NovelToon NovelToon
Ragaku Milik Suamiku Tapi Hatiku Milik Dia

Ragaku Milik Suamiku Tapi Hatiku Milik Dia

Status: sedang berlangsung
Genre:cintapertama / Duda / Pernikahan Kilat / Cinta Paksa / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Heni Rita

Cinta Devan atau biasa di panggil Dev. begitu membekas di hati Lintang Ayu, seorang gadis yang sangat Dev benci sekaligus cinta.

hingga cinta itu masih terpatri di hari Lintang meski dirinya sudah di nikahi seorang duda kaya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Heni Rita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sikap Ayu Berubah

Menahan rasa sakit di hati, Nabila perlahan menengadah, melihat Devan dan berkata,

"Aku akan balas hinaanmu! Lihat saja!"

Devan tidak menjawab dan hanya menatap Nabila dengan dingin. Tidak terlihat sedikit pun ekspresi berat hati. Hal ini membuat Nabila merasa seakan-akan dia didepak begitu sudah bosan dimainkan.

Melihat Devan diam membisu, Nabila pun langsung sadar diri.

Sudah dua kali pertemuan, tetapi dia tetap belum bisa meluluhkan hati Devan.

"Ayo pulang! Saya muak berada di sini!"

Nabila menampilkan senyum seringai lalu berkata.

"Pulang saja sana! Aku bisa pulang sendiri!"

Alis mata Devan sedikit terangkat dan matanya yang dingin itu menatap Nabila.

Melihat tidak ada sedikit penyesalan di raut wajahnya, gadis ini beberapa kali membuat emosi Devan memuncak.

"Terserah kamu," jawab Devan singkat sebelum pergi.

Dev tancap gas pergi dari sana, meninggalkan Nabila yang masih berdiri mematung di sana.

Sambil melihat punggung yang semakin menjauh itu, senyuman Nabila perlahan memudar.

Nabila tahu, hanya ayahnya yang bisa membuat lelaki itu patuh.

****

“Ini membuatku gila,” gumam Devan sembari mengacak rambutnya frustasi. Ia menyembunyikan kepalanya di dalam lipatan tangan yang bertumpu di atas meja.

“Apa yang membuatmu gila, Dev?” tanya suara tersebut.

Mendengar suara itu membuat jantung Devan mencelos, segera disusul dengan degupannya yang berdebar kencang. Ia melirik ke samping, dimana ibunya sekarang telah berdiri. Suara derit kursi terdengar dan mereka sudah duduk berhadapan. Dalam beberapa detik keheningan, ia masih enggan menatap ibunya apalagi berbicara dengannya.

“Dev…” Sekali lagi ibunya memanggilnya sambil berniat menyentuh tangan putranya yang mengepal di atas pahanya.

Devan bergerak, menghindari tangan itu secepat kilat.

“Mah, lain kali kalau gadis itu datang kemari usir saja!"

"Loh, ada apa sih Dev! Pulang marah-marah gak jelas, aneh!"

"Pokoknya Dev tidak mau menemui dia!"

“Katakan, ada apa, apa kalian bertengkar?"

Devan bungkam, enggan menjawab.

Tiba-tiba suara derit kursi terdengar. Dalam sekejap pria itu sudah berlutut di bawah ibunya, memegang kedua tangannya erat sambil menunduk. Bu Hera terkejut dan kebingungan. Ia tidak pernah mengira Devan akan berlutut di bawahnya.

"Dev! Ada apa?"

"Mah, Dev sungguh minta maaf, Dev benar-benar menyesal atas masa lalu buruk Dev. Dev janji, tidak akan main perempuan lagi."

Bu Hera tambah bingung mendengarkan perkataan putranya. Dev tidak lagi menunduk, sekarang menatap langsung dan lurus kedua netra abu-abu miliknya. Raut wajahnya begitu sendu dan penuh keseriusan, tidak ada kebohongan di dalam kedua netra tersebut.

"Dev sungguh minta maaf karena telah banyak menyakiti hati wanita. Sekarang Dev merasakan bagaimana sakitnya di tinggal seseorang yang di cintai." Devan menghapus air mata yang terus menetes keluar. Ia sekarang tidak tahu bagaimana perasaannya setelah cinta nya sudah di miliki orang lain.

Mendengar permintaan maaf Devan yang begitu banyak. Apa yang Devan lakukan sudah sangat menyakiti dirinya sekarang. Ingatannya terlempar ke masa lalu, entah seberapa banyak wanita yang telah Putranya sakiti, dan seberapa jauh Dev terjerat cinta sesaat.

"Apa ...karena Ayu?"

Sekarang Devan tidak bisa membohongi dirinya, bahwa ia masih mencintai gadis itu. meski dirinya berupaya keras untuk melupakannya, tetap saja bayangan Ayu selalu mengusik pikirannya.

"Dev! Lupakan Ayu, dia sudah bahagia dengan suaminya! Mamah tidak mau kamu berbuat macam- macam, relakan Ayu. Masih banyak wanita single di luar sana!" Sentak Bu Hera menasehati.

"Dev tidak mau membohongi diri sendiri, Dev masih mencintai Ayu Mah."

"Sudah cukup Dev! Mamah tidak mau kamu menyebut nama itu lagi! Nabila gadis cantik dan ramah. Mamah lebih setuju kalau Nabila jadi mantu Mamah ketimbang Ayu!" Tegas Bu Hera.

Devan menghela nafas dalam- dalam.

"Uh, Nabila! Mamah tidak tahu siapa gadis ini. Dev tidak sudi nikah sama dia!" Dev menentang keras perkataan ibunya.

Devan lantas bangkit dari duduknya dengan wajah kesal. Dev berjalan cepat masuk ke kamarnya

Bu Hera mengerat dada melihat sikap putranya.

"Apa yang harus Mamah lakukan agar membuatmu lebih baik Dev ..."

***

Kegelisahan memupuk hati Ayu pagi itu. Sampai sulit memejamkan mata. Sudah berulang kali mencoba, tetap saja tidak mampu. Ia terbangun, mengingat kejadian saat kesuciannya di renggut Devan.

Dirinya belum ada keberanian untuk menghubungi Devan karena takut dan masih ragu untuk mengungkap kehamilannya.

Meski suaminya Herman mau menerima bayi nya, tapi tetap saja Ayu merasa bersalah.

Orang lain yang makan nangkanya, Herman yang kena getahnya.

Ibarat seperti itu, yang kini harus suaminya jalani saat ini.

Tapi untuk apa juga Ayu memberitahu Devan, toh lelaki itu mungkin sudah menggandeng wanita lain untuk di jadikan korban berikutnya.

Lelaki itu sepantasnya mendapatkan ganjaran yang setimpal atas perbuatannya yang suka berzina.

"Ya Allah, kenapa nasibku jadi seperti ini." Bulir bening mulai berjatuhan, membayangkan kenyataan pahit yang telah menimpanya.

Ayu lalu beranjak, berjalan rapuh menuju ruang tengah.

Di ruang tengah, tampak suaminya Herman masih terlelap.

Ayu mendekat, lalu menyelimuti suaminya. Kedua matanya berkaca, sungguh Ayu merasa telah berdosa pada pria ini. Tutur katanya yang lembut, pribadinya yang sederhana, sabar menghadapi penolakannya dan selalu ingin membuatnya bahagia.

Tapi apa balasan dirinya pada pria ini?

Tidak ada!

Dirinya malah sibuk memikirkan cintanya pada Devan.

Ayu merasa muak, jijik dan egois!

Andai waktu bisa di putar, Ayu lebih baik tidak meladeni lelaki bajingan itu, yang membuat dirinya di hantui rasa bersalah pada suaminya.

Jujur, Ayu akui. Tidak ada rasa cinta sedikitpun untuk Herman, tapi apalah daya. Mau tidak mau. Ayu harus memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri.

"Maafkan aku Pak ..." Ayu membungkuk hendak mengecup kening suaminya, tapi angin pagi berhembus tenang mengenai wajah suaminya, bahkan membuat wajahnya tampak semakin bersinar dan tampan.

Untuk sesaat Ayu membeku.

Tiba-tiba Herman membuka matanya.

"Dek!" Herman terperangah kaget, saat dirinya melihat manik mata istrinya yang berjarak sekian senti dengan wajahnya.

Reflek Ayu bergerak menjauh, salah tingkah.

"Itu, itu Pak. Ada nyamuk di kening Bapak!" Dusta Ayu gugup.

Ayu cepat memutar tubuhnya.

Herman bangkit dari sofa, lalu duduk sejenak sambil mengucek kedua matanya. Setengah ngantuk, Herman menengadah menatap wajah istrinya yang sedang berdiri membeku memunggunginya.

Ayu menelan ludah sambil meraba bibirnya, dia memaki dirinya sendiri, karena tanpa sadar bibirnya begitu lancang hendak mengecup kening suaminya.

"Ya Allah ...apa ini Ayu?" Guman Ayu, wajahnya sudah bersemu merah menahan malu.

Jam sudah bergerak menuju pukul enam pagi. Dan itu artinya. Ayu harus menyelesaikan semua tugas rumahnya.

"Dek!" Herman memanggilnya.

Langkah Ayu terhenti.

"Iya Pak," jawab Ayu tanpa menoleh.

"Jam berapa ini? Bapak harus pergi ke Bogor. Hari ini Bapak mau survei ke lapangan, tolong kasih tahu Bi Warsih untuk membuat sarapan," titah Herman.

"Ayu saja yang buat sarapannya Pak!" Tegas Ayu. Secepatnya Ayu berlari kecil menuju ke dapur.

Herman membelalak.

"A-apa?" Herman masih tidak percaya dengan ucapan istrinya. Selama berumah tangga dengan Ayu, Bi Warsih lah yang biasa mengurusnya. Dari sarapan menyiapkan baju sampai kaos kaki, Bi Warsih lah yang melakukan itu semua.

Bi Warsih sudah Herman anggap seperti saudaranya.

Dimulai dengan memasak dan menyiapkan sarapan untuknya. Beres memasak Bi Warsih biasa membersihkan rumah. Meski di rumahnya ada satu pelayan lagi di rumah itu. tapi Bi Warsih mengerjakan semuanya sendirian.

Sedang Maesaroh, pelayan satunya lagi. Dia lebih sering mengerjakan tugas di halaman depan merawat tanaman hias yang tumbuh subur di sana.

Dan Ayu. Ayu keluar kamar kalau Herman sudah pergi, selepas Herman pulang. Ayu pun mengunci diri di kamar mengabaikan Herman yang tidur kedinginan di sofa.

Herman bisa saja tidur di kamar lainnya, karena di rumah yang megah dan luas itu. Ada dua kamar kosong khusus untuk tamu atau saudara yang datang menginap, tapi Herman memilih tidur di sofa, biar dekat dengan kamar Ayu.

Pagi itu, Herman melihat perubahan di diri Ayu, istri manisnya itu tiba-tiba menawarkan diri untuk menyiapkan sarapan pagi.

Tentu saja Herman merasa bahagia dengan perubahan sikap istrinya, berarti Ayu sudah menerima dan menganggap dirinya sebagai suami.

Setelah pembicaraan kemarin dengan Herman suaminya. Ayu berjanji, akan melupakan masa lalunya, tidak mau terjebak lagi dengan cintanya.

Herman sudah memaafkan kesalahannya dan ikhlas menerima anaknya yang belum lahir. Ayu bersyukur mempunyai suami sebaik Herman, meski dirinya tidak mampu memperlakukan Herman layaknya suami, tapi pria dewasa itu tetap bersabar dan sangat menghormatinya.

"Neng, biar Bibi saja yang buat sarapan, Neng kan sedang hamil." Bi Warsih merasa tidak enak, melihat majikannya melakukan pekerjaan rumah sendirian tanpa bantuannya.

"Biar saja Bi, Ayu ingin menggerakkan badan Ayu biar sehat. Bibi bersihkan saja halaman depan ya?" Ayu bersikeras menolak permintaan Bi Warsih.

"Tapi Neng. Yang membersihkan halaman depan tugas Maesaroh," jawab Bi Warsih sambil menatap heran wajah Ayu.

Baru kali ini, Bi Warsih mendapati Ayu mau menyibukkan diri di dapur. Dan itu membuat Bi Warsih sedikit kaget, biasanya istri majikannya ini masuk ke dapur kalau mau makan, lepas itu kembali ke kamar tanpa banyak bicara.

"Kalau begitu Bibi bantu Ayu ya?" Ayu lantas membuka lemari es untuk mengambil telur.

"I- iya Neng!" Jawab Bi Warsih sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal.

Bingung dengan perubahan sikap Ayu.

"Ohya Bi. Kalau pagi, suami saya biasa sarapan pake apa?" Tanya Ayu, matanya pokus melihat isi di dalam lemari es.

"Suami?" Batin Bi Warsih.

Dari sejak pertama menginjakkan kakinya di rumah ini. Baru hari itu, Bi Warsih mendengar kata 'Suami' dari mulut Ayu.

"Itu Neng, Bapak suka sarapan nasi goreng pake telur ceplok, tapi kecapnya agak banyakan dikit ya Neng. Pak Herman suka yang manis manis," terang Bi Warsih sambil mengambil wajan dari rak piring.

"Oh gitu, baiklah. Ajarin Ayu masak nasi goreng ya Bi," pinta Ayu.

1
Abel_alone
tetap semangat 🌹🌹🌹🌹
Luna Sani: Terima kasih kak ..🙏😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!