Firda Humaira dijual oleh pamannya yang kejam kepada seorang pria kaya raya demi mendapatkan uang.
Firda mengira dia hanya akan dijadikan pemuas nafsu. Namun, ternyata pria itu justru menikahinya. Sejak saat itu seluruh aspek hidupnya berada di bawah kendali pria itu. Dia terkekang di rumah megah itu seperti seekor burung yang terkurung di sangkar emas.
Suaminya memang tidak pernah menyiksa fisiknya. Namun, di balik itu suaminya selalu membuat batinnya tertekan karena rasa tak berdaya menghadapi suaminya yang memiliki kekuasaan penuh atas hubungan ini.
Saat dia ingin menyerah, sepasang bayi kembar justru hadir dalam perutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QurratiAini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sembilan belas
Firda menggigit bibir, merasa bingung. Dia tidak tahu apa yang harus diminta. “Aku... nggak tahu, Tuan,” jawabnya jujur.
Abraham menyandarkan tubuhnya, matanya tak lepas dari wajah Firda yang terlihat bingung dan canggung. “Kamu tidak tahu? Apa kamu tidak punya makanan favorit?”
Firda menggelengkan kepala perlahan. Hidupnya bersama paman dan bibinya selama ini tak memberinya pilihan. Makanan sisa sering kali menjadi hal terbaik yang bisa dia dapatkan.
Abraham menghela napas panjang. “Baik, makan saja apa yang sudah tersedia di meja ini. Aku akan memastikan kamu makan dengan baik mulai sekarang.”
Firda hanya bisa mengangguk patuh. Dia mulai mengambil sedikit makanan di piringnya, tetapi gerakannya sangat pelan, seolah takut membuat kesalahan.
Abraham memperhatikan setiap gerakannya dengan saksama. Mata pria itu menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar perhatian—ada obsesi di sana, keinginan untuk memastikan gadis itu sepenuhnya dalam kendalinya.
“Kamu tinggal di sini sekarang, Firda. Tidak ada yang boleh menyakitimu lagi. Itu termasuk kamu sendiri. Aku tidak akan membiarkanmu kelaparan atau lemas seperti ini lagi. Mengerti?”
Firda menunduk, menyembunyikan ketakutannya. “I-iya, Tuan.”
Senyum tipis muncul di wajah Abraham, tetapi itu bukan senyum ramah. Itu adalah senyum seorang pria yang tahu dirinya memegang kendali penuh.
“Bagus. Sekarang makanlah. Aku tidak akan meninggalkan ruangan ini sampai kamu selesai.”
Kata-kata itu lebih terasa seperti perintah daripada ajakan. Firda tahu dia tidak punya pilihan selain mematuhi, meskipun setiap suap makanan terasa berat di bawah tatapan tajam pria itu.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Firda merasakan perhatian yang berbeda—bukan perhatian yang tulus, tetapi perhatian yang penuh dengan obsesi. Dan dia tahu, hidupnya bersama Abraham tidak akan pernah sama lagi.
***
"Bersiaplah, setelah aku pulang bekerja nanti malam, aku akan membawamu menemui keluargaku di kediaman keluarga Handoko. Kita akan segera menikah dan aku perlu memperkenalkanmu sebagai calon istriku."
Di pagi hari yang cerah saat matahari bersinar indah dari ufuk timur, Firda yang baru saja bangun dari tidur nyenyaknya tiba-tiba saja langsung dikagetkan dengan ucapan Tuan Abraham.
Dan di sinilah Firda sekarang berada, duduk tegak di kursi mobil Abraham, dengan kedua tangan yang gemetar diletakkan di pangkuannya. Setiap detik terasa begitu berat, dan dadanya penuh dengan kegelisahan. Pandangannya menatap lurus ke depan, tetapi pikirannya melayang jauh, jauh dari kediaman keluarga Handoko yang akan mereka tuju.
Kediaman keluarga Handoko jauh lebih mewah dan megah dibandingkan mansion milik Abraham, sebuah rumah bak istana yang dikelilingi taman yang luas. Firda bahkan belum pernah membayangkan akan ada di tempat seperti itu karena mansion Tuan Abraham saja sudah terlampau mewah bagi gadis miskin sepertinya.
Sebagai seorang gadis yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh siksaan dan pengabaian, segala hal tentang dunia Abraham terasa asing, bahkan menakutkan. Ia merasa seperti seorang gadis kecil yang terlempar ke dalam dunia orang kaya, yang penuh dengan kebesaran dan aturan yang tidak pernah ia pahami.
Hatinya berdebar kencang. Abraham, yang duduk dengan tenang di sebelahnya, tampak tidak menunjukkan tanda-tanda kegelisahan. Namun, Firda bisa merasakan perbedaannya. Abraham tidak takut dengan apa pun. Firda menundukkan kepala, mencoba menenangkan pikirannya, tetapi bayangan tentang pertemuan yang akan datang antara dirinya dengan keluarga pria itu membuat hatinya semakin kacau.
Apa yang akan ia katakan kepada orang tua Abraham? Apa yang mereka pikirkan tentang dirinya, gadis biasa yang tak punya apa-apa? Apa mereka akan menerima dirinya begitu saja? Firda merasa dirinya begitu rendah, begitu hina jika dibandingkan dengan keluarga Abraham yang kaya raya itu.
"Sshh...." Tubuh ringkih Firda tersentak kala merasakan sentuhan lembut di punggung tangannya. Ia segera menoleh ke arah pelaku secara refleks.
"Tenangkan dirimu, Firda," ucap Tuan Abraham, lalu setelah itu ia menoleh ke arah Firda hingga tatapan mata mereka berdua bertemu secara tak sengaja.
Jangan kira Abraham hanya diam tanpa peka terhadap sekitar. Meski tanpa menoleh ke arah Firda secara terang-terangan, ia tetap memperhatikan gadis itu meski hanya melalui lirikan mata singkat.
Dan Abraham teramat menyadari gadisnya kini tengah dilanda gelisah. "Semuanya akan baik-baik saja,"tambahnya lagi berupaya menenangkan gadisnya. Tangan kekarnya pun spontan terjulur mengusap lembut punggung tangan gadisnya yang kini gemetaran tak terkendali.
Sekujur tubuh Firda seketika merinding. Gadis itu spontan menarik tangannya yang disentuh oleh Tuan Abraham sebagai bentuk perlindungan diri... Karena baginya hingga detik ini Tuan Abraham masih lah ia anggap sebagai pria asing.
Firda merasa... Saat ini orang yang paling harus dirinya waspadai adalah tuan Abraham. Firda merasa... Pria itu justru adalah sumber bahaya yang harus dirinya hindari.
"Maaf, ...." ungkap Firda saat menyadari tindakannya. Raut panik tercetak jelas di wajahnya, takut Tuan Abraham marah karena merasa tersinggung dengan penolakan yang dirinya lakukan kepada pria itu.
Namun, pria itu malah terlihat mengibaskan tangannya, seolah menenangkan Firda dengan mengatakan bahwa dirinya tak mempermasalahkan itu. Justru Abraham merasakan perasaan bangga di sudut hatinya karena calon istrinya itu sangat pandai menjaga diri dari lelaki asing.
"Tidak perlu minta maaf, kamu tidak salah," kata Abraham membuat Firda seketika merasa lega.
Saat mobil yang mereka tumpangi sampai di depan rumah besar keluarga Handoko, Firda merasa seolah-olah dunia berputar lebih cepat dari biasanya. Abraham dengan sigap membuka pintu mobil.
"Ayo masuk," ajaknya kepada gadisnya. Kali ini Abraham tidak menggandeng tangan gadis itu karena menyadari Firda tak nyaman dengan sentuhannya. Namun, Abraham pastikan dirinya akan membayar hal ini dengan menyentuh gadisnya sesuka hatinya setelah mereka menikah nanti. Lihat saja!
"Terima kasih, Tuan," kata Firda sambil menunduk, tak berani membalas tatapan mata pria itu yang sangat intens dan tajam memperhatikan dirinya.
Firda melangkah dengan kaki gemetar, matanya fokus ke lantai agar tak terlihat kebingungannya. Abraham berjalan di depan, sementara Firda mengikuti di belakang, langkahnya terasa seperti melayang di udara.
Ketika mereka sampai di ruang tamu, Firda merasa seperti seorang wanita asing yang tak diundang. Kedua orang tua Abraham sedang duduk di sofa, terlihat elegan dan penuh wibawa. Wajah mereka penuh perhatian, namun Firda bisa merasakan mata mereka yang tajam memandanginya dengan penilaian yang tak bisa ia baca.
Saat tatapan matanya bertemu dengan pasangan berusia lanjut itu, tiba-tiba tubuh Firda tersentak. Dalam sekejap itu juga, ia langsung teringat peristiwa lima tahun lalu.
Kilas Balik 5 Tahun Lalu
"Lepaskan aku! Kumohon!" Firda meronta, tetapi tangan kuat milik seorang pria gemuk berperut buncit terus mencengkram lengannya dengan kuat hingga ia merintih kesakitan dan tak mampu membebaskan diri.