Perasaan mereka seolah terlarang, padahal untuk apa mereka bersama jika tidak bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Flaseona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Can We? Episode 04.
...« Adek disuapin?! »...
Perjalanan membutuhkan waktu yang lama. Dari Arasya yang bersemangat mendengar Devan karaokean bersama kerabat lain, sampai bosan dan terkantuk-kantuk di tempat duduknya.
Gavan tahu jika si kecil mengantuk pun berusaha untuk memberikan kenyamanan pada Arasya.
“Mas, masih lama?” gumam Arasya bertanya saat merasakan jika Gavan menariknya untuk bersandar. Arasya sedang berada di antara sadar dan tidak sadar.
“Masih. Tidur aja.” Jawab Gavan singkat.
Arasya yang tidak bisa menahan kantuknya hanya mengangguk tanda mendengar jawaban Gavan.
“Wah, ternyata Adeknya deket banget sama Mas Gavan, ya.”
Bapak-Bapak yang duduk di deretan kursi Gavan dan Arasya terus-terusan bertanya sejak tadi. Gavan tidak keberatan akan hal itu. Tetapi sang adik yang berada tepat di depannya sering mengambil alih pembicaraan.
“Enggak, Pak. Dia lebih deket sama Devan dari pada saya.” Jawab Gavan.
“Lha itu kok bisa nempel sama Mas Gavan? Bohong ya, Mas.”
Gavan terkekeh saat dirinya dituduh berbohong oleh si Bapak.
“Iya, Pak, bohong. Aslinya mah Adek deket banget sama Mas Gavan. Waktu masih kecil kemana-mana yang ditanyain Mas Gavan mulu. Tapi kalau sekarang ada benernya Adek lebih deket sama saya, soalnya Mas Gavan ‘kan sibuk kerja.” Penjelasan dari Devan sepertinya membuat si Bapak kenyang.
Pria paruh baya itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu sibuk berbincang bersama Devan dengan topik yang berbeda.
Gavan yang merasa terbebas dari sesi interview segera beralih fokus ke Arasya. Gadis tersebut memeluknya sangat erat, menyandarkan kepalanya di dada bidang milik Gavan.
Tidak ada kecanggungan seperti di saat Arasya masih sadar. Gavan melihat hanya ada si kecil yang manja.
...•••...
Duabelas jam ditempuh rombongan tersebut menuju ke tempat tujuan. Dan akhirnya sampailah mereka di pernikahan kerabat keluarga Janala.
Pernikahan diselenggarakan di halaman luas milik pengantin pria. Meskipun tidak di dalam gedung, dekorasi tempatnya terlihat sangat mewah. Makanan dan minuman memiliki banyak macam yang menggugah selera para tamu. Tidak hanya dari rombongan pengantin wanita, tamu dari pengantin pria dan keluarga besar mereka menyambut secara keseluruhan atas kedatangan pihak keluarga wanita.
Arasya sudah mengambil tempat duduk, sedang berdiam diri menunggu Senaza selesai mengepang rambutnya. Gadis itu membawa sebuah kipas angin portable, menyapu bagian wajah dan lehernya yang berkeringat. Matanya awas memandangi para tamu undangan yang sibuk bersalaman dengan sepasang pengantin di atas pelaminan.
“Selesai. Adek haus gak?” tanya Senaza yang mendudukkan dirinya di samping Arasya. Walaupun kata selesai sudah diumumkan, tangan Senaza masih sibuk merapikan anak rambut Arasya dan poni gadis itu agar tidak menutupi dahinya.
Arasya mengangguk sebagai jawaban, “tapi rame, Kak. Nunggu Mas Devan aja, hehehe...”
Senaza ikut mengangguk, setuju. Ia juga malas mengantri pada kerumunan di sana. Mungkin saking panasnya, minuman dingin terlihat sangat laris dipilih oleh para tamu.
“Dor!”
Arasya dan Senaza berjingkat kaget, bersamaan menoleh dan menampar si empu karena kesal.
“Ngapain sih kayak gitu, Yang!” Senaza mengerucutkan bibirnya saat Devan tertawa terbahak-bahak.
“Komuk kalian lucu banget dah.”
Arasya ikut bersungut, “iyalah. Emang wajah Mas Devan, serem!”
Gavan yang mengambil duduk di samping Arasya, tertawa geli.
“Dih apaan sih, adek kecil gak usah ikut-ikut, ya.” Devan tidak mau kalah, seakan terus ingin membuat si kecil lebih murka.
“Mas, Kak, Dek, eh ayo-ayo ke belakang, makan dulu!” Mami rempong mengajak semua anaknya ke bagian belakang.
“Hah, kemana sih, Mi? Disini juga ada makanan.” Devan si paling tidak mau ribet menolak ajakan Mami.
“Di belakang lebih enak makanannya. Terus disini panas, kasihan Kakak sama Adek. Ayo, ah, nurut kenapa sama Mami. Dikasih ruang VIP juga.” cerocos si Mami.
Mami sudah menggandeng Arasya dan Senaza, sehingga laki-laki yang tersisa mau tidak mau mengikuti dari belakang.
“Mas Gavan ambilin adeknya makan sama minum. Mami balik dulu bantuin di depan. Nanti disana ya duduknya, nyaman. Adek, Mami balik dulu.” Pamit Mami pada si kecil sembari membubuhkan satu kecupan di pipi gembilnya.
“Mamimu, Mas. Rusuh banget perasaan.” Cibir Devan. Kemudian lelaki itu yang pertama kali menggapai piring untuk dirinya sendiri dan sang istri.
“Yang, kok gak ada kuah? Dek Ara kesusahan makannya dong.” Ujar Senaza setelah meneliti menu prasmanan didepannya.
“Lha iya, suapin aja, Yang.”
Senaza mengangguk, baru ingin angkat bicara, Gavan sudah mendahului.
“Biar Mas aja yang suapin.”
Senaza dan Devan saling bertatapan, kemudian mengangguk setuju tanpa mendebat.
Gavan yang melihat si kecil seperti anak tersesat, menyuruh Arasya untuk duduk terlebih dahulu. Beralasan agar tempat mereka tidak diduduki orang lain.
Arasya hanya mengangguk saja, mengambil dua gelas yang sudah diisi minuman dingin. “Aku bawain punya Mas.” Lalu setelahnya ia berjalan cepat menuju sofa di dalam rumah.
Beberapa menit kemudian, ketiga orang yang lebih tua masuk bersamaan. Arasya dengan tidak sabar menunggu, menatap Gavan kebingungan karena lelaki itu hanya membawa satu piring.
“Punyaku mana?” tanya Arasya.
“Adek disuapin aja, ya. Kamu nanti kesusahan kalau makan sendiri, soalnya gak ada menu kuah disini. Gapapa ya disuapin Mas Gavan.” Senaza segera memberi penjelasan.
“Eh? Enggak. Gapapa kok aku makan sendiri. Gak kesusahan, Kakak. Yaudah aku ambil sendiri aja deh.”
Belum sempat Arasya beranjak dari duduknya, suara perintah dari Gavan terdengar mengerikan. “Duduk.”
Hanya satu kata tetapi membuat semua orang di sana bungkam.
“Udahlah, Dek. Enak disuapin Mas Gavan. Kamu pas kecil lho sering, sama aja ‘kan.” Devan lagi-lagi mengingatkan masa lalu yang sudah dilupakan oleh Arasya.
“Yakan itu dulu, aku masih kecil. Sekarang udah gede. Malu dilihatnya.”
“Dih, dih, kemarinan pas makan siang ngerengek buat disuapin siapa, ya? Inisial Arasya.” Devan semakin menjadi-jadi.
“Itu sama Kak Sena! Beda!”
“Gak ada bedanya. Buka mulutnya.” Gavan sudah mengambil alih fokus Arasya.
“Ihhhhhhh!!!!” kesal Arasya bersungut-sungut.
Tetapi tetap membuka mulutnya, menerima suapan dari tangan kosong milik Gavan. Ya, tidak memakai sendok. Gavan selalu makan tanpa alat makan.
Dengan tatapan sinis, Arasya merajuk pada Devan. Yang cekikikan merasa menang pada perdebatan tidak bermutu itu. Jangan tanya Senaza, wanita itu sudah asik mukbang semua makanannya.
“Aaaa.” Ucap Gavan.
Arasya mengerucutkan bibirnya. “Itu apa ijo-ijo? Aku gak mau!”
Gavan mengernyit. “Gak ada hijau, Adek. Ayo, cepet, keburu dingin nanti.”
“Ihhh, itu lho di nasinya, Mas. Gak mau sayur!!!”
Mulai ‘kan, rewelnya? Devan berpura-pura tuli, takut tiba-tiba kena semprot.
“Mana ini lho, gak ada. Bumbu ayamnya yang warna hijau.” Karena tidak kunjung percaya, Gavan memperlihatkan isi piring pada Arasya.
Lalu tanpa disuruh, Arasya membuka mulutnya. Menatap Gavan yang ikut menyuapi dirinya sendiri. Sepiring berdua. Memangnya kenyang?
Dan benar saja, saat Gavan selesai menyuapi Arasya. Gadis itu masih lapar, mengikuti Gavan dari belakang secara diam-diam dengan membawa segelas air dinginnya.
Gavan terlihat mengambil lagi, tetapi kali ini penuh dengan sayuran. Arasya menghela nafas kecewa.
“Mas, Adekmu lho lihaten.” Celetuk Devan yang ingin keluar ruangan.
Arasya gelagapan, menggeleng brutal saat Gavan membalikkan badannya.
“Sini, duduk sini kalau masih laper.” Tunjuk Gavan dengan dagunya pada kursi plastik didekat meja makanan.
Arasya masih tetap menggeleng, gengsi. Apalagi menu yang diambil Gavan bukan yang disukai Arasya.
“Dek, ayo sini duduk depan Mas.” Suaranya yang memerintah selalu membuat Arasya ketakutan. Seram. Membuat si kecil takluk tanpa banyak kata.
“Hilih, tadi aja nolak. Gamau, beda, malu.” Cibir Devan yang muncul dari luar.
“Devan. Keluar aja kalau godain Adeknya terus.” Peringat Gavan.
“Kaburrrr...” Ujar Devan, setengah mengejek ke arah Arasya yang semakin bersungut-sungut ingin melempari Devan dengan apapun.
“Sini, madep sini, Dek.”
“Tapi aku gak mau sayur.”
“Iya, enggak. Ini buat Mas.”
“Mau itu, mie...”
Tangan Gavan sibuk mengumpulkan lauk yang ingin di makan oleh Arasya. Dan setelah puas, gadis itu membuka mulutnya minta disuapi.
“Eh, Mas Gavan. Nanti bantuin Bapak masang lampu di rumah sebelahnya.” Ujar si Bapak yang terlihat familiar di mata Arasya.
“Siap, Pak. Makan dulu ini. Bapak sudah makan?”
“Sudah-sudah. Tadi Bapak cari kamu ke Mas Devan. Dikasih tau disini. Katanya suapin adeknya karena lagi rewel.”
Arasya melebarkan matanya, Devan lagi-lagi selalu jail kepadanya. Lihat nanti, Arasya akan menggigit Devan sampai lelaki itu memohon ampun padanya.
...« Terima kasih sudah membaca »...