Hanya karena ingin membalas budi kepada Abram, lelaki yang telah menolongnya, Gisela memaksa menjadi istri lelaki itu meskipun ia harus mendapat perlakuan kasar dari Abram maupun mertuanya. Ia tetap bersabar.
Waktu terus berlalu, Gisela mengembuskan napas lega saat Abram mengajak tinggal di rumah berbeda dengan mertuanya. Gisela pikir kehidupan mereka akan lebih baik lagi. Namun, ternyata salah. Bak keluar dari kandang macan dan masuk ke kandang singa, Gisela justru harus tinggal seatap dengan kekasih suaminya. Yang membuat Gisela makin terluka adalah Abram yang justru tidur sekamar dengan sang kekasih, bukan dengannya.
Akankah Gisela akan tetap bertahan demi kata balas budi? Atau dia akan menyerah dan lebih memilih pergi? Apalagi ada sosok Dirga, masa lalu Gisela, yang selalu menjaga wanita itu meskipun secara diam-diam.
Simak kisahnya di sini 🤗 jangan lupa selalu dukung karya Othor Kalem Fenomenal ini 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AMM 26
"Maafkan Abram, Ma. Tapi Abram melakukan ini atas dasar cinta. Bukankah sejak dulu Mama sudah tahu kalau aku dan Stev saling mencintai meskipun harus menjalani hubungan diam-diam. Aku tidak tahu kenapa Mama tidak pernah memberi restu," kata Abram. Tidak peduli meskipun Farah sudah melayangkan tatapan tidak suka padanya.
"Aku juga minta maaf, Tante. Tapi semua tidak bisa dikendalikan begitu saja. Aku dan Mas Abram saling mencintai. Semua sudah terlanjur dan aku juga tidak mungkin menggugurkan kandungan ini." Stevani ikut berbicara.
"Sudahlah. Lebih baik kalian menikah secara agama dulu. Mama tidak mau ada berita buruk di luar sana. Seorang pengusaha muda menikah lagi ketika baru saja bercerai dari istrinya. Jika sampai ada kabar seperti itu. Mama yakin citra keluarga kita akan buruk." Farah berbicara panjang lebar.
"Baik, Ma."
"Mama sangat kecewa padamu, Bram." Farah berbicara lirih.
Abram dan Stevani pun hanya bisa mengiyakan saja. Lebih baik menikah secara agama daripada tidak sama sekali. Begitulah pikirnya.
Tanpa menunggu lama, pernikahan itu pun berlangsung sore hari karena tidak mungkin akan menundanya lagi. Setelah itu, Abram langsung mengajak Stevani tinggal di rumah pribadi. Berjaga-jaga agar Farah tidak melukai Stevani entah lahir maupun batin. Abram khawatir Farah akan bersikap seperti kepada Gisela dulu.
"Buatkan aku kopi. Aku ingin sekali minum kopi," perintah Abram.
Stevani yang saat itu sedang sibuk bermain dengan ponsel pun hanya melirik sekilas lalu kembali fokus pada benda pipih yang dipegangnya.
"Buat saja sendiri." Stevani berbicara ketus. "Aku lagi sibuk. Lagi pula, kamu lihat 'kan aku ini masih lemas karena sedang hamil."
Abram pun hanya bisa mendes*h kasar lalu berjalan ke dapur. Ia lebih memilih untuk membuat kopi sendiri daripada harus berdebat dengan Stevani. Setelah meracik dan menyeduh air panas, Abram pun terdiam saat sedang mengaduk kopi tersebut. Entah mengapa, tiba-tiba bayangan Gisela muncul dan ia merasa rindu kepada wanita itu.
"Sialan!" umpat Abram. Meletakkan sendok secara kasar dan bergegas pergi. Ia tidak ingin terus dihantui bayangan Gisela. Ketika keluar dari dapur, Abram justru dibuat terkejut melihat Stevani yang sudah berdandan rapi.
"Kamu mau ke mana, Stev?" tanya Abram terheran. Kening lelaki itu terlihat mengerut dalam saat melihat penampilan Stevani.
"Aku harus pergi sebentar, Mas. Tidak akan lama. Aku pergi dulu." Stevani tanpa malu mencium pipi dan bibir Abram lalu beranjak pergi dari sana.
Abram yang merasa curiga pun hendak menyusul. Akan tetapi, langkahnya terhenti saat mendengar ponsel berdering dan melihat nama anak buahnya tertera di layar. Dengan segera Abram pun menerima panggilan tersebut.
"Ada apa?" Abram berbicara sembari melangkah keluar, tetapi ia sudah tidak lagi melihat keberadaan Stevani. Wanita itu sudah menghilang entah ke mana.
"Tuan, Nona Gisela sekarang sedang di luar negeri."
"Lalu?" balas Abram cepat. ia merasa itu bukanlah hal penting yang harus didengarnya. Cukup lama Abram menunggu, tetapi tidak ada sahutan sama sekali. "Kalau hanya itu yang akan kamu bicarakan maka jangan hubungi aku. Tidak penting hal seperti itu kalian adukan!"
"Maaf, Tuan. Saya pikir Anda ingin tahu di mana keberadaan Nona Gisel," kata lelaki di seberang telepon. Abram pun hanya terdiam. Ia memang ingin mendengar tentang Gisela, tetapi untuk saat ini hal yang paling penting adalah kepergian Stevani.
"Kalau tidak ada hal penting lagi, lebih baik aku matikan panggilan—"
"Tunggu dulu, Tuan."
"Apalagi?" Abram mulai sewot.
"Em, kita juga punya informasi tentang Nona Stevani yang harus Anda ketahui."