"Kalau kamu tetap enggak izinin aku menikah lagi, ... aku talak kamu. Kita benar-benar cerai!"
Dwi Arum Safitri atau yang akrab dipanggil Arum, terdiam membeku. Wanita berusia tiga puluh tahun itu benar-benar sulit untuk percaya, Angga sang suami tega mengatakan kalimat tersebut padahal tiga hari lalu, Arum telah bertaruh nyawa untuk melahirkan putra pertama mereka.
Lima tahun mengabdi menjadi istri, menantu, sekaligus ipar yang pontang-panting mengurus keluarga sang suami. Arum bahkan menjadi tulang punggung keluarga besar sang suami tak ubahnya sapi perah hingga Arum mengalami keguguran sebanyak tiga kali. Namun pada kenyataannya, selain tetap dianggap sebagai parasit rumah tangga hanya karena sejak menikah dengan Arum, pendapatan sekaligus perhatian Angga harus dibagi kepada Arum hingga keluarga Angga yang biasa mendapat jatah utuh menjadi murka, kini Arum juga dipaksa menerima pernikahan Angga.
Angga harus menikahi Septi, kekasih Andika-adik Angga yang memilih minggat setelah menghamili. Yang mana, ternyata Septi mau dinikahi Angga karena wanita muda itu juga mencintai Angga.
Lantas, salahkah Arum jika dirinya menolak dimadu? Dosakah wanita itu karena menjadikan perceraian sebagai akhir dari pengabdian sekaligus kisah mereka? Juga, mampukah Arum membuktikan dirinya bisa bahagia bahkan sukses bersama bayi merah tak berdosa yang telah Angga dan keluarganya buang hanya karena ia tetap memilih perceraian?
🌿🌿🌿
Follow Instagram aku di : @Rositi92
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Kabar Mengejutkan
“Kamu ini wanita macam apa?” sinis ibu Fatimah berucap lirih, persis di hadapan Arum. Jarak mereka tak kurang dari setengah meter.
Dari lorong depan, Kalandra yang awalnya tengah mencari-cari, menjadi berhenti melangkah sesaat setelah pria itu memergoki kebersamaan Arum dan ibu Fatimah. Kalandra hanya melihat punggung Arum, tapi jika melihat raut wajah wanita berhijab syari hitam di hadapan Arum, tampaknya ada sengketa yang tengah terjadi. Kalandra yakin, ibu Fatimah masih tidak terima, Septi sampai ditahan.
“Bisa-bisanya kamu mengumbar aib dan terus menebar fitnah. Kenapa kehamilan Septi masih kamu permasalahkan hanya karena suami kamu lebih memilih Septi!” lirih ibu Fatimah penuh penekanan. “Harusnya tidak usah sampai begini. Biarkan mereka menikah, menebus dosa mereka dengan cara menjalani hidup menjadi lebih baik. Kamu ini bukan wanita suci lho, Rum. Enggak seharusnya kamu begini! Kamu tahu doa seorang ibu akan selalu dijabah, kan? Semoga kamu puas dan kamu selalu bahagia setelah kejahatan tak terlupakan yang kamu lakukan!”
“Amin ... amin ya Alloh!” ucap Arum sambil mengangguk-angguk.
Kalandra yang sampai berlari berangsur menghentikan langkahnya. Ia sempat mendengar sebagian ucapan ibu Fatimah. “Ibu Fatimah ini masih tidak paham juga?” Ia menggeleng tak habis pikir. Wanita di hadapannya langsung meliriknya dengan sinis.
“Saya akan menuntut balik kalian!” tegas ibu Fatimah.
“Saya tunggu secepatnya agar Ibu bisa paham!” tegas Kalandra yang lama-lama juga geram.
Ibu Fatimah melirik sinis Kalandra kemudian berganti kepada Arum. “Jangan-jangan, justru kalian yang sudah berzina.”
Kalandra menyeringai, merasa geli dengan ucapan ibu Fatimah yang baginya mengada-ngada. “Dibuktikan saja Bu, enggak usah emosi apalagi repot. Jika memang benar, kami siap menerima konsekuensinya. Namun jika tuduhan Ibu hanya fitnah, tentu Ibu jauh lebih tahu hukuman bahkan dosanya. Lagi pula, daripada Ibu sibuk mempermasalahkan keadilan yang sedang Mbak Arum perjuangkan, harusnya Ibu lebih fokus pada Septi. Kalau tidak salah, hukuman bagi mereka yang berulang kali berzina, wajib dirajam sampai mati, bukan? Saya yakin Septi sudah melakukannya berulang kali karena pada Angga saja, dia yang jelas bukan mahram sibuk menempel.”
Ibu Fatimah langsung kalah telak. Ia menggeragap dan tatapan sinis sekaligus sadisnya tak lagi jelalatan menghakimi Arum.
“Daripada Ibu sibuk mengatur hidup orang, lebih baik Ibu fokus pada kehidupan anak Ibu karena anak sudah menjadi tanggung jawab orang tua. Kalaupun Ibu berniat mengurus hidup Mbak Arum, jangan tanggung-tanggung. Kasih nafkah yang banyak, dan muliakanlah hidup Mbak Arum dan anaknya. Insya Allah, itu bisa menjadi tabungan Ibu masuk Surga. Terakhir, saya tunggu laporan baliknya!” Kalandra mengangguk-angguk santai. Ia sungguh tak bermaksud kurang ajar, tapi manusia sekelas ibu Fatimah yang mengatas namakan kealiman sekaligus agama sebagai kedok, memang harus ditindak tegas agar mereka tak semena-mena.
Sore menjelang petang, Arum dan Kalandra meninggalkan kantor polisi yang ada di kabupaten. Arum dan ibu Nur duduk di tempat duduk penumpang. Perjalanan mereka, mereka lalui dengan kesunyian. Hanya sesekali terdengar tangis kecil dari Aidan yang akan langsung tenang ketika Arum timang. Sekitar pukul enam sore, mereka sampai di warung Arum yang barang-barangnya tengah dikeluarkan oleh beberapa orang pasar. Mereka membantu Arum pindahan lantaran penyewa baru juga sudah memboyong barang-barangnya
“Ini ... ini beneran? Mbak Arum enggak mau banding dulu? Atau, saya tomboki dulu, bayarnya pakai uang saya dulu, nanti kalau uang tebusan dari Angga keluar, baru Mbak urus,” ucap Kalandra yang masih duduk di balik kemudinya. Ia sengaja balik badan hanya untuk menatap Arum yang ada di belakangnya.
Arum menghela napas pelan. “Saya enggak mau menutup jalan rezeki orang karena penyewa baru pun sudah siap dagang, Mas. Sudah ada kesepakatan antara pemilik ruko dan penyewa baru. Mereka beneran enggak salah karena yang salah, si Angga.”
Wah ..., batin Kalandra benar-benar syok. “Terus, ... Mbak mau ke mana? Mumpung saya di sini, saya antar sekalian. Terus, Senin depan gimana? Saya juga masih mau pesan nasi kotak karena orang-orang juga langsung cocok sama masakan Mbak Arum.”
Arum bingung. Ia menunduk lesu. “Nanti akan tetap saya buatkan, Mas.” Baginya, pamali menolak rezeki terlebih itu berkaitan dengan Kalandra yang telah membantunya. Kalandra sangat berjasa kepadanya.
“Oh, berarti Mbak Arum sudah punya warung baru?” sergah Kalandra yang jujur saja langsung merasa lega.
Arum menggeleng lemah. “Belum, Mas. Masih pikir-pikir sambil cari. Namun untuk pesanan rutin Mas yang tiap hari Senin, saya akan tetap membuatkannya.”
“Oh ...,” lirih Kalandra sambil mengangguk-angguk.
Beberapa saat kemudian, mereka menjadi bagian dari pemboyongan barang-barang Arum. Untuk sementara, semua barang itu ditaruh gudang pasar, gudang bersama. Sepanjang itu, Arum yang sudah telanjur menganggap ruko tersebut seperti ruko sendiri, beberapa kali menitikkan air mata. Sambil mengemban Aidan, Arum tampak sangat lemas. Beberapa kali wanita itu menyeka sekitar mata kemudian menghela napas pelan. Arum tampak memaksakan diri untuk tegar. Membuat yang melihat termasuk Kalandra yang mengetahui perjalanan perjuangan Arum, makin tidak tega.
Malam ini, Arum akan menginap di rumah ibu Nur. Pakaian dan keperluan lain sudah diboyong oleh putri wanita itu. Sementara baru saja, Kalandra pamit.
“Terima kasih banyak, Mas. Titip salam buat istri Mas. Kalau memang istri Mas mengidam mi rebus atau masakan lainnya, jangan sungkan buat menghubungi saya,” ucap Arum dan langsung dibalas dengan senyum semringah oleh Kalandra. Pria itu memasuki mobil dengan senyum ceria.
“Wah, ternyata Mas Kalandra sudah nikah, Rum?” bisik ibu Nur yang memang ada di samping kiri belakang Arum.
Arum yang awalnya tengah melepas kepergian mobil Kalandra, refleks menoleh kemudian mengangguk-angguk di tengah senyum yang tersisa menghiasi wajahnya. “Sudah, Bu. Alasan kami kenal pun gara-gara mas Kalandra malam-malam beli mi rebus buat istrinya yang lagi ngidam.”
Dalam diamnya, ibu Nur berujar, Kalandra memiliki ketertarikan khusus kepada Arum hingga pria itu sangat perhatian kepada Arum bahkan Aidan. Namun nyatanya, pria itu justru memiliki istri yang tengah mengidam. Enggak apa-apa, sih. Meski awalnya sempat berpikir mereka akan jodoh. Lagian yang namanya jodoh kan memang enggak harus menikah karena sekadar bisa teman baik juga ibarat jodoh jadi teman baik. Dan semoga, Arum juga dapat jodoh yang baik, berkali-lipat lebih baik dari Angga! pikirnya.
Menyaksikan ruko warungnya sudah dihuni barang-barang keperluan warung orang lain, hati Arum terasa remuk. Sebagian nyawa wanita itu seolah pergi hingga rasa lemas mendadak menguasai. Ibu Inne yang turut menjadi bagian dari acara pindahan di sana, menghampiri Arum kemudian meminta maaf.
Hari ini, Arum tutup kesibukannya dengan banyak pembelajaran. Sederet kejadian mengejutkan dan sukses membuat emosinya naik turun, benar-benar tidak akan pernah Arum lupakan. Bersama ibu Nur, ia berjalan kaki menuju rumah wanita itu.
“Oalah Rum, lupa ... tadi Rani bilang kalau obat nyamuknya habis. Mampir beli dulu, yuk!” ucap ibu Nur yang langsung mengubah tujuan langkahnya. Ia memasuki salah satu toko yang letaknya tidak begitu jauh dari bekas warung Arum.
***
Belum genap tiga puluh menit di rumah ibu Nur, Arum yang baru beres menyeka Aidan, dikabari Rani putri ibu Nur, bahwa Supri datang mencari Arum.
“Ya sudah, Mbak. Temui dulu, katanya penting banget. Dek Aidan biar aku yang jaga. Sudah ganteng wangi juga Dek Aidannya,” ucap Rani sambil tersenyum gemas memandangi bayi merah di tengah tempat tidur kamar tamu yang akan menjadi tempat tinggal sementara Arum dan Aidan di sana.
Arum yang juga langsung menyikapi kabar dari Rani dengan serius, bergegas memastikan. Jujur, ia heran, bingung, tapi juga khawatir dengan maksud kedatangan Supri. Namun Arum yakin, alasan utama Supri datang, masih berkaitan dengan Angga yang ditahan.
Supri menunggu di bangku kayu yang ada di teras depan kediaman ibu Nur. Pria yang sampai detik ini masih memakai kacamata hitam itu langsung tersenyum semringah dan tampak tidak sabar menyambut kedatangan Arum. Sebuah kenyataan yang langsung membuat Arum menyesal telah meluangkan waktunya untuk pria itu. Sebab Arum yakin, jika Supri sudah begitu pasti bukan kabar baik apalagi penting, melainkan untuk urusan terbilang sinting.
“Rum,” ucap Supri yang sudah sampai berdiri. Kedua tangannya saling usap di depan perut.
Arum tidak menjawab dan memang sengaja tetap menjaga jarak terlebih meski begitu, Supri tetap mendekat.
“Daripada kamu tinggal di sini, ... aku siapkan kontrakan saja, ya?” ucap Supri yang sampai berbisik-bisik.
“Maksud kamu apa, bilang begitu?” balas Arum sinis.
Supri menghela napas cepat, maju mendekat meski Arum juga kembali menjaga jarak. Wanita yang makin hari makin cantik itu menatapnya dengan tatapan galak layaknya biasa.
“Rum, masa kamu masih enggak ngerti juga? Aku serius, aku sayang kamu. Aku bakalan kasih kamu yang kamu mau!” ucap Supri.
Arum menggeleng tak habis pikir. “Kamu bicara kayak gitu sadar, apa memang kesurupan? Urus istri sama anak-anak kamu saja enggak becus, eh ini malah ....”
“Ya ampun, Rum. Urusan itu biarin aja. Yang penting kita sama-sama seneng. Septi saja ketagihan sama servisanku!” sergah Supri.
“Hah ...?” Arum benar-benar syok dan langsung tidak bisa berkata-kata. Apa yang baru saja Supri katakan tak ubahnya kabar sekaligus fakta yang teramat mengejutkan.
“Iya makanya kamu mau, ya. Aku janji, aku bakalan kasih kamu yang lebih spesial. Nanti kita ngontrak di sekitar terminal aja. Di sana kontrakannya jauh lebih bagus!” Supri masih sibuk meyakinkan.
Padahal Arum yang masih sangat syok, makin jijik kepada Supri bahkan Septi yang sudah pernah dengan Supri. Benar-benar luar biasa!
Aq padamu /Kiss/