Dunia Yumna tiba-tiba berubah ketika sebuah video syur seorang wanita yang wajahnya mirip dengan dirinya sedang bercinta dengan pria tampan, di putar di layar lebar pada hari pernikahan.
Azriel menuduh Yumna sudah menjual dirinya kepada pria lain, lalu menjatuhkan talak beberapa saat setelah mengucapkan ijab qobul.
Terusir dari kampung halamannya, Yumna pun pergi merantau ke ibukota dan bekerja sebagai office girl di sebuah perusahaan penyiaran televisi swasta.
Suatu hari di tempat Yumna bekerja, kedatangan pegawai baru—Arundaru—yang wajahnya mirip dengan pria yang ada pada video syur bersama Yumna.
Kehidupan Yumna di tempat kerja terusik ketika Azriel juga bekerja di sana sebagai HRD baru dan ingin kembali menjalin hubungan asmara dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Arundaru duduk seorang diri di taman kecil di samping gedung ADTV. Meski ukurannya tidak luas, hanya beberapa meter persegi dengan pepohonan tinggi yang meneduhi sebagian area taman itu selalu menjadi tempat pelarian karyawan ketika pikiran mereka terasa penuh. Angin siang berhembus membawa aroma daun basah, sementara suara riuh dari kantin lantai bawah terdengar samar.
Arundaru meregangkan tubuhnya di kursi semen memanjang, tetapi wajahnya jelas tidak sedang menikmati ketenangan. Rahangnya menegang, matanya kosong menatap rerumputan, dan kakinya mengetuk-ngetuk lantai tanpa irama.
“Kenapa dia malah bekerja di sini? Apa sengaja karena mau mendekati Yumna lagi?” batin Arundaru.
Dari kejauhan, Yumna yang baru keluar dari gudang belakang melihat sosoknya. Ia sempat ragu menghampiri, tetapi akhirnya mendekat.
“Mas Arun, kok malah duduk di sini? Enggak makan siang?” tanya Yumna perlahan, mencondongkan tubuh sedikit untuk melihat ekspresi pria itu.
Arundaru melirik sebentar, lalu mengembuskan napas panjang.
“Nafsu makan aku hilang,” jawabnya datar.
Nada suaranya terasa berat. Jelas sekali Arundaru sedang menahan sesuatu. Dia cemburu, kesal, atau mungkin campuran dari semuanya.
Yumna menatap wajah pria itu beberapa detik.
Dia tahu Arundaru jarang menunjukkan emosi secara langsung, tetapi cara pria itu duduk saja sudah menjelaskan semuanya. Sambil tersenyum kecil, Yumna merogoh saku celemek kerjanya dan mengeluarkan sebatang cokelat wafer.
“Ini ada cokelat wafer, buat mengganjal perut,” kata Yumna sambil menyodorkan makanan itu.
Arundaru mengangkat kepala. Mereka beradu pandang beberapa saat. Ada sesuatu di mata pria itu, seperti sedang bertarung antara ingin tetap cemberut atau menyerah pada perhatian Yumna. Untuk sesaat, pria itu tidak menerima wafer itu.
Yumna melipat bibir, sedikit bingung, tetapi tetap tersenyum.
Lalu Arundaru akhirnya membuka mulut, “Jangan lupa nanti malam kita punya janji.”
“Tentu saja.” Yumna mengangguk pelan. Ia juga ingat itu. Janji makan malam untuk membahas tawaran kerja dari Pak Gunawan dan dukungan apa yang dapat Arundaru berikan. Ini yang ada di dalam pikirannya.
“Aku lapar,” gumam Arundaru akhirnya, mengambil wafer itu dan membuka plastiknya.
“Ya makanlah,” celetuk Yumna sambil terkekeh.
Begitu Arundaru menggigit wafer itu, wajahnya berubah seperti anak kecil yang baru mendapatkan permen kesukaan.
Seketika tawa Yumna pecah lebih keras.
Melihat tingkah pria itu. Dia bahkan menutup mulut agar suaranya tidak mengganggu yang lain.
“Apa Mas Arun ini anak bungsu ya?” batin Yumna. “Kok manja sekali kalau lagi merajuk.”
Arundaru menelan makanan itu lalu menatap Yumna sambil menunjuk wafernya.
“Kalau lapar, ya, makan, Mas!” ulang Yumna sambil menahan tawa lagi.
“Maunya makan sama kamu,” timpal Arundaru santai, seperti kalimat itu hal biasa.
Yumna terdiam sepersekian detik. Wajahnya memanas. “Aku sudah makan. Lagian sebentar lagi waktunya kerja lagi.”
Arundaru terkekeh ringan. “Benar kata kamu, wafer ini bisa mengganjal perut sampai pulang kerja nanti.”
Ia tersenyum lebar, seolah suasana hatinya sudah jauh membaik.
Yumna geleng-geleng kepala sebelum melanjutkan tugasnya.
Lantai tujuh sore itu terasa sibuk. Para pekerja bagian berita mondar-mandir membawa berkas, kamera besar diatur ulang posisinya, dan suara pembicaraan dengan nada cepat terdengar dari berbagai sudut ruangan. Yumna baru selesai mengepel sebagian lantai ketika matanya tanpa sengaja menatap Arundaru dari kejauhan.
Pria itu sedang memberi pengarahan pada seorang staf muda. Tubuhnya sedikit condong ke depan, wajahnya serius, tangan kanannya menunjuk layar komputer.
“Mas Arun kalau lagi kerja terlihat keren dan dewasa,” gumam Yumna dalam hati.
Sesaat kemudian, seolah menyadari tatapan seseorang, Arundaru menoleh. Ia melihat Yumna berdiri di dekat kamera besar, sambil memegang gagang pel lantai.
Arundaru mengangkat tangan dan melambai.
“Wah, kebetulan! Yumna, sini!”
Yumna tersentak. Ia melihat sekeliling, memastikan tidak ada yang memperhatikannya terlalu intens, tetapi para staf memang sudah melihatnya sejak tadi. Mau tak mau Yumna melangkah mendekat.
“Kenapa, Mas?” tanya Yumna pelan.
Arundaru menatapnya penuh semangat, seperti memanggil seseorang ke panggung audisi. Ia lalu memberikan beberapa lembar kertas kepada Yumna.
“Kemarin kamu ditawarin bekerja sebagai pembaca narasi berita, kan? Nih, sekarang kamu coba.”
Yumna menatap kertas itu. Tangan yang memegangnya sedikit bergetar.
“Di sini? Sekarang?”
“Iya. Tenang saja. Bukan live kok.”
Arundaru tersenyum menenangkan.
Yumna menghela napas pelan, lalu membaca kertas itu.
“Terjadi bencana longsor di kawasan Gunung Kembar Putri, pada dini hari tanggal 24 Januari 2025…”
Suaranya keluar pelan di awal, namun semakin lama semakin stabil. Nada bicaranya tenang, jelas, dan halus, tidak terlalu cepat, namun tidak lambat.
Para staf yang berada di ruangan itu saling menoleh. Beberapa bahkan secara refleks berhenti mengetik karena ingin mendengarkan lebih jelas.
Mereka tampak terkejut. Seorang office girl yang biasanya membersihkan ruangan itu punya suara sebagus ini?
“Wah, bagus!” ujar salah seorang penanggung jawab program, matanya berbinar. “Sekarang coba kamu rekam suara dulu.”
Yumna tersentak, “Eh, tapi—”
Tidak ada tapi. Beberapa staf langsung menyiapkan mikrofon kecil untuk percobaan. Sebelum Yumna sempat memprotes, Arundaru sudah menarik kursi untuknya.
“Ayo, kamu pasti bisa!” kata Arundaru sambil menepuk bahunya pelan.
Di depan mic, Yumna menelan ludah.
Jantungnya memukul rusuknya berkali-kali, tetapi dia mulai membaca naskah itu lagi. Kali ini dengan nada yang lebih mantap.
“Warga langsung menyelamatkan diri ketika mendengar suara keras seperti guntur besar ....”
Suaranya mengisi ruangan. Tenang. Hangat. Meyakinkan.
Setelah rekaman selesai, ruangan itu hening beberapa detik sebelum akhirnya seseorang berseru, “Bagus banget! Natural!”
“Lembut, tapi tetap tegas,” tambah yang lain.
Yumna menunduk, malu, tetapi tersenyum kecil. Ini pertama kalinya ia dipuji sebanyak itu dalam satu waktu.
“Nah, itu kamu bisa,” ujar Arundaru bangga. “Jadi kamu terima pekerjaan ini. Pak Gunawan tidak salah dalam menilai dirimu.”
Arundaru kembali menepuk kedua bahu Yumna.
Sentuhannya menenangkan, tetapi membuat pipi Yumna memanas.
“Ma-makasih, Mas,” gumam Yumna hampir tak terdengar.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Yumna merasa dirinya… dihargai. Diakui. Dan mungkin untuk pertama kalinya juga, dia merasa ada seseorang yang percaya padanya sepenuhnya.
Arundaru menatap Yumna lama, seolah ingin mengatakan sesuatu lagi. Tapi ia hanya tersenyum.
“Mulai besok, kamu latihan lagi sama aku, ya.”
Yumna mengangguk pelan.
“Baik, Mas Arun.”
Dalam hati kecilnya, sebuah harapan baru mulai tumbuh pelan, tapi jelas.
Modus mas Arun moduusss 😂😂😂
semoga keluarga Arun bisa menerima Yumna