NovelToon NovelToon
Saat Mereka Memilihnya Aku Hampir Mati

Saat Mereka Memilihnya Aku Hampir Mati

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Bad Boy / Diam-Diam Cinta / Cintapertama / Enemy to Lovers / Cinta Murni
Popularitas:931
Nilai: 5
Nama Author: his wife jay

Dilarang keras menyalin, menjiplak, atau mempublikasikan ulang karya ini dalam bentuk apa pun tanpa izin penulis. Cerita ini merupakan karya orisinal dan dilindungi oleh hak cipta. Elara Nayendra Aksani tumbuh bersama lima sahabat laki-laki yang berjanji akan selalu menjaganya. Mereka adalah dunianya, rumahnya, dan alasan ia bertahan. Namun semuanya berubah ketika seorang gadis rapuh datang membawa luka dan kepalsuan. Perhatian yang dulu milik Elara perlahan berpindah. Kepercayaan berubah menjadi tuduhan. Kasih sayang menjadi pengabaian. Di saat Elara paling membutuhkan mereka, justru ia ditinggalkan. Sendiri. Kosong. Hampir kehilangan segalanya—termasuk hidupnya. Ketika penyesalan akhirnya datang, semuanya sudah terlambat. Karena ada luka yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan kata maaf. Ini bukan kisah tentang cinta yang indah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon his wife jay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Teror

Elara membuka pintu rumahnya dengan pelan. Engsel pintu mengeluarkan bunyi lirih saat didorong, lalu yang menyambutnya hanyalah kegelapan. Lampu-lampu utama belum dinyalakan, membuat rumah besar itu terasa lebih sunyi dari biasanya.

Ia sebenarnya sudah tahu. Orang tuanya sedang menghadiri acara bersama rekan bisnis dan baru akan pulang larut malam. Tidak ada siapa-siapa di rumah selain dirinya.

Elara melangkah masuk, menutup pintu, lalu menyalakan lampu ruang tamu. Cahaya putih menyebar perlahan, memperlihatkan ruangan yang rapi dan kosong. Tidak ada suara televisi, tidak ada percakapan, tidak ada langkah kaki lain.

Hening.

Ia meletakkan tas di sofa tanpa banyak pikir, lalu langsung berjalan menuju kamarnya. Kepalanya terasa penuh sejak kejadian di sekolah. Ia tidak ingin memikirkannya sekarang. Yang ia butuhkan hanya air dan sedikit ketenangan.

Tanpa menyalakan lampu kamar terlebih dulu, Elara langsung menuju kamar mandi. Ia menyalakan shower, membiarkan air dingin mengalir membasahi tubuhnya. Air itu seolah membawa turun semua rasa sesak yang menempel di dadanya sejak siang.

Beberapa menit berlalu.

Setelah selesai mandi, Elara keluar dengan rambut masih basah. Handuk kecil melingkar di bahunya, sementara ujung rambutnya meneteskan air ke lantai. Ia menyalakan lampu kamar, lalu duduk di depan meja rias.

Seperti kebiasaan, ia mulai merawat wajahnya. Gerakannya pelan dan teratur. Ada rasa nyaman dalam rutinitas kecil itu—sesuatu yang selalu ia lakukan tanpa perlu berpikir panjang.

Saat ia sedang meratakan skincare di wajahnya—

BRAKKK!

Suara keras itu menghantam udara, disusul bunyi kaca pecah yang jatuh berhamburan ke lantai.

“El—!”

Teriakan Elara tertahan setengah. Tubuhnya refleks berdiri, jantungnya berdegup keras. Matanya membelalak, menatap ke arah jendela kamarnya yang kini hancur di salah satu sisi.

Pecahan kaca berserakan di lantai. Sebuah batu tergeletak di tengah-tengahnya, terbalut secarik kertas yang tergulung kasar.

Elara mundur satu langkah. Napasnya sedikit memburu.

Pikiran pertamanya langsung melayang pada satu kemungkinan yang paling masuk akal.

Musuh Papa?

Ia menelan ludah.

Namun Elara tidak menjerit. Ia tidak berlari panik. Setelah beberapa detik menarik napas, ia memaksa dirinya tetap tenang.

Dengan langkah hati-hati, Elara mendekat. Ia menurunkan pandangannya, memastikan kakinya tidak menginjak pecahan kaca. Ia berjongkok perlahan, lalu meraih batu itu dengan ujung jarinya.

Tangannya sedikit gemetar, tapi ia tetap membukanya.

Ia membuka gulungan kertas itu.

Tulisan di dalamnya sederhana, ditulis dengan tinta hitam.

> “Sahabat lo nggak akan selamanya percaya sama lo dan masalah akan terus menimpa Lo."

Elara membaca kalimat itu sekali lagi.

Lalu terdiam.

Jika ini memang ulah musuh Papanya, mustahil pesannya ditulis seperti ini.

Perlahan, sebuah kemungkinan lain menyusup ke dalam pikirannya—seseorang yang ingin menghancurkan pertemanan yang telah mereka bangun sejak kecil.

Perlahan, Elara mengangkat kepala. Ada rasa dingin yang merayap di tengkuknya.

Ini disengaja.

Seseorang ingin menggoyahkan pikirannya.

Elara menarik napas panjang. Ia menutup mata sejenak, lalu berdoa lirih agar Tuhan melindunginya. Tangannya mengepal, menahan amarah yang mulai muncul pelan-pelan.

Ia berdiri dan berjalan menuju balkon kamarnya. Dengan hati-hati, ia membuka pintu kaca yang masih utuh di sisi lain, lalu memandang ke arah luar.

Gerbang rumah tertutup rapat. Jalanan di depan rumah sepi. Tidak ada motor melintas, tidak ada orang mencurigakan, tidak ada bayangan bergerak.

Tidak ada siapa-siapa.

Elara menutup kembali pintu balkon, lalu menyandarkan punggungnya sebentar ke dinding. Dadanya naik turun, tapi pikirannya perlahan kembali jernih.

Ia mengambil ponselnya.

Nama Arsen muncul di layar saat ia menekan tombol panggil.

Tak butuh waktu lama sebelum sambungan tersambung.

“Halo, El. Ada apa?” suara Arsen terdengar dari seberang, tenang seperti biasa.

Elara melirik ke arah jendela yang pecah. “Halo, Nio,” ucapnya pelan.

Nada suaranya membuat Arsen langsung waspada. “El, kamu kenapa?”

Elara menarik napas. “Kamu bisa ke rumah aku sekarang, nggak?”

Hening sejenak di seberang.

“Aku ke sana sekarang,” ucap Arsen tanpa ragu.

Telepon terputus.

★★★

Begitu pintu dibuka, Arsen sudah berdiri di sana. Jaket hitamnya masih melekat di tubuhnya, rambutnya sedikit berantakan, dan napasnya belum sepenuhnya teratur.

“Apa yang terjadi?” tanyanya tanpa basa-basi.

Tatapan Arsen langsung menyapu wajah Elara, memastikan tidak ada luka, tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Elara membuka mulut, tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Ia hanya menggeleng pelan lalu bergeser memberi jalan.

Arsen masuk tanpa banyak bicara

saat dikamar elara langkahnya terhenti ketika pandangannya jatuh pada pecahan kaca di lantai yang terlihat dari ambang pintu. Rahangnya mengeras seketika.

“Siapa yang ngelakuin ini?”

Elara menarik napas pendek. “Aku nggak tahu,” jawabnya pelan. “Tadi aku lagi di depan meja rias. Tiba-tiba kacanya pecah.”

Ia mengulurkan selembar kertas yang tadi terbungkus batu itu. Arsen menerimanya dan membukanya perlahan.

“Kertas apa ini?” tanyanya.

“Itu… yang dikirim sama pelakunya,” ucap Elara lirih.

Arsen membaca isi kertas itu sekali, lalu melipatnya kembali. Tangannya meremas kertas tersebut tanpa sadar.

“Ini bukan ancaman biasa,” katanya dingin.

Elara memeluk lengannya sendiri, mencoba menenangkan gemetar yang belum sepenuhnya hilang. “Awalnya aku pikir ini ulah musuh Papa. Tapi… rasanya nggak mungkin.”

Arsen menoleh ke arahnya. “Iya,” sahutnya singkat. “Tulisannya nggak masuk akal kalau itu buat urusan bisnis Papa kamu.”

Kamar itu kembali sunyi. Hanya suara napas mereka yang terdengar samar.

Arsen melangkah mendekat, lalu berjongkok di depan Elara hingga posisi mereka sejajar.

“Dengerin aku,” katanya pelan tapi tegas. “Siapa pun yang ngelakuin ini, tujuannya cuma satu—bikin kamu takut. Dan bikin kamu ragu sama orang-orang di sekitar kamu.”

Elara menelan ludah. Dadanya terasa sesak, tapi dengan kehadiran Arsen sedikit meredakan itu.

“kamu nggak sendirian,” lanjut Arsen. “Selama aku dan yang lain masih ada, kita pasti terus jaga kamu."

Ia berdiri dan mengeluarkan ponselnya. “Aku bakal telepon satpam kompleks. Aku minta mereka patroli lebih sering.”

Arsen menoleh kembali ke Elara. “Malam ini aku juga nggak ke mana-mana.”

Elara mengernyit kecil. “Kamu mau di sini?”

“Iya.” Jawabannya singkat, mantap. “Sampai orang tua kamu pulang.”

Elara menghembuskan napas perlahan. “Makasih, Nio.”

Arsen mengangkat tangan dan mengusap rambut Elara dengan gerakan singkat, hampir tidak terlihat ragu.

“I will do anything for you,” ucapnya rendah.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!