Hasna berusaha menerima pernikahan dengan seorang laki-laki yang tidak pernah ia kenal. Bahkan pertemuan pertama, saat keduanya melangsungkan akad nikah. Tak ada perlakuan manis dan kata romantis.
"Ingat, kita menikah hanyalah karena permintaan konyol demi membalas budi. jadi jangan pernah campuri urusan saya."
_Rama Suryanata_
"Terlepas bagaimanapun perlakuanmu kepadaku. Pernikahan ini bukanlah pernikahan untuk dipermainkan. Kamu telah mengambil tanggung jawab atas hidupku dihadapan Allah."
_Hasna Ayudia_
Mampukah Hasna mempertahankan keutuhan rumah tangganya? Atau justru menyerah dengan keadaan?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ujungpena90, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Marissa tengah membereskan laporan yang akan diberikannya pada Rama, setelah sebelumnya dikirimkan lewat email pada asistennya. Ada beberapa hal yang perlu direvisi, dan telah dikerjakannya dengan baik.
Perhatian gadis itu teralihkan saat terdengar suara yang dirindukannya selama lebih dari satu minggu ini. Rama, laki-laki itu berjalan mendekat ke arah meja kerjanya, diikuti Ivan.
Terlihat bos dan asistennya itu tengah berbincang, dan kesempatan itu dipergunakan sekretaris cantik itu untuk sekedar merapikan penampilannya.
"Sempurna." Gumamnya saat melihat pantulan dirinya di cermin kecil yang selalu ia bawa.
Perempuan itu berdiri saat Rama dan Ivan berada di depan meja kerjanya. Memasang senyuman semanis mungkin agar Rama terpesona. Namun, laki-laki itu terus berlalu masuk ke dalam ruangannya. Seketika senyum manisnya memudar.
"Ehemm..." Deheman Ivan mengalihkan pandangan Marissa yang sebelumnya berpusat pada Rama.
"Tolong siapkan berkas yang saya minta kemarin, Pak Rama akan segera memeriksanya." Pinta Ivan.
"Baik, Pak."
Asisten Rama itu pun berlalu dan masuk kedalam ruangan Bos nya. Segera Marissa menyiapkan berkas laporan yang diminta oleh Ivan. Tak lupa membetulkan dress yang dikenakannya, karena ia akan segera memasuki ruangan Rama.
Tok...tok...tok...
"Masuk."
Marissa melangkah penuh percaya diri mendekat ke arah meja Rama. Suara gemelatuk heels miliknya berirama mengikuti gerak kaki jenjangnya.
"Selamat pagi, Pak. Ini dokumen yang anda minta."
Perempuan itu menyerahkan dokumen itu kepada Rama. Ini adalah salah satu hal yang paling disukainya. Mengantarkan dokumen atau sejenisnya, agar dapat menikmati wajah rupawan dihadapannya saat ini lebih dekat.
"Terima kasih, kamu boleh pergi." Ucap Rama setelah dokumen berpindah ke tangannya.
Sedikit kecewa, karena belum menuntaskan rasa rindunya pada atasannya itu. Tapi mau tidak mau ia harus segera pergi. Dia tidak ingin jika citranya buruk dihadapan Rama.
Ivan memperhatikan setiap gerak gerik sekretaris itu. Rupanya perempuan itu mencoba mengambil perhatian bos mereka. Tapi sepertinya tak ada sinyal ketertarikan yang ditunjukkan laki-laki yang tengah menekuri dokumen di tangannya itu.
Setelah membaca dan mempelajari isi dokumen ditangannya, sejenak Rama berdiskusi dengan asistennya. Walaupun statusnya hanya sebagai asisten, tapi Rama juga memposisikan Ivan sebagai penasehatnya. Ivan sudah menemaninya hampir selama enam tahun lamanya, semenjak bisnis mulai dirintisnya. Ivan adalah putra dari asisten pribadi Pak Andi dikantornya. Walaupun usianya lebih muda dari Rama, tapi kemampuannya tidak diragukan lagi.
***
Deru mesin mobil terdengar memasuki pekarangan rumah. Gegas Hasna membukakan pintu, menyambut kedatangan sang suami.
Senyuman manis tersungging manakala mendapati Rama keluar dari mobil. Tapi sepertinya dia tidak sendiri, melainkan bersama seorang laki-laki yang Hasna perkirakan usianya lebih muda dari suaminya.
"Assalamu'alaikum, Mas." Sapa Hasna.
"Wa'alaikumussalam." Jawab kedua lelaki itu serentak.
Ivan memandang Rama dan Hasna bergantian, seolah menanyakan siapakah perempuan yang menyambut kedatangan mereka. Terlebih rumah yang ditempati Rama saat ini adalah rumah yang dibelinya bulan lalu atas permintaan Rama.
Hasna hanya tersenyum dan mengangguk kecil saat Ivan melihat ke arahnya, karena Hasna tak berniat memperkenalkan dirinya. Rupanya Rama mengerti akan tatapan Ivan yang menyiratkan pertanyaan siapakah Hasna.
"Ehemm... Hasna, perkenalkan, ini Ivan." Ucap Rama.
Sekali lagi, perempuan itu mengangguk dan menyunggingkan senyuman. Ivan yang hendak mengulurkan tangan, mengurungkan niatnya. Karena terlebih dahulu Hasna menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada.
"Ivan, ini Hasna...." Rama menggantung kalimatnya dan menatap ke arah Hasna.
"Kerabat jauh dari Papa."
Senyuman di kedua sudut bibir Hasna perlahan memudar, seiring dengan kalimat yang dikatakan suaminya barusan. Rama memperkenalkan Hasna, sang istri sebagai kerabat jauh orang tuanya. Dan itu sukses membuat harga dirinya sebagai seorang istri terluka. Rasa sakitnya berkali-kali lipat dari pada saat dibentak dan diacuhkan oleh Rama. Lebih sakit dari saat membahas pernikahan dan juga anak semalam.
Sebegitu tidak berharganya kah dirinya? Apa justru ia bukanlah wanita yang diharapkan menjadi pendampingnya? Atau kemungkinan buruknya, Rama sudah bersiap untuk meninggalkan dirinya.
"Ayo masuk." Ajak Rama.
Ivan segera mengekorinya dari belakang. Sedangkan Hasna, perempuan itu berusaha agar tak ada yang menetes dari matanya yang mulai mengembun.
Di ruang tamu hanya ada Ivan, mungkin Rama sedang membersihkan diri di kamarnya.
"Pak Ivan, mau minum apa?" Tawar Hasna.
"Tidak perlu mbak Hasna, saya cuma sebentar. Hanya menunggu berkas dari Pak Rama." Tolaknya halus.
Tak lama, Rama pun turun dengan membawa map ditangannya. Sepertinya ia hanya ke atas tanpa bersih-bersih terlebih dahulu. Setelah mendapatkan berkas, Ivan pun segera pamit.
Kini tinggallah mereka berdua di ruang tamu. Tak mengatakan apapun, Hasna mulai beranjak dari tempatnya berdiri. Tapi langkahnya terhenti saat Rama berucap.
"Saya mau makan sekarang."
Tak ada alasan bagi Hasna untuk menolak. Ini sudah bagian dari kewajibannya sebagai seorang istri, melayani kebutuhan suami.
Suami? Hasna tersenyum miris saat menyematkan predikat suami pada Rama. Laki-laki yang telah mengambil tanggung jawab dari walinya, yang mengikrarkan janji suci pernikahan dihadapan Allah dan para saksi. Tapi menyebutnya hanya sebagai kerabat jauh mertuanya. Entah apa yang dipikirkan laki-laki itu.
Rupanya Rama langsung memposisikan dirinya di kursi meja makan. Menunggu Hasna mengambilkan makanan seperti yang biasa dilakukannya. Namun malam ini nampak berbeda. Tak ada senyuman yang biasanya selalu menghiasi bibir Hasna.
Setelah menyodorkan sepiring nasi dan pelengkapnya, Hasna mulai duduk ditempat ia biasanya makan. Perempuan itu diam tak mengatakan apapun, bahkan tak menyentuh makanan sedikitpun. Malam ini, ia hanya menemani suaminya makan, bukan makan malam bersama.
"Kamu tidak makan?" Tanya Rama, saat piring dihadapan Hasna tak berubah posisi.
"Mas Rama saja, aku tadi sudah makan." Dustanya.
Bagaimana mungkin ia bernafsu untuk makan, disaat hati dan pikirannya teramat kacau. Jangankan untuk menikmati makanan dihadapannya, berada didekat Rama untuk saat ini pun rasanya begitu menyiksa Hasna.
Hasna tetap diam pada posisinya, hingga Rama menyelesaikan makan malamnya seorang diri.
"Maaf, jika kamu tersinggung saat saya mengenalkan kamu sebagai kerabat jauh Papa. Saya hanya_"
"Tidak apa-apa. Seharusnya aku yang sadar posisi. Kita menikah hanya sebatas hutang budi. Jadi Mas Rama tak perlu merasa tidak enak padaku." Sahut Hasna sebelum Rama menyelesaikan kalimatnya
Sejenak Rama memperhatikan air muka istrinya. Nampak sekali mata itu memancarkan luka. Namun, Rama sungguh tidak siap jika mereka yang ada diluar sana mengetahui status pernikahannya dengan Hasna. Tak siap jika nantinya, saat dia sudah bisa menerima Hasna sebagai istrinya, justru ia akan ditinggalkan begitu saja. Hatinya masih sangat terluka oleh penghianatan di masa lalu.
"Jika tidak ada yang dibicarakan lagi, Hasna pamit mau istirahat."
Tanpa menunggu persetujuan Rama, Hasna segera bangkit dan melangkah menuju kamarnya.
Setelah kamar tertutup rapat, seketika tubuh perempuan itu luruh ke lantai bersamaan dengan buliran bening yang menerobos paksa di kedua matanya.
Hatinya teramat sakit. Ia masih berusaha menerima perlakuan Rama selama ini. Tapi bukan berarti hatinya tak merasakan apa-apa. Sakit, kecewa, marah, semua bercampur aduk memenuhi rongga dada yang kian sesak.
Mungkinkah ia harus membiasakan diri mulai sekarang, memposisikan dirinya sebagai orang asing di rumah suaminya sendiri. Tidak saling mencampuri urusan masing-masing sebagaimana yang pernah Rama katakan sebelumnya. Rumah tangga macam apa yang mereka jalani saat ini?
***
Selamat berhari Minggu, hari kumpul keluarga, hari santai, bisa baca novel "Bidadari Penghapus Luka" sepuasnya.
tinggalkan jejak kalian ya...
like, komen, hadiah juga votenya.
Terima kasih
Salam cinta dari Rama dan Hasna.