Kecelakaan besar yang disengaja, membuat Yura Afseen meninggal dunia. Akan tetapi, Yura mendapat kesempatan kedua untuk hidup kembali dan membalas dendam atas perbuatan ibu tiri beserta adik tirinya.
Yura hidup kembali pada 10 tahun yang lalu. Dia pun berencana untuk mengubah semua tragedi memilukan selama 10 tahun ke belakang.
Akankah misinya berhasil? Lalu, bagaimana Yura membalas dendam atas semua penindasan yang ia terima selama ini? Yuk, ikuti kisahnya hanya di noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sensen_se., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 : TERKEJUT BERTUBI-TUBI
"Maaf, Tuan. Ini tidak bisa langsung jadi hari ini. Sebentar lagi kami tutup, jadi besok baru bisa kami tangani. Jika kerusakan tidak parah pasti langsung bisa jadi. Namun, jika kerusakan di atas 50%, tentunya kami butuh waktu untuk memperbaiki," tutur seorang karyawan di sebuah toko elektronik yang cukup besar.
"Baiklah, tolong hubungi saya kalau sudah jadi! Usahakan jangan ada file yang hilang. Takutnya anak saya kesulitan mencari tugasnya," balas Rehan.
Karyawan tersebut membuatkan sebuah nota, yang berisi keterangan tipe, merk dan kerusakan pada laptop Yura. Lalu menyodorkannya pada Rehan, "Silakan, Tuan. Kami akan menghubungi Anda segera," ucapnya dengan ramah.
"Terima kasih."
Rehan tidak langsung pulang ke rumah. Melainkan memasuki sebuah restoran dan memilih mengisi perutnya tak jauh dari sana. Kebetulan restoran tersebut merupakan langganan keluarga mereka dulu.
Baru memasukinya saja, ia terbayang akan senyum dan tawa Yura. Matanya terrpejam sesaat, segera mencari tempat duduk. Rehan mengeluarkan ponselnya, mencari kontak Yura dan memperhatikan foto profilnya lamat-lamat.
Rasa sesal yang meremas hatinya, membuat Rehan tak kuasa berdiam diri. Ia menekan panggilan pada anak gadisnya. Menunggu beberapa saat, panggilan itu tersambung. Namun keningnya mengernyit saat suara lelaki yang menyahut di ujung telepon.
"Di mana putriku?" sentak Rehan mengundang perhatian semua orang.
\=\=\=\=000\=\=\=\=
Netra Yura membelalak lebar, “Ja ... jadi, yang nyerang tadi adalah komplotan mereka?” tanya Yura menautkan kejadian yang baru saja terjadi.
“Heemm,” sahut Zefon dengan pelan.
Seluruh persendian Yura serasa lemas. Tak habis pikir, bagaimana bisa hidupnya berubah penuh ketegangan seperti ini. Ia merasa seolah masuk ke dunia lain yang belum pernah ia ketahui sebelumnya.
“Istirahatlah. Wajahmu pucat seperti mayat hidup!” ketus lelaki itu beranjak berdiri.
“Eh, tunggu, Tuan!” Yura menarik ujung kemeja Zefon yang sudah berantakan sedari tadi.
Tubuh Yura mendadak limbung ke belakang, hingga Zefon pun segera berbalik dan menahan kedua tangan di samping Yura yang ambruk di ranjang.
“Astaga, Zefon! Apa yang kamu lakukan!" lengkingan penuh amarah terdengar menggelegar.
DEG!
Suara yang sangat familier di telinga lelaki itu. Matanya yang saling beradu dengan Yura kini mendelik. Buru-buru mereka beranjak berdiri dengan panik.
“Ma ... mama! Kapan pulang? Ah, kapan datang?” tanya lelaki itu gugup luar biasa.
Apalagi tatapan tajam manik biru sang mama begitu menusuk relung hatinya. Bahu kokoh pria itu menegang dengan sempurna, ia paling takut akan amarah sang mama.
Sedangkan Yura sama sekali tidak berani menampakkan tubuhnya. Ia bersembunyi di balik punggung lebar Zefon, sembari menggumamkan segala doa. Meski tidak tahu siapa wanita paruh baya yang masih sangat cantik dan elegan itu, perasaan Yura mendadak tidak enak.
“Ma, ini enggak seperti yang mama lihat,” ucap Zefon mendekati sang mama dan menyentuh kedua bahunya.
Cheryl mendongak, deru napasnya yang sangat kasar menandakan ia benar-benar marah. Salah satu larangan besarnya dilakukan oleh putranya, bahkan kini di depan mata kepalanya sendiri.
“Plak!”
Tamparan yang sangat keras, menghunjam sebelah pipi Zefon. “Kamu melupakan peringatan Mama, Ze?” tegas wanita itu penuh penekanan. Meski usianya tak lagi muda, tenaganya tidak bisa diragukan.
“Tidak, Ma. Ini salah paham. Zefon bersumpah tidak melakukan apa pun padanya!” ucap lelaki itu menaikkan kedua jarinya.
Yura terperanjat melihatnya. Ia sama sekali tidak mengerti ada kejadian apa antara ibu dan anak itu. Namun, seketika panik ketika sebuah tamparan mendarat di pipi Zefon, Yura tidak bisa tinggal diam. Gadis itu menggeser tubuhnya, hingga terlihat jelas wanita yang sedari tadi memekik penuh emosi.
“Maaf, Ibu, Tante ah Nyonya! Kami memang tidak melakukan apa-apa,” tutur Yura membela Zefon. Karena memang sepertinya ada hal yang harus diluruskan.
Netra biru nan indah itu membeliak sempurna ketika memindai tubuh Yura dari ujung kepala hingga ujung kaki, mulutnya menganga dengan lebar. “Zefon!” pekiknya memberi pukulan telak di perut kerasnya.
“Kurang ajar! Kamu kenapa jadi pedofil, hah?” umpat wanita itu mendorong dada Zefon hingga mundur beberapa langkah.
Mendengar teriakan istrinya, Jourrel segera berlari menghampiri. Terkejut ketika melihat istrinya hampir menyerang putranya, “Sayang!” teriaknya melingkarkan kedua lengannya di perut Cheryl, lalu menariknya agar menjauh dari Zefon.
“Lepasin aku, Jou! Dia kurang ajar! Minta dipotong kupingnya karena enggak dengerin ucapanku. Berkali-kali aku ingatkan jangan pernah merusak anak gadis orang, ini malah anak kecil digodain. Sini kamu! Anak kurang ajar!” cerocos Cheryl tiada henti. Wajahnya sepenuhnya berubah merah saking marahnya.
Jourrel beralih menatap putranya yang menggeleng, kemudian berpindah pada gadis di sebelahnya yang takut sekaligus panik akan kekacauan yang terjadi.
“Tenang dulu, kita bicarakan baik-baik,” gumam Jourrel menciumi pipi istrinya. Kedua tangannya semakin erat melingkar di perut wanita itu.
“Enggak bisa, Jou! Aku enggak mau apa yang dialami mama dulu dilakukan oleh anak kita! Dia harus diberi pelajaran. Sini kamu, Ze!” teriak Cheryl memberontak.
Belum hilang sepenuhnya akan keterkejutan kejadian tadi, ditambah teriakan-teriakan Cheryl yang bahkan tidak ditujukan untuknya, membuat Yura tak sanggup menopang tubuhnya lagi, ia terjatuh berdebam di lantai dan tak sadarkan diri.
“Yura!” seru Zefon terkejut segera membawa gadis itu ke atas ranjang.
Barulah Cheryl berhenti mengumpat dan berteriak, ia melepas lilitan tangan suaminya dan segera berlari ke tepian ranjang. “Yaampun dia kenapa?” tanya Cheryl khawatir menggenggam jemari Yura yang terasa dingin.
Bersambung~