisah dari bang Raka."
Alda mengangguk-angguk, mulai memahami. "jadi mereka sudah lama bersama, ya?"
"benar," Rama menghela napas. "tapi bang Raka bilang Risa meminta untuk berpisah. tapi aku sendiri heran, karena setahuku Risa bukanlah gadis yang mudah menyerah dalam hubungan. dia itu setia, Da. dan sejauh ini, aku tidak pernah mendengar mereka memiliki masalah besar."
alda ikut terdiam, mencoba memahami situasi. "itu sedikit janggal, Ram. apalagi mereka sudah cukup lama bersama, bukan?"
"iya, sejak kuliah," Rama mengangguk. "bang Raka bukan tipe orang yang mudah membuka hati. aku masih ingat sebelum dengan Risa, dia pernah patah hati karena wanita yang ia sukai memilih pria lain."
Alda menoleh dengan mata membesar. "benarkah? lalu siapa wanita itu?"
Rama menggeleng. "aku tidak tahu. sejauh yang aku ingat, ketika aku mulai menyadari tentang hubungan asmara, bang Raka sudah bersama Risa. jadi aku tidak pernah tahu siapa wanita yang pernah meninggalkannya dulu."
Alda menggigit bibir, pikirannya ikut menerawang. "kalau dia pernah mengalami patah hati seperti itu, berarti Risa pasti orang yang benar-benar bisa membuatnya percaya lagi pada cinta, ya?"
Rama mengangguk. "itulah yang membuatku semakin heran. aku tidak mengerti mengapa Risa ingin berpisah. aku juga tidak mengerti mengapa bang Raka seolah menyembunyikan sesuatu dariku."
alda menepuk punggung tangan Rama pelan, berusaha memberi dukungan. "kalau kamu merasa ada sesuatu yang janggal, mungkin memang ada hal yang belum terungkap. tapi bisa saja bang Raka hanya butuh waktu untuk membicarakannya."
Rama menghela napas. "mungkin. tapi aku tetap ingin mencari tahu sendiri. aku tidak ingin bang Raka menghadapi ini sendirian, Da"
alda tersenyum tipis, lalu menggenggam tangan Rama dengan lembut. "kalau kamu butuh bantuan, aku ada."
Rama tersenyum kecil, merasa sedikit lebih tenang. "terima kasih, Da."
mereka pun akhirnya melanjutkan perbincangan dengan lebih santai, meski pikiran Rama masih dipenuhi berbagai pertanyaan tentang Raka dan Risa. sesuatu jelas sedang terjadi, dan ia bertekad untuk mencari tahu apa itu.