Allea, yang biasa dipanggil Lea adalah seorang siswi kelas 3 SMA. Awalnya dia bukan anak nakal, dia hanya anak manja yang selalu dapat kasih sayang kedua orangtuanya. Dia berasal dari keluarga kaya raya. Namun tak ada yang abadi, keluarga cemaranya hancur. Ayah dan ibunya bercerai, dan dia sendirian. Sepertinya hanya dia yang ditinggalkan, ayah—ibunya punya keluarga baru. Dan dia? Tetap sendiri..
Hingga suatu ketika, secara kebetulan dia bertemu dengan seorang pria yang hampir seumuran dengan ayahnya. Untuk seorang siswi sepertinya, pria itu pantasnya dia panggil dengan sebutan om, Om Davendra.
Dia serasa hidup, dia serasa kembali bernyawa begitu mengenal pria itu. Tanpa dia sadari dia telah jauh, dia terlalu jauh mendambakan kasih sayang yang seharusnya tidak dia terima dari pria itu.
Lantas bagaimana dia akan kembali, bagaimana mungkin ia bisa melepaskan kasih sayang yang telah lama hilang itu...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyaliaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16
Beep! Beep! Beep!
Alarm berbunyi nyaring, menusuk telinga Allea yang masih tenggelam dalam kantuk. Matanya terasa berat, kepalanya rasanya berdenyut. Ia baru tidur pukul empat subuh, dan sekarang jarum jam menunjukkan pukul tujuh pagi. Allea tidur tidak lebih dari tiga jam.
Rasa malas melingkupinya, ia meraba-raba ponselnya dan mematikan alarm itu sebelum menarik selimut, berniat ingin tidur lagi.
"Aku masih ngantuk," gumamnya pelan.
Tidak, pertemuan itu. Ingatan tentang percakapan semalam membuat Allea terbangun seketika. Ia langsung duduk, menatap jendela dengan mata yang menyipit. Cahaya matahari pagi menerangi kamarnya dengan lembut, menerobos masuk melalui celah-celah tirainya.
Allea menghela napas panjang sebelum akhirnya menyeret tubuhnya turun dari kasur dan berjalan ke kamar mandi. Cermin wastafel disana menampakkan wajahnya yang tampak kusut. Mata sembab dan kulit pucat karena kurang tidur.
Ia mencuci muka, membiarkan air dingin menyegarkan wajahnya, tapi tetap saja—perasaan tidak nyaman masih bersarang dalam dirinya. Tiga jam lagi. Ia masih punya cukup waktu sebelum bertemu dengan Davendra.
Allea menuruni anak tangga perlahan, rambutnya yang ada di dekat wajahnya masih menyisakan bulir air. Dia berjalan ke dapur dengan piyama biru laut dan sandal bulu kelinci yang imut, tapi begitu dia sampai di dapur, suasananya begitu sepi. Terlalu sepi.
"Bi Len kemana ya, tumben belum ada jam segini." Allea duduk di meja makan, tangannya bertumpu di atas meja, menatap kosong ke sekelilingnya.
Biasanya, pagi-pagi seperti ini, Bi Len sudah sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Tapi kali ini, tidak ada suara wajan yang beradu atau aroma masakan yang menguar. Bahkan ia tak melihat keberadaan siapapun selain dirinya disana.
Beberapa menit berlalu dalam kesunyian sebelum suara pintu terbuka, disusul langkah yang tergesa-gesa. Bi Len muncul dari arah pintu belakang, membawa keranjang belanjaan di kedua tangannya.
“Oh, Nona sudah bangun,” ucap Bi Len ramah. “Tadi pasarnya ramai sekali, jadinya lama. Nona ingin sarapan apa?” Bi Len bertanya sambil mengeluarkan bahan makanan satu persatu dari tas belanja.
Allea tersenyum kecil. “Apa saja Bi, yang simpel.”
Bi Len mengangguk dan mulai menyiapkan makanan. Sementara itu, Allea mengambil segelas air dan meneguknya pelan.
“Nona ingin pergi hari ini?” tanya Bi Len sambil melirik Allea.
Allea mengangguk. “Ya, aku mau keluar sebentar.”
“Hoo, Nona ada janji dengan seseorang, ya?" goda Bi Len.
Allea hanya tersenyum tipis, namun tiba-tiba ia langsung terdiam. Dia baru menyadari sesuatu—dia tidak tahu akan pergi kemana. Semalam —Davendra hanya menyebut jam nya saja tanpa menyebut tempat.
Tanpa menjawab pertanyaan Bi Len, Allea buru-buru naik ke kamarnya. Ia mengambil ponsel, namun begitu dia membuka kunci layar. Allea termenung, kenapa ia menjadi antusias untuk bertemu dengan pria itu. Padahal semalam pria itu mematikan telepon secara mendadak.
"Huft," gadis itu mendengus. Jarinya menari-nari di atas layar ponsel tanpa menyentuhnya. Dan akhirnya dia memutuskan untuk menghubungi pria itu. Allea mencari kontak Davendra.
Dering pertama berlalu. Kemudian kedua. Hingga akhirnya panggilan itu dijawab.
“Halo?” seseorang menjawab, tapi bukan suara Davendra yang terdengar. Suaranya lembut dan ramah, membuat jantung Allea berdetak cepat tak karuan.
"Tante Monica?" batin Allea.
Istri Davendra. Tenggorokan Allea terasa tercekat. Ia ingin menutup telepon sesegera mungkin, tapi sebelum sempat melakukannya, suara wanita itu kembali terdengar.
“Lea?”
Mendengar namanya disebut, Allea membeku. Ternyata wanita itu tahu dia yang menelpon, bagaimana ini. Dia harus menjawab apa—apa yang harus dia lakukan. Tidak. Ia tak sanggup untuk menjawabnya.
Tutt. Allea mengakhiri panggilannya. Allea semakin membisu. Ia menggenggam erat ponselnya, mencoba memahami situasi yang akan terjadi. Jantungnya masih berdetak begitu cepat hingga membuat tubuhnya gemetar.
Kring. Kring..
Ponselnya tiba-tiba berdering. Om Dav.
Tidak. Dia tak punya keberanian untuk menjawabnya. Allea membalikkan ponselnya dan meletakkannya di atas meja dekat lampu tidurnya yang masih menyala.
Dengan tergesa-gesa, Allea masuk ke kamar mandi, menyalakan shower dan membiarkan air mengalir membasahinya. Berharap bisa membuat dirinya menjadi lebih tenang, berharap demikian.
Hampir setengah jam, Allea akhirnya keluar dari kamar mandi dengan handuk abu-abu melekat di tubuhnya. Bulir air dari rambutnya yang basah jatuh ke lantai sebelum ia membalut rambutnya dengan handuk.
Gerakannya ragu, lambat dan penuh kebimbangan. Allea meraih ponselnya lama.
[5 pesan belum dibaca dan 2 panggilan tak terjawab]
Om Dav :
1 Panggilan tak terjawab
[Kenapa tak di angkat lagi?]
[Om tadi di kamar mandi]
[Oh iya, nanti Om jemput ya. Monica memaksa agar kita berangkat bersama aja]
1 Panggilan tak terjawab
[Sayang?]
[Tidur lagi?]
Pesan itu diterima sepuluh menit yang lalu. Allea lagi-lagi mendengus dan mengernyit, kepalanya yang sudah mulai mendingin kembali memanas. Dipaksa untuk kembali bekerja dan mengambil keputusan.
"Jadi istrinya tahu kami akan bertemu? Dan ingin kami berangkat bersama?? Tunggu apa ini sekarang.."
Dia menjadi semakin bingung, jadi sebenarnya mereka akan pergi kemana, kenapa istrinya biasa saja dan tidak ada hal yang menegangkan..
Kring.. Kring..
"Oh Tuhan, jantungku.," latah Allea terkejut ponselnya tiba-tiba berdering dan hampir terlepas dari tangannya yang masih lembab. Davendra menelpon.
"Ini siapa yang menelpon?" batin Allea ragu. Meskipun ragu dia tetap menjawabnya. Diam.
"Sayang, kenapa baru diangkat?"
"Ini.. Om, kan?"
"Ya, siapa lagi." Allea bisa mendengar tawa kecil dari nada suara pria itu.
"Emmm.. Tadi itu—"
"Ah tadi ya, kau pasti terkejut. Tadi Om mandi, jadi Monica yang angkat telponnya."
"Tapi Om, apa tante Monica tahu?" tanyanya lagi memastikan. Dia sungguh perlu penjelasan tentang apa yang terjadi, entah itu sekarang atau tentang yang semalam.
"Tentang apa? Hari ini? Tentu saja dia tahu, kita ke Mall, dia dan Deon juga ikut. Kita akan berbelanja hari ini." jawab pria itu se-sederhana mungkin agar bisa dipahami dengan cepat oleh Allea.
"Emmmm.. Jadi yang dikatakan Deon benar ya, apa ini semacam persiapan untuk pergi kesana? Tapi Om.. Kenapa harus AS?" rengek Allea berasa seperti sebuah pengaduan yang manja.
"Kau yang memilihnya, ayahmu menerima formulir kuliahmu dari guru BK."
Mendengar jawaban Davendra, Allea kembali mengingat. Dia memang memilih AS, tapi itu hanya keputusan serabutan yang tiba-tiba terlintas di kepalanya saat mengisi formulir yang di bagikan. Dia bahkan mengisinya hanya karena tak sengaja melihatnya sekilas di internet. Tapi dia tak keberatan jika kuliah disana.
"Tapi Deon? Kalian bertemu?" pria itu kembali bertanya saat Allea belum menjawab.
"Tidak. Dia hanya mengirim pesan semalam."
"Oh, begitu ya," suaranya agak berubah. Allea bisa mendengar perubahan nada dari pantulan suara pria itu di telepon. "Ya sudah bersiap lah lagi," lanjutnya.
Panggilan terputus, begitu Allea berdeham menuruti ucapan pria itu.
Allea menatap layar ponselnya dengan ekspresi lega, mendengar ucapan Davendra sepertinya wanita itu tidak tahu tentang hubungan mereka. Tapi tetap saja, dada nya masih was was tentang takut akan terungkap. Secara tiba-tiba.
"Hanya sampai aku pergi, tahanlah Lea. Begitu pergi, semuanya sudah berakhir." batin Lea meyakinkan dirinya untuk tetap tenang.
...----------------...