Menikah adalah cita-cita setiap wanita. Apalagi, ketika menikah dengan laki-laki yang begitu didamba dan dicintai.
Namun apa jadinya, ketika dihari pernikahan itu di gelar, justru mendapat kabar dari pihak mempelai laki-laki. Tentang pembatalan pernikahan?
Hal itulah yang tengah dialami oleh Tsamara Asyifa. Gadis yang berusia 25 tahun, dan sudah ingin sekali menikah.
Apakah alasan yang membuat pihak laki-laki memutuskan pernikahan tersebut?
Lalu, apakah yang Syifa lakukan ketika mendengar kabar buruk itu?
Akankah ia mengemis cinta pada laki-laki yang sangat ia cintai itu? Atau justru menerima takdirnya dengan lapang dada.
Hari pernikahan adalah hari yang begitu istimewa.
Tapi apa jadinya, jika di hari itu justru pihak laki-laki membatalkan pernikahan? Tanpa diketahui apa sebabnya.
Hal itulah yang di alami oleh Tsamara Asyifa.
Akankah ia akan mengemis cinta pada laki-laki yang sangat ia cintai itu, untuk tidak membatalkan pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ipah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Dilanda penasaran
Di tempat lain, pak Anwar dan Anggara pulang, dari menghadiri suatu acara di rumah salah satu rekan kerjanya.
Kebetulan mereka melintas di kawasan tempat tinggal, Tsamara. Terlintas dibenak Anwar untuk memastikan keadaan rumah mantan calon besannya, dengan melewati depan rumahnya.
Anggara yang duduk disampingnya, seketika menganggukkan kepalanya, setuju. Ia membelokkan mobilnya menuju ke rumah yang di maksud.
Setelah sampai, Anggara memarkirkan mobilnya tepat di depan rumah, pak Abas. Lalu keduanya memperhatikan rumah itu dari balik mobil.
Rumah megah itu, keadaannya memang tampak lengang. Hanya ada seorang security yang sedang duduk santai di pos nya sambil memainkan handphonenya.
"Pa, kemana penghuninya ya. Kok terlihat sepi sekali."
"Ya mana papa tahu. Tanya saja sama security nya. Tujuan papa lewat sini kan karena ingin melihat-lihat saja. Akhirnya di antara teman-teman papa sekolah dulu, hanya papa yang paling kaya."
"Iya, betul itu, pa. Anggara setuju kalau papa yang paling kaya di antara teman-teman. Kalau begitu, bagi duit dong, pa. Transfer ke rekening Angga sekarang ya."
Pak Anwar menoleh menatap anaknya, lalu menoyor kepalanya.
"Dasar, anak mata duitan."
"Yah, papa. Gitu saja marah." Anggara mengusap kepalanya sambil mengerucutkan bibirnya.
"Lhololoh, papa mau kemana? Kok pakai masker segala?"
Anggara melihat papanya yang turun dari mobil. Ia pun segera mengikutinya, tak lupa ia juga mengenakan masker. Walaupun tak tahu fungsinya untuk apa.
"Pak, mau tanya." ucap pak Anwar sambil menekan bel yang ada di samping pagar teralis yang tinggi menjulang itu.
Security yang menyadari kehadiran seseorang di balik pagar, dengan tergopoh-gopoh mendekat.
"Ada apa, pak?" tanya security itu sambil memicingkan matanya.
"Kemana penghuni rumah ini? Kenapa terlihat sepi sekali?"
"Hei, pak. Yang anda cari itu siapa? Kenapa tanyanya tidak sopan begitu?" balas security bernada tidak enak.
"Huh. Kamu cuma jadi security saja, belagu sekali sih? Ditanya baik-baik, jawabannya malah seperti itu."
"Tapi pak, pertanyaan yang anda ajukan itu salah. Makanya saya juga jadi malas menjawabnya."
"Okay-okay. Apa pak Abas ada di rumah, tidak? Aku ingin bertemu dengannya."
"Lhoh, pa. Ketemu dengannya mau ngapain? Bukannya tadi cuma mau lihat-lihat keadaan rumahnya saja." seloroh Anggara, sambil mengernyit heran ke arah papanya. Pak Anwar kembali menoyor kepala anaknya yang di anggap dungu itu.
"Pak Abas itu adalah pemilik lama rumah ini, pak. Dia sudah pindah ke rumah kontrakan yang tak jauh dari sini. Karena sekarang rumahnya sudah di beli oleh pak Akbar."
"Di mana alamat kontrakannya, saya ingin bertemu dengannya."
"Kalau tidak salah, alamat rumahnya, jalan Watu Urip no 1, pak."
Pak Anwar manggut-manggut sambil menyunggingkan senyum sinis. Ia segera berlalu menuju mobilnya, diikuti Anggara yang kebingungan.
Sedangkan security itu menggelengkan kepalanya. Ia heran melihat kelakuan kedua orang itu yang tidak bisa mengucapkan terima kasih.
"Pa, maksudnya apa sih. Bukannya tadi cuma ingin lihat-lihat saja. Kenapa berubah haluan, jadi ingin bertemu dengan om Abas?" tanya Anggara ketika keduanya sudah masuk ke dalam mobil.
"Kamu bodoh kok di pelihara sih. Tadi itu papa cuma sekedar alasan. Kalau pun kebetulan berpapasan dengan Abas, ya tidak apa-apa. Eh, kita cek seperti apa rumahnya Abas yuk." ajak Anwar dengan semangat.
"Boleh deh, pa." Anggara pun segera memutar balik mobilnya, menuju ke alamat rumah Tsamara yang baru.
**
"Kakak, dapat uang gaji?" ulang Soffin dengan dahi yang mengernyit. Tsamara pun menyeruput es nya sambil menganggukkan kepalanya.
"Dari mana? Kakak kan ngga kerja? Dikasih papa mungkin." Soffin menatap kakaknya dengan tidak percaya.
"Kakak menulis, Sof. Awalnya kakak juga cuma iseng, tapi ternyata menghasilkan. Lumayan lah, bisa buat beli obat diet dari kak Thoriq." kekeh Tsamara di ujung kalimatnya.
"Menulis apa sih, kak? Soffin jadi penasaran. Jelaskan dong. Soffin juga mau kalau kerjanya gampang, tapi bisa dapat uang."
"Untuk sekarang, kamu belajar saja dulu. Harus fokus. Kalau saat liburan nanti, mungkin kakak bisa ajarin kamu."
"Janji, ya kak." Tsamara mengangguk antusias.
Keduanya pun segera menghabiskan minumannya, lalu segera beranjak dari tempat itu, setelah membayarnya.
Perut telah terisi es, membuatnya kembali bertenaga. Tsamara mengayuh sepedanya dengan kencang.
Sepanjang perjalanan, keduanya terus bercerita. Terkadang keduanya terkekeh bersamaan, karena salah satu dari mereka melempar canda, atau ada hal-hal yang mengusik hati keduanya.
Sampai akhirnya, keduanya sudah sampai rumah. Soffin turun dari sepeda, untuk membukakan pintu gerbang untuk kakaknya.
Tak lama kemudian, terlihat mobil hitam yang juga berhenti di dekat rumah kontrakan Tsamara.
"Pa, lihat itu." seru laki-laki yang berada di dalam mobil. Yang tak lain adalah Anggara.