Perjalanan NusaNTara dan keluarga didunia spiritual. Dunia yang dipenuhi Wayang Kulit dan Hewan Buas yang menemani perjalanan. Mencari tempat-tempat yang indah dan menarik, demi mewujudkan impian masa kecil. Tapi, sebuah tali yang bernama takdir, menarik mereka untuk ikut dalam rangkaian peristiwa besar. Melewati perselisihan, kerusuhan, kelahiran, kehancuran dan pemusnahan. Sampai segolongan menjadi pemilik hak yang menulis sejarah. Apapun itu, pendahulu belum tentu pemilik.
"Yoo Wan, selamat membaca. Walau akan sedikit aneh."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jonda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengejar Petunjuk. Bakteri Pembunuh Virus.
# Cover Story; Perjalanan Tuan Dodi
Pak Dodi melewati kampung tempat terjadinya peristiwa pembantaian. Dia memandang kampung itu dengan tatapan kesedihan.
Istrinya yang duduk di sampingnya memeluknya untuk menghiburnya.
"Itu bukan salahmu."
##
** Pagi harinya. Di dalam penginapan.
Yudha metakkan karung yang berisi tebu di atas lingkaran Aksara dan mengirimnya ke rumah Tian.
"Semoga Lala dan Lili mengampuni kita," ucap Yudha dengan harapan tebu yang di kirimnya di terima.
"Tenang. Tidak bisa main dengan Lala dan Lili, bisa main dengan yang lain," ucap Supa tenang karena masih ada jalan lain. Dia sedang memakan tebu.
"Kau enak, kalian tetangga. Sedangkan aku? Bisa datang kalau di ajak Tian," keluh Yudha membandingkan nasibnya.
"Sudahlah, lupakan saja itu. Nanti aku ajak kau kerumah. Sekarang, kau ambil petunjuknya, tidak? Aku tadi malam lupa mau ambil karena terlalu senang dapat bantal Loli Idol."
Yudha bangun dari posisi jongkoknya.
"Ya. Aku sempat mengambil beberapa."
Yudha pergi ke meja dekat jendela. Dia mengeluarkan batang bambu yang berisi cairan berwarna merah dari tasnya. Dia membuka mata kanannya dan memeriksa cairan apa itu.
Supa melihat temannya membuka mata kanannya dan melihat bambu itu seperti sedang memeriksa. Pupil mata Yudha berbentuk kotak.
"Apakah matamu bisa mengetahui cairan apa itu?" tanya Supa penasaran dengan kemampuan mata Yudha.
"Iya. Aku bisa mengetahui semua informasi benda yang berwujud," balas Yudha sambil memeriksa.
"Berarti kau tidak bisa melihat di sebalik tembok?" pikir Supa.
"Kalau hanya menggunakan mata, iya. Tapi aku mengkombinasikan antara kemampuan mata dan Energi Spiritual, jadi aku bisa melihat benda yang di sebalik tembok," ungkap Yudha.
"Berarti kau punya mata yang hebat. Apa kau bisa mengintip orang mandi?" tanya Supa sedikit bersemangat.
"Bisa, tapi kemampuan mata ini terbatas. Aku hanya bisa melihat bentuknya, tapi tidak bisa melihat rupa dan detail dari target," ungkap Yudha.
"Kalau untuk bisa melihat informasi, ini memang kemampuan asli mata ini," lanjut Yudha.
"Apa matamu bisa melakukan hal lain, seperti ... melihat masa depan?"
"Bisa, lebih tepatnya, menghilangkan jeda. Otak kita perlu waktu untuk memproses informasi visual yang dilihat mata. Jadi, yang kita lihat dan lakukan sekarang telah terjadi beberapa milidetik sebelumnya.Mata ini bisa menghilangkan waktu pemrosesan informasi itu."
"Eeeee?" Supa kebingungan.
"Ya. Aku bisa melihat masa depan, hanya salama kedipan mata." Yudha melihat temannya seperti tidak paham penjelasannya. Dia menyederhanakan penjelasannya.
"Artinya tidak terlalu berpengaruh?"
"Dalam kegiatan sehari-hari, iya. Tapi kalau dalam pertarungan, itu sangat berguna," balas Yudha
"Ternyata ini kegunaan cairan ini." Yudha akhirnya berhasil mendapat informasi tentang kegunaan cairan itu.
"Butuh waktu ternyata."
"Untuk menganalisis informasi baru memang butuh waktu. Ini bukan mata super. Mata ini hanya membantuku mendapat dan memproses informasi." Yudha memasukkan botol bambu itu kembali.
"Pantas kau pintar," ucap Supa mengira Yudha bisa pintar karena punya mata itu.
"Aku dapat mata ini sehari sebelum kita memulai perjalanan bersama. Bukankah kau bertemu denganku pertama kali, saat itu aku sedang di perpustakaan?"
"Iya juga. Ah, terserahlah. Bagaimana hasil pemeriksaan mu?"
"Ini adalah bakteri. Bakteri yang bisa membunuh virus," ungkap Yudha.
"Virus? Virus apa?" tanya Supa bingung.
"Ku jelaskan kau tidak akan paham. Ayo, kita akan menculik seseorang," ajak Yudha melakukan rencana selanjutnya.
"Itu tidak ada dalam rencana," ucap Supa merasa ajakan Yudha terlalu mendadak.
"Perubahan rencana. Kita culik pemuda itu untuk mencari tahu di mana lokasi bakteri ini di produksi atau tempat eksperimen bakteri ini." Yudha membuat lingkaran Aksara.
"Nah, gini dong. Langsung aksi." Supa terlihat senang karena akan ada pertempuran.
"Aksi tanpa informasi hanya akan membuatmu seperti bola yang menggelinding tanpa jalur."
...****************...
** Kampung tempat tinggal Roni
Yudha dan Supa mendatangi rumah Roni. Mereka menyamar dengan berpenampilan seperti pendekar. Yudha menutup wajah kanannya dengan lacak untuk menutupi Tatto miliknya. Mereka membawa gerobak agar terlihat seperti komplotan Roni yang biasa menjemputnya.
"Tok, tok, tok." Yudha mengetuk pintu.
"...." Tidak ada jawaban dari dalam.
"Tok, tok, tok." Supa mengetuk pintu.
"...." Belum ada jawaban.
"Tidak ada orang mungkin, ya?" ucap Supa.
"Sekali lagi." Yudha kembali mengetuk pintu.
"Tok, tok, tok."
"...." Masih tidak ada jawaban.
"Dia malas buka atau apa, sih?" Yudha terlihat marah karena tidak ada seorang pun yang membuka pintu. Dia ingin mendobrak pintu dengan kakinya tapi di hentikan Yudha.
"Kita sudah mengetuk tiga kali. Kalau tidak ada jawaban berarti tidak ada orang di dalam, atau mereka tidak ingin menerima tamu. Kita harus pergi dan kembali lain waktu. Itu etika dasar bertamu," jelas Yudha mengajari Supa sopan santun.
"Ayo kita pergi saja," ajak Yudha. Dia berbalik dan pergi ke gerobak.
Supa masih diam di depan pintu.
"Katanya mau menculik, kenapa harus pakai sopan santun? Padahal menculik malah melanggar sopan santun," ucap Supa merasa aneh dengan konsep berpikir Yudha.
"Kita harus menggunakan cara yang berbeda, Su. Biasanya target menolak untuk di culik, tapi kita pakai cara targetnya mau di culik. Itulah mengapa kita menyamar, agar terlihat seperti komplotannya membawanya seperti biasa. Itu baru mulus," jelas Yudha. Yudha naik ke gerobak.
"Sungguh rumit pemikiran orang pintar." Supa merasa pemikiran orang pintar itu rumit. Dia juga kadang bingung dengan rencana Tian, karena dia juga orang yang cerdas. Padalah, Yudha hanya ingin rencananya terlihat estetik.
"Kyaaaaa."
Terdengar teriakan seorang wanita dari dalam rumah. Yudha dan Supa tersentak mendengar teriakan itu.
Supa langsung menendang pintu rumah dan bergegas masuk.
Yudha langsung melompat dari gerobak dan berlari kedalam rumah.
Supa berhenti untuk mencari sumber suara. Yudha berhenti di sampingnya. Mereka tolah-toleh mencari keberadaan wanita itu.
"Dia dapur!" teriak Yudha.
Mereka bergegas pergi kedapur.
Sesampainya di dapur mereka melihat seorang wanita yang sedang berdiri di atas kursi. Wanita itu terlihat ketakutan sambil memegang tutup panci dan sapu.
"Ada apa?" tanya Yudha.
"Tikus!" jawab wanita itu.
"Tikus? Mana?" tanya Supa sambil tolah-toleh.
"Tidak tau! Tadi ada!" ucap wanita itu ketakutan.
Supa menggunakan hidungnya untuk mengendus bau. Dia mencari bau dari tikus itu.
"Di sana! Di pojokan! Dia balik kendi!" teriak Supa.
Yudha langsung memeriksa di balik kendi.
Supa mengeluarkan bambu kecil dan mengemutnya.
"Ciiiiiit!"
Tikus keluar dari persembunyiannya dan merayap, berpindah tempat sembunyi.
Yudha terus mencari keberadaan tikus itu dengan membalik dan memindahkan kendi.
Supa bersiap untuk melakukan tembakan. Saan tikus muncul, Supa langsung meniup bambunya dan sebuah jarum melesat mengenai kepala tikus. Tikus mati seketika.
"Yeesss, fuuuhh." Supa meniup ujung bambu seakan berselebrasi.
Yudha mengambil tikus itu dan memeriksanya. Dia terkejut ketika mengetahui kondisi tikus. Dia merasa tikus itu bukan sembarang tikus. Dia memasukkan tikus ke dalam tasnya.
"Bruukk." Wanita itu ambruk dan terjatuh dari kursi.
Yudha dan Supa terkejut dan langsung menghampiri wanita itu.
"Plak, plak, plak."
"Hei! Bangun!" Supa menampar pipi wanita itu untuk membangunkannya.
"Kelewat pintar kau! Seorang pasien sedang dalam kondisi kritis malah kau tampar! Minggir!" Yudha membuka matanya dan memeriksa kondisi wanita itu.
"Penyakitnya kambuh," ungkap Yudha dengan nada tenang.
"Penyakit apa?" tanya Supa. Dia tidak menunjukkan rasa cemas sedikitpun. Malah Supa seperti tidak perduli.
"Mmm, anemia. Dia sepertinya kekurangan gizi," jawab Yudha.
Yudha hanya menangani seperlunya. Memeriksa nafas, denyut nadi, meninggikan kakinya dan membuka jendela dan pintu, agar udara bisa masuk. Karena tidak ada keluarga pasien, dia tidak berani mengambil langkah lebih.
Yudha memperhatikan ruangan itu. Sepertinya itu ruang dapur dan makan, tapi dia tidak menjumpai makanan. Dia melihat peralatan dapur juga sudah ada yang usang. Dia menundukkan kepalanya karena prihatin dengan kondisi keluarga ini.
Supa melihat ada panci di tungku api. Dia melihat ke dalam panci, ada jagung yang sedang di rebus.
"Sepertinya dia sedang memasak. Ada jagung yang sedang di rebus. Apa kita beri dia makan jagung saja?" ucap Supa.
"Jangan. Orang pingsan jangan di beri makanan lewat mulut," balas Yudha.
"Terus gimana?" tanya Supa tidak tau mau melakukan apa.
"Kita tunggu keluarganya. Mungkin anaknya sedang keluar."
"Tapi sampai kapan kita menunggunya?" ucap Supa merasa frustasi kerana rencananya tidak berjalan dan sekarang harus mengurus pasien.
"Tidak tau. Mungkin hingga malam."
"Aku tunggu di luar saja," ucap Supa sedikit kesal. Dia pun pergi ke depan rumah. Dia tidak suka dengan sikap temannya, tapi dia tidak bisa mencegah temannya melakukannya. Sikap itulah yang menjadikan dirinya 'Yudha'.
* Orang yang berilmu memiliki tanggung jawab terhadap ilmunya *
* Pentingkan kemanusiaan melebihi ego *
Yudha paham dengan apa yang di pikirkan temannya. Supa ingin segera menyelesaikan urusan mereka dan melanjutkan rencana. Tapi dia juga tidak bisa meninggalkan seseorang yang tidak berdaya.
Supa tipe orang yang berjalan hanya melihat tujuan. Sedangkan Yudha adalah orang yang berjalan mengejar tujuan sambil memperhatikan jalan yang dia lalui.
Supa bersandar di gerobak. Wajahnya masih tampak kesal. Dia belum bisa menyesuaikan diri bekerja sama dengan Yudha. Dia lebih suka bekerja sama dengan Tian.
Supa merasa ada hembusan angin di sampingnya. Di melirik lewat sudut matanya dan melihat tangan yang di hunuskan ke lehernya. Tangan itu di lapisi Aura. Supa melihat pemilik tangan itu yang ternyata adalah Roni.
Roni memandang sinis ke Supa. Dia terlihat tidak menyukai kehadiran Supa. Dia memperlihatkan ekspresi mengancam. Dia memegang cangkulnya seakan bersiap untuk menyerang.
"Siapa kau, cok? Kenapa kau di rumahku? Apa kau punya urusan denganku, hah? Jawab!" gertak Roni.
Supa menjepit tangan Roni dan menurunkannya dengan santai.
Roni berusaha menarik tangannya tapi tidak bisa. Dia seakan di jepit oleh gigitan harimau. Dia merasakan intimidasi yang kuat dari tatapan Supa yang datar.
"Ibumu pingsan di dalam. Kau lebih baik memeriksanya dulu," ucap Supa dingin. Supa melemparkan tangan Roni.
"Apa?"
Roni langsung bergegas masuk ke dalam rumah. Dia mencari ibunya di kamar—tidak ada. Dia lalu berlari ke dapur. Di sana dia melihat ibunya duduk di lantai sambil minum air. Yudha duduk di sampingnya.
"Ibu!" Roni bergegas duduk di depan ibunya dan memeriksa ibunya.
"Ibu tidak apa-apa?" tanya Roni.
Ibunya mengangguk.
"Bawa ibumu ke kamar. Biarkan dia istirahat," ucap Yudha.
Tanpa pikir panjang, Roni menggendong ibunya menuju kamar.
Yudha berjalan keluar rumah, menyusul Supa. Supa terlihat masih kesal. Yudha hanya diam melihat sikap temannya.
Roni keluar dan menghampiri mereka berdua.
"Terima kasih. Berkat kalian, ibuku masih tertolong," ucap Roni sambil menundukkan kepalanya.
"Padanya. Jangan padaku." Supa menunjuk Yudha. Dia merasa tidak ikut campur dalam masalah ini.
Roni melihat perilaku Supa seperti dia tidak akur dengan Yudha.
"Sama-sama. Aku kesini hanya ingin bertanya sesuatu." Yudha tidak mau basa-basi karena temannya sudah tidak sabar.
Yudha menunjukkan botol bambu yang berisi cairan bakteri. "Apa ini?"
Roni melihat botol itu dan merasa tidak tau apa itu. Dia hanya menggelengkan kepalanya.
"Kau tidak tau? Padahal kau selalu mengantarnya ke gudang di Ibu kota," ucap Yudha merasa jawaban Roni tidak masuk akal.
"Benarkah? Aku hanya di suruh mengangkut barang tanpa tau isinya. Yang penting aku di bayar," jawab Roni jujur.
"Lalu, apa yang kau lakukan di Provinsi Krambil Madya? Aku melihatmu bersama beberapa target kami," tanya Supa.
"Mmm, mungkin yang kau lihat itu kakakku. Dia memang bekerja di Krambil Madya. Aku juga tidak tau dia bekerja apa. Tapi dia sering mengirim uang ke rumah," jawab Roni.
"Kau tau di mana tempat kerja kakak mu?" tanya Supa.
"Tentram atau Tentrem, aku sedikit lupa," jawab Roni mencoba mengingat.
Yudha dan Supa saling memandang. Mereka tau langkah mereka selanjutnya.
Yudha melemparkan sebuah kantong kulit.
"Bayaran atas informasi mu."
Yudha dan Supa langsung bergegas naik gerobak. Mereka langsung pergi meninggalkan rumah Roni.
Roni melihat mereka pergi dan terlihat bingung. Dia masih mencoba mencerna apa yang sudah terjadi. Dia akhirnya tersadar dan dia memegangi kepalanya karena sakit.
"Apa yang aku lakukan di sini? Perasaan aku tadi membawa cangkul, kenapa sekarang malah kantong?" Roni merasa kebingungan. Dia merasa seperti ada sesuatu yang terlewat yang dia lupakan.
"Roni, apakah mereka sudah pergi?" tanya ibunya Roni yang berdiri di ambang pintu.
"Ibu. Mereka siapa?" tanya Roni bingung dengan pertanyaan ibunya.
"Yang tadi menyelamatkan ibu. Apa mereka sudah pergi?" tanya ibu dengan suara agak serak.
"Iya. Baru saja mere—! Tunggu! Menyela atkan ibu? Apa maksud ibu? Ibu tadi kecelakaan?" ucap Roni cemas dan langsung mendatangi ibunya.
Ibunya memiringkan kepalanya karena bingung. Dia berpikir apa anaknya hilang ingatan.
...****************...
** Yudha dan Supa
"Kau kembali saja ke penginapan. Aku akan pergi sendiri ke Desa Tentrem," ucap Supa. Dia langsung menghilang.
Yudha membiarkannya pergi. Dia merasa ini memang tanggung jawab Supa. Sebab informasi yang di berikan Supa kurang, mereka berakhir seperti ini.