Di malam ulang tahun suaminya yang ke tiga puluh lima, Zhea datang ke kantor Zavier untuk memberikan kejutan.
Kue di tangan. Senyum di bibir. Cinta memenuhi dadanya.
Tapi saat pintu ruangan itu terbuka perlahan, semua runtuh dalam sekejap mata.
Suaminya ... lelaki yang ia percaya dan ia cintai selama ini, sedang meniduri sekretarisnya sendiri di atas meja kerja.
Kue itu jatuh. Hati Zhea porak-poranda.
Malam itu, Zhea tak hanya kehilangan suami. Tapi kehilangan separuh dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
"Babe ... aku benci banget sama istri kamu yang gendut itu! Dia lancang banget menghina penampilanku!" jerit Elara setelah Zhea meninggalkan ruangan itu beberapa belas menit yang lalu.
Zavier mengusap-usap pundak sekretarisnya, sambil berucap menenangkan. "Kamu sabar, ya ... Zhea memang begitu. Dia bawel dan suka banget mengomentari penampilan orang lain. Tanpa melihat penampilannya sendiri yang sekarang gendut, jarang dandan dan dasteran terus. Huhh ... males dan muak aku lihatnya."
"Kalau kamu sudah muak dan malas dengannya ... kenapa kamu nggak menceraikan dia?"
Zavier menarik Elara ke atas pangkuannya. "Tidak semudah itu, sayang. Orang tuaku sangat menyayangi dia. Kalau aku menceraikan dia hanya karena alasan tadi ... bisa-bisa Mama Papaku mengamuk." Dia membenamkan wajahnya di antara buah dada Elara yang besar dan kencang.
"Mmm ... terus gimana dengan nasibku? Aku nggak mau hanya jadi selingkuhanmu selamanya. Aku ingin menjadi istri sahmu juga, Babe ..." Elara merengek manja, sambil mengusap-usap kepala belakang Zavier.
"Tenang saja, sayang. Suatu saat nanti ... aku pasti menikahimu. Tapi kamu harus sabar, ya ..." bujuk lelaki itu mendongak, menatap wajah Elara yang sudah dipenuhi gairah. "Kita lanjutkan yang tadi di mobil, yuk," sambungnya disertai senyum nakal.
"Ayo."
Di luar jendela kantor, hujan tiba-tiba jatuh begitu saja, seolah langit terburu–buru menumpahkan rahasianya.
Air menghantam kaca tinggi itu dengan keras, seperti jutaan jari menepuk–nepuk, menuntut perhatian.
Kilatan halilintar samar memantul di permukaan kaca, sesekali menyambar, memotong siluet dua manusia yang sedang tidur saling menindih di atas sofa.
Kemeja Zavier yang tadinya rapi, kini seperti kertas kerja yang dirobek dari bindernya.
Jangan tanyakan apa yang terjadi pada pakaian Elara, karena jauh lebih acak-acakan dari pakaian Zavier.
Dan ruangan itu mendadak memiliki aroma baru ... dingin AC kantor bercampur panasnya napas dua manusia yang tak seharusnya menyatu.
"Ela ... ooh ... Ela." Zavier memegang pinggang Elara yang turun naik di atasnya.
"Lebih liar aku atau istrimu?" desis Elara bergerak menggila.
Zavier memejamkan mata, menikmati permainan sekretarisnya. "Tentu saja kamu, sayang. Kamu jauh lebih liar dan hebat dari Zhea. Dia terlalu kaku dan membosankan."
Elara tertawa bahagia. Dia kian semangat menggoyang atasannya. Bibirnya pun tak tinggal diam. Mencumbu dan menjilati telinga Zavier.
"Ahh ... Ela. Kamu memang hebat." Napas Zavier tersengal-sengal. Matanya merem-melek. "Teruskan baby. Ya, seperti itu ..." Zavier meracau tak terkendali, lalu membenamkan wajanya di dada Elara.
Di luar sana, kota tetap bergerak. Mobil–mobil masih melintas, karyawan yang lain masih mengetik laporan di kubikel masing–masing. Jam digital di dinding masih berdetak seperti biasa. Menunjukkan pukul setengah tiga sore.
Tapi di dalam ruangan itu ... waktu seolah berhenti. Merekam aksi dua manusia laknat yang tak punya hati.
Dan hujan … seperti sengaja menyamarkan suara apa pun yang terjadi di dalam. Seolah langit pun berkomplot untuk menutupinya.
Ketika semuanya usai, hujan makin deras. Menampar kaca jendela sampai seluruh pemandangan di baliknya kabur, pecah menjadi garis–garis air.
Seakan dunia di luar sana tak boleh melihat terlalu jelas apa yang baru saja dilampaui.
Tak ada kata yang keluar.
Hanya napas yang belum stabil.
Hanya sisa kehangatan di ruang tertutup itu, sementara hujan menjadi tirai besar yang melindungi dosa itu dari mata siapa pun.
Dan ternyata, kegiatan panas itu hanya berhenti sesaat.
Kini, Zavier yang mengambil alih. Mendorong tubuh Elara menghadap sofa. Dari belakang, dia menghentak tubuh sintal itu hingga bergoyang maju mundur.
"Babe ... hentak aku sampai keluar lagi," desah Elara sambil memejamkan mata.
"Tentu, sayang." Zavier mengangkat sebelah kaki kanan Elara, melakukan dorongan lebih kuat, membuat Elara menjerit kecil.
Tanpa mereka ketahui ... kamera tersembunyi yang tadi dipasang Zhea sudah berhasil merekam semuanya.
______
"Sayang ... waktunya kita mandi." Di tengah hancurnya jiwa ... Zhea tetap berusaha tegar dan tersenyum demi sang buah hati. "Buka bajunya ya, Nak. Setelah mandi, kita lihat hujan dari jendela kamar." Berceloteh ringan dengan sang putri membuat hatinya sedikit lega.
Zhea memandikan Zheza dengan penuh kasih sayang, penuh kelembutan dan cinta. "Zheza ... jika suatu hari nanti, Mama dan Papamu berpisah, tolong maafkan Mama ya, Nak. Mama tidak bermaksud membuatmu kehilangan sosok ayah. Tapi ... hati Mama terlalu sakit untuk melanjutkan rumah tangga ini. Namun kamu jangan khawatir, Mama akan menjadi ibu sekaligus ayah untukmu, Nak." Sambil mengoleskan minyak telon ke tubuh mungil putrinya, Zhea tidak berhenti mengoceh. Mencurahkan apa yang ada dalam benaknya.
"Masya Allah ... anak Mama cantik sekali." Zhea mengecup pipi Zheza dengan gemas. "Baju dari Om Rafly udah muat nih. Lucu," katanya sambil menimang-nimang Zheza. "Kita foto yuk, terus nanti fotonya kita kirim ke Oma dan Om Rafly." Dia dan Zheza berfoto bersama. Tersenyum ceria meski hati terluka. "Yuk kita lihat hujan. " Sehabis berfoto, Zhea mengajak Zheza ke dekat jendela, memandangi hujan yang menabrak kaca.
Tapi kegiatan itu tidak berlangsung lama, sebab kilatan petir dan suara guntur tiba-tiba berdatangan.
Buru-buru Zhea membawa sang buah hati menjauh. Kembali ke dekat ranjang dan menyusui Zheza. "Tidur, ya, Nak. Mama harus memeriksa sesuatu," ucapnya sambil mengusap-usap kening Zheza.
Tak lama, putri cantiknya itu terlelap. "Anak pintar." Dengan gerakan pelan, Zhea melepas mulut Zheza dari payudaranya, lalu menidurkan bayi mungil itu di sebelahnya. Sengaja, ia tidak menidurkan Zheza di boks, karena takut guntur mengangetkan tidur bayinya itu.
"Aku harus segera memeriksa rekaman di kantor Zavier," gumamnya sambil membuka laptop.
Sambil menunggu koneksi tersambung ... Zhea merapalkan doa dalam hati. Memohon ketabahan, kekuatan dan kesabaran pada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Walau bagaimanapun juga, hatinya tidak bisa dibohongi, pasti ia akan merasa kian remuk jika kamera yang ia pasang berhasil merekam semua bukti perselingkuhan itu.
Zavier adalah cinta pertamanya. Lelaki yang berhasil membuat hatinya berdebar, sekaligus membuat ia yakin untuk mengarungi bahtera rumah tangga di usia muda.
"Tuhan, tolong kuatkan hamba." Ketika layar laptop mulai menampilkan gambar, Zhea sontak menahan napas. Dadanya mendadak sesak. Seolah paru-parunya gagal menghirup oksigen.
Setiap gerakan itu begitu jelas. Begitu jernih dan menusuk. Bahkan suara-suaranya pun ikut terekam. "Brengsek!" Kedua tangan Zhea mengepal di atas paha. Dia sungguh tak sanggup melihat adegan per adegan menjijikan itu. Tapi dia tidak punya pilihan demi meyakinkan hatinya untuk mengakhiri segalanya, sekaligus segera membongkar kebejatan sang suami pada keluarga besarnya. Terutama pada kedua orang tua Zavier.
Di tengah kekhusyukan itu, ponsel di sebelahnya berdering. Zhea menjeda sejenak video rekaman yang sedang ia tonton, melirik cepat ke layar ponselnya. Nama 'Suamiku' nampak memanggil. Seketika itu juga, rasa muak dan emosi menyentak dada. "Sabar, Zhea. Kamu harus bisa menahan amarah. Tinggal sedikit lagi. Tenang ... tenang." Zhea menarik napas dalam-dalam, membuangnya secara perlahan. Sebelum akhirnya ia mengangkat panggilan tersebut.
"Halo, Mas ..." Zhea mengeluarkan suaranya senormal mungkin.
Suara Zavier menyahut berat di seberang sana. "Sayang, maaf banget ya, malam ini ... aku lembur lagi. Kamu nggak usah nunggu aku. Tidur duluan saja."
Mendengar itu, senyum getir terbit di bibir Zhea. Namun ia tetap mengeluarkan suara ramah, lembut mendayu. "Iya, Mas. Semangat lemburnya ya, jangan lupa makan malam ... dan hati-hati. Jangan keluar kantor. Hujan."
"Iya, sayang. Aku tidak akan keluar kantor, kok. Malam ini tidak ada meeting di luar, hanya mengerjakan beberapa laporan untuk akhir tahun," sahut Zavier menjelaskan. Suaranya terdengar tumpang tindih dengan napas tersengal.
"Iya, Mas."
"Udah dulu, ya. Bye, istriku. Peluk cium untukmu dan juga putri kecilku."
Ketika telepon itu ditutup, Zhea langsung tertawa hambar. "Sudah cukup, Zavier. Rencana besar ini akan segera kulaksanakan. Malam ini juga ... aku akan menghubungi orang tuamu."
memang cocok mereka berdua sama-sama iblis
gimana yah reaksi zavier kalau lihat El lagi kuda" sama laki laki lain
seperti istrimu yg melihat mu pasti booom like nuklir