Namaku Arian. Usia? Ya... paruh baya lah. Jangan tanya detail, nanti aku merasa tua. Yang jelas, aku hidup normal—bekerja, makan, tidur, dan menghabiskan waktu dengan nonton anime atau baca manga. Kekuatan super? Sihir? Dunia lain? Aku suka banget semua itu.
Dan jujur aja, mungkin aku terlalu tenggelam dalam semua itu. Sampai-sampai aku latihan bela diri diam-diam. Belajar teknik pedang dari video online. Latihan fisik tiap pagi.
Semua demi satu alasan sederhana: Kalau suatu hari dunia ini tiba-tiba berubah seperti di anime, aku mau siap.
Konyol, ya? Aku juga mikir gitu… sampai hari itu datang. Aku bereinkarnasi.
Ini kisahku. Dari seorang otaku paruh baya yang mati konyol, menjadi petarung sejati di dunia sihir.
Namaku Arian. Dan ini... awal dari legenda Raja Arlan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BigMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 23 - Dilema dan Operasi Oppai... Eh, Pemberontakan!
Aku masih termenung sendirian di dalam kamar, menatap kosong ke arah jendela yang terbuka.
Angin malam menyelinap masuk, membawa hawa dingin yang bahkan tak bisa menenangkan pikiranku yang kusut.
Kenapa... Kenapa dia bisa tahu? Maksudku, aku sudah berusaha sebisa mungkin menyamarkan gerak-gerik. Pura-pura lemah, pura-pura bodoh, bahkan jalan pun pakai kursi roda... Semua rencana berjalan mulus—sampai muncul makhluk aneh bernama Putri Kayla itu.
Dengan sepasang mata jenakanya, ia menatapku seolah berkata, "Aku tahu siapa kamu sebenarnya."
Aku menghela napas panjang. Apakah dia memang secerdas itu...? Atau hanya sekadar nekat melempar tebakan dan... aku, si bodoh ini, malah panik lalu mengakuinya?
Sungguh, refleksi diri ini terasa seperti menampar wajahku berkali-kali.
Bimbang.
Frustrasi.
Aku seperti seekor kelinci yang baru sadar sudah masuk ke dalam perangkap sendiri.
Kalau memang dia hanya menebak, berarti aku ini yang terlalu ceroboh. Tapi kalau memang dia benar-benar punya... jaringan intelijen, kontak di antara para penjaga istana, informan tersebar, kendali isu sosial, bahkan bisa memetakan kekuatan negara...
Itu bukan cuma "masalah besar".
Itu jackpot.
Seperti dihantam petir... oleh Kakek Zeus... seribu kali... sambil ketiban emas.
Aku menggenggam lengan kursi roda. Otakku rasanya seperti mendidih. Ini... ini jalan pintas yang gila.
Dengan satu langkah, aku bisa melompati bertahun-tahun perencanaan. Membangun kekuatan dalam bayangan. Menguasai informasi, kekuatan, pengaruh...
Dan mungkin, dengan sedikit keberuntungan... Aku juga bisa menguasai sesuatu yang lain. Sesuatu yang—aku menutup mata, menampar pipiku sendiri. "Payudara itu bukan tujuan hidup, Arlan," aku membatin keras. Meskipun... ukurannya itu... Ah, tidak. Fokus, Arlan, fokus!
Aku mendengus dan meluruskan punggung.
Keputusan ini terlalu penting untuk dikacaukan hanya karena dua gundukan dosa.
Satu hal yang pasti: aku perlu mengujinya.
Menguji apakah dia benar-benar bisa dipercaya, atau cuma gadis licik yang ingin memperalatku.
Rasanya aku belum siap mengambil keputusan malam ini, tapi mungkin saat pertemuan kedua... Aku harus memastikannya.
Untung saja, takdir seolah ikut campur.
Karena malam berikutnya, saat bintang-bintang masih berkilauan di atas sana, dan penjaga istana sibuk dengan patroli malamnya... Seseorang menyusup ke balkoni kamarku lagi, seolah dunia ini tak memiliki pintu.
Sosok yang kukenal.
Putri Kayla.
Dengan senyuman cerah seperti anak kecil yang baru saja mencuri kue dari dapur, ia melambai kecil dari pinggiran balkon. Gaunnya berkibar pelan, rambut panjangnya tergerai dalam hembusan angin.
Aku nyaris melompat dari kursi roda.
"Aku datang untuk pamit," katanya, dengan suara pelan namun penuh semangat.
"Aku akan kembali ke kerajaanku besok pagi."
Aku mengerjap. Kesempatan ini... datang terlalu sempurna.
Kalau memang dia ingin membangun hubungan kepercayaan denganku... Ini saatnya memberinya ujian.
Ujian kecil.
Sebuah misi.
Aku menyeringai tipis, menatap mata Kayla yang berbinar. "Kalau begitu... sebelum kamu pergi," kataku perlahan, "aku punya satu permintaan."
Permintaan yang akan menentukan: Apakah dia akan menjadi sekutuku—atau musuh yang harus kuhancurkan diam-diam.
Kayla mendekat dengan langkah ringan, seolah menyatu dengan bayangan malam.
Kalau saja aku tak tahu siapa dia, mungkin aku bakal mengira dia semacam peri malam yang tersesat.
Tapi yang satu ini... terlalu berbahaya untuk dibiarkan berkeliaran tanpa kendali.
"Apa pun itu... Aku siap menerima permintaanmu," katanya, suaranya rendah dan menggoda, matanya berbinar.
Aku mengangkat satu alis.
Apapun?
Hati-hati, Nona. Jangan ucapkan kata-kata berat seperti itu di depanku.
Aku menghela napas panjang, mencoba terlihat sebijaksana mungkin—meskipun di dalam kepala, aku masih berdebat antara "Arlan si jenius" dan "Arlan si pecinta Oppai".
Fokus, Arlan. Fokus.
Aku menatap Kayla lurus-lurus.
Tak ada lagi waktu untuk bermain-main.
"Kalau kau sungguh ingin membuktikan bahwa kau bisa dipercaya," aku mulai dengan nada berat, "aku ingin kau mencari sesuatu untukku."
Kayla mencondongkan tubuh sedikit, wajahnya serius.
Aku melanjutkan:
"Cari tahu... siapa dalang di balik rencana pemberontakan yang sedang mengintai kerajaan ini."
Suasana terasa mengeras.
Angin malam membawa hawa dingin aneh, seakan semesta ikut menahan napas.
Aku bisa melihat pupil Kayla menyempit sedikit.
Tapi dia tidak langsung menjawab.
Dia berpikir. Menganalisis.
Bagus. Ini bukan tugas sembarangan.
"Aku tidak butuh rumor. Aku butuh bukti. Nama. Kekuatan yang mereka punya. Jaringan mereka. Siapa yang mereka dekati. Dan kapan mereka berencana bergerak."
Aku berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan tekanan:
"Jika kau bisa membawakanku informasi itu... bukan hanya kepercayaanku yang kau dapatkan, tapi juga... tempat di sisiku."
Kayla mengangkat dagunya, bibirnya melengkung dalam senyuman berbahaya.
"Fufu... Menarik. Sangat menarik, Pangeran Arlan."
Dia berbalik, melangkah santai ke tepi balkon, seperti burung malam yang siap terbang.
Sebelum melompat pergi, dia menoleh sekali lagi.
"Oh, dan sebagai tanda bahwa aku serius..."
Dia merogoh saku kecil di roknya (yang... kenapa jadi fokus ke rok?), lalu melemparkan sesuatu ke arahku.
Aku refleks menangkapnya.
Sebuah bros kecil, berbentuk burung bertanduk, ukiran khas dari bangsawan utara.
Aku menatapnya bingung.
"Itu," katanya sambil terkikik, "adalah lambang salah satu keluarga yang... mungkin punya keterkaitan dengan masalahmu."
Dia mengedipkan sebelah mata.
"Anggap ini sebagai pemanasan. Sampai kita bertemu lagi, Sayang."
Dan dengan lompatan anggun—yang terlalu anggun sampai aku harus menahan diri untuk tidak berdehem—Kayla menghilang ke dalam kegelapan.
Meninggalkanku dengan bros kecil di tangan... dan perasaan yang jauh lebih berat di hati.
Aku memandangi benda itu, jantungku berdebar.
Jika ini serius...
Jika dia benar-benar bisa mendapatkan jawabannya...
Maka ini...
Bisa jadi awal dari perubahan besar.
Untukku.
Untuk kerajaan ini.
Dan mungkin... untuk dunia.