Kirana tak pernah menyangka, bujukan sang suami pulang ke kampung halaman orang tuanya ternyata adalah misi terselubung untuk bisa menikahi wanita lain.
Sepuluh tahun Kirana menjadi istri, menemani dan menjadi pelengkap kekurangan suaminya.
Kirana tersakiti tetapi tidak lemah. Kirana dikhianati tetapi tetap bertahan.
Namun semuanya berubah saat dia dipertemukan dengan seorang pria yang menjadi tetangga sekaligus bosnya.
Aska Kendrick Rusady, pria yang diam-diam menyukai Kirana semenjak pertemuan pertama.
Dia pikir Kirana adalah wanita lajang, ternyata kenyataan buruknya adalah wanita itu adalah istri orang dengan dua anak.
Keadaan yang membuat mereka terus berdekatan membuat benih-benih itu timbul. Membakar jiwa mereka, melebur dalam sebuah hubungan terlarang yang begitu nikmat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mei-Yin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Radio rusak
“Bu, wanita itu sekarang bener-bener keterlaluan. Dia mulai berani melawan kita,” ucap Nina kesal.
“Biarkan aja,” sahut Ajeng malas.
“Mas Zidan ke mana ya, kok belum datang sih. Biar dia tahu kelakuan istrinya itu.”
“Mungkin masih nunggu Luna. Sana kamu lihat ke dapur, Wina udah selesai vapa belum.”
Ibu dan anak tersebut berlagak seperti nyonya rumah. Memerintahkan Wina ini dan itu bahkan tak segan memarahinya jika wanita itu melakukan kesalahan.
Sementara Rina dan Lina, kedua anak tersebut mengurung diri di kamar melihat kedatangan nenek dan tantenya.
Tiga puluh menit kemudian yang ditunggu sudah datang. Zidan menuntun Luna memasuki rumah. Terlihat sikap pria itu begitu menyayangi istrinya.
“Darimana aja, Mas? Tahu nggak sih, kami baru aja dicaci maki sama Mbak Kirana. Dia bahkan melawan ibu,” adu Nina pada kakaknya.
“Biarin aja. Jangan ganggu dia,” sahut Zidan malas.
“Duduk dulu di sini, aku mau lihat anak-anak.”
“Jangan lama-lama, Sayang,” ucapnya begitu lembut dan manja.
Zidan melangkah menuju kamar Kirana. Wanita itu tak ada di kamar, tetapi terdengar suara gemericik air dari kamar mandi.
Saat masuk ke kamar anaknya, dia melihat keduanya duduk di karpet dengan beberapa buku bacaan cerita-cerita rakyat.
“Wah anak papa lagi apa? Kok diem aja, nggak kangen sama papa, ya.” Zidan mencium kedua anaknya bergantian, dia terlihat cemberut karena respons yang diberikan anaknya terlihat tak ramah.
“Ada apa? Kok kalian nggak nyapa papa.”
“Papa ke mana aja? Sibuk sama mama baru ya sampai lupa sama aku dan adek,” ucap Rina mengejutkan.
“Kok ngomongnya gitu, mana mungkin papa lupa sama anak-anak cantik ini.”
“Buktinya papa nggak pulang-pulang. Sekalinya pulang cuma sebentar dan marah-marah.”
Zidan menunduk. Tangannya terangkat mengusap puncak kepala Rina.
“Maafkan papa, ya.”
“Kata orang, mama baru itu jahat dan kejam. Aku nggak mau punya mama baru,” sahut Lina tiba-tiba.
“Mami Luna nggak jahat, dia baik kok. Radit temen sekolah adek, dia itu anaknya. Jadi kalian harus baik-baik dan nggak boleh berantem karena sekarang udah jadi saudara.”
“Gara-gara papa punya mama baru, aku dan adek sering diledek, Pa,” cicit Rina pelan, mengadu dengan penuh harap.
“Emangnya ngomong apa?” Sedikit terkejut mendengar pengakuan tersebut.
“Katanya papa akan ninggalin mama dan kami. Papa udah punya mama baru dan anak baru, jadi udah nggak mau sama kita lagi. Aku nggak mau papa pergi.” Isak tangis lirih terdengar dari bibir Rina, air mata tumpah membasahi pipi dan itu membuat Zidan begitu bersalah.
“Papa nggak akan tinggalin kalian. Jangan didengerin omongan yang nggak baik. Kalian punya dua mama dan mami.”
Zidan memeluk kedua anaknya. Kenapa Kirana tak pernah bilang masalah ini dan tak pernah menjelaskan apa pun padanya.
“Maafkan papa, ya. Kalau kakak sama adek kangen, kalian bisa datang ke rumah nenek.”
Keduanya kompak menggeleng. “Nenek sama tante galak, suka marah-marah.”
“Nanti dibilang supaya jangan galak lagi. Sekali lagi maafkan papa, ya. Papa sayang sama kakak dan adek.”
“Aku juga.” Keduanya menjawab bersamaan.
Saat mereka sedang berpelukan dengan penuh kerinduan, terdengar celetukan polos dari Lina yang berkata, “Ada mama dan papa, kalau ada mami berarti harus ada papi. Berarti mama nanti nyari papi, ya?”
Dan Kirana yang menguping di belakang pintu segera pergi karena tak bisa menahan tawa melihat ekspresi Zidan yang horor.
...✿✿✿...
Meja makan sudah lengkap diisi mereka semua kecuali kedua anak-anak yang saat ini memilih makan di kamar ditemani Wina.
Itu mau Kirana karena tak ingin kedua anaknya melihat bahkan mendengar semua perdebatan orang dewasa nantinya. Selain menjaga pikiran, dia tak ingin psikis mereka terguncang.
Anak-anak seusia Rina dan Lina mudah mengingat apa pun yang terjadi, dan dia tak mau itu membuat memori yang buruk diingatan mereka.
Sebenarnya Kirana ingin menanyakan sesuatu yang mengganjal di pikirannya, tetapi diurungkan karena tak ingin memperburuk suasana.
Matanya menatap sosok madu di pernikahan mereka. Wanita yang menjadi istri kedua suaminya.
Masih muda, cantik dan tubuhnya memang bagus. Biasanya dia yang akan melayani Zidan, tetapi saat ini dia melihat sang suami melayani istri mudanya. Bibirnya menyunggingkan senyum sinis dan mencemooh.
“Oh, ya, memangnya ada acara apa kalian semua berkumpul di sini?” tanya Kirana yang sedari tadi hanya mengaduk makanannya.
“Memangnya kenapa? Ini bukan rumahmu.” Nina menyulut api lagi.
“Salah! Rumah ini atas namaku, jadi bersikaplah layaknya tamu yang baik.”
Zidan segera melerai perdebatan istri dan adiknya.
“Aku cuma ingin hubungan kalian lebih akrab lagi dan saling merangkul sebagai keluarga besar.”
Kirana berdecak kagum dengan pemikiran luar biasa Zidan. Menyatukan kucing manis dan ular berbisa, diluar dugaan. Kira-kira siapa yang bakal menang, ya?
“Bu, Nina, jangan berdebat dengan Kirana terus menerus. Ini juga berlaku untukmu, jangan mendebat ibu dan Nina.” Ketiga wanita yang seperti musuh tersebut hanya bisa saling melempar tatapan horor.
Belum sempat Ajeng dan Nina protes, ucapannya berlanjut, “Dan jangan sekali-kali bicara kasar pada Rina dan Lina. Mereka anak-anakku yang nggak tahu apa-apa. Perlakukan dia seperti cucu ibu dengan baik.”
“Kandungan Luna sudah delapan bulan, sebentar lagi dia akan melahirkan. Anak itu juga akan menjadi anakmu, Kirana. Jadi perlakukan ibu dan calon bayinya dengan baik.” Zidan menatapnya dengan penuh permohonan.
“Selama kehamilan, aku akan lebih sering bersama dengan Luna di rumah ibu. Kalau kamu ada apa-apa bisa hubungi aku atau ke sana bersama dengan anak-anak.” Luna mendengkus tak suka dengan keputusan sepihak dari Zidan.
Menatap Kirana dengan intens. “Kita sekarang keluarga. Mari saling dukung dan jangan saling menjatuhkan.”
Kirana tak menanggapi omong kosong dari Zidan. Dia tetap melanjutkan makan dan menganggap ucapan pria itu seperti angin lalu.
Ngomong emang gampang, tapi kenyataannya enggak semudah itu, Zidan Pranadipa!
To Be Continue ....