Fitri terpaksa bersedia ikut tuan Tama sebagai jaminan hutang kedua orang tuanya yang tak mampu mwmbayar 100 juta. Dia rela meski bandit tua itu membawanya ke kota asalkan kedua orang tuanya terbebas dari jeratan hutang, dan bahkan pak Hasan di berikan uang lebih dari nominal hutang yang di pinjam, jika mereka bersedia menyerahkan Fitri kepada sang tuan tanah, si bandit tua yang beristri tiga. apakah Fitri di bawa ke kota untuk di jadikan istri yang ke 4 atau justru ada motif lain yang di inginkan oleh tuan Tama? yuk kepoin...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arish_girl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merindukan Fitri
"Tolong lepasin saya. Saya tidak bersalah, kenapa saya harus di hukum di sini?" Fitri meratap di dalam ruangan kosong yang berukuran kira kira 3×3 m.
"brak.. brak... brak...!!" Fitri menggebrak pintu dengan keras, mencoba untuk membuka dengan segala kekuatan yang ia miliki. Namun, semua usahanya hanya sia sia bahkan tenaga Fitri justru jadi terkuras dan lemas karena aksinya yang memaksa untuk membuka pintu.
"ibu... bapak...!! Tolongin Fitri. Fitri tidak mau disini." suara Fitri berat, menahan rasa sedih di dadanya.
Merasa tak ada gunanya merintih, akhirnya Fitri duduk membelakangi pintu. Ia memeluk lututnya sambil bersandar di pintu. "Astaghfirullah, saya tidak boleh panik, dalam keadaan seperti ini, seharusnya saya banyak berdoa, meminta perlindungan dari gusti Allah." batinnya.
***
Di tempat lain, Di desa tempat dimana Fitri di besarkan, bapak dan ibunya kini sedang duduk di ruang tengah, mereka berdua sedang merindukan sosok Fitri, putri mereka.
"bu, bagaimana keadaan Fitri, ya bu? kok bapak jadi cemas." kata pak Hasan.
"ibu juga sama, pak. Ibu kangen sama Fitri." bu Wati berkaca kaca. Hatinya sangat merindukan sosok putri kesayangannya yang saat ini sedang di tahan untuk menebus hutang hutang mereka.
"Andai saja kita tak punya hutang sebesar itu, pak. Fitri pasti masih di sini bersama kita." imbuh bu Wati.
"ini semua gara-gara Fahri. Kita punya hutang gara gara dia, bu. Anak itu memang tidak pernah bersikap dewasa. Dari dulu selalu saja nyusahin kita." kata pak Hasan.
"tapi, pak. Biar bagaimana pun, Fahri juga anak kita. Sudah tanggung jawab kita buat ngelindungin dia, pak."
"iya, bapak juga tau. Kalau bukan kita, lalu siapa lagi yang akan ngelunasi semua hutang Fahri. Tapi, bu. Bapak hanya saja menyesal, kenapa harus Fitri yang menanggung semua ini. kasihan dia, bu. Fitri itu perempuan, dia harus menanggung kesalahan dari Fahri, abangnya. Fahri benar-benar keterlaluan." kata Pak Hasan berkata dengan nada penuh sesal.
Pak Hasan menarik nafas panjang, ia membayangkan bagaimana nasib Fitri bersama tuan Tanah Wira tama yang terkenal kejam dan arogan. Sejak Fitri di bawa mereka, tak sedikitpun kabar angin yang terdengar di telinga mereka. Mereka sangat cemas, setidaknya mereka mengharapkan kabar yang menyampaikan bahwa saat ini Fitri baik baik saja.
Di tengah keheningan keduanya karena sedang memikirkan Fitri, Tiba-tiba. terdengar suara pintu terbuka, Pak Hasan dan bu Wati menoleh. "Fahri!!" kata pasutri itu hampir bersamaan.
"pak bagi duit, dong. Fahri mau duit. gak usah banyak banyak, satu juta saja." kata anak laki-laki pak Hasan dan bu Wati yang bernama Fahri.
"Fahri, kau pulang, nak?" bu Wati berdiri, guna menyambut kepulangan putranya.
"ibu? Fahri mau duit, bu!" kata Fahri dengan suara mendesak.
"duit? kau mau duit, Fahri?" pak Hasan ikut bicara. Nada suaranya meninggi, seakan ada sesuatu yang memberatkan hatinya.
"iya, pak. gak banyak Satu juta aja." kata pemuda berjambang itu.
"duit, duit. Kamu itu bukan anak kecil yang selalu merengek minta di kasih uang. kalau mau uang, seharusnya kamu itu bekerja. Jangan hanya keluyuran gak jelas, pulang pulang langsung minta uang. Kamu pikir kita punya pohon uang?, hah...?" pak Hasan meninggikan suaranya, sorot matanya tajam menatap ke arah putranya.
Akan tetapi Fahri abai, dia sama sekali tak menghiraukan perkataan sang ayah. Fahri langsung mendekati sang ibu, ia tau hanya ibunya yang berhati lembut, seperti biasanya, pasti sang ibu akan mengabulkan apa yang ia inginkan. "bu, kasih uang 1juta, ya..? Fahri mohon." rengeknya.
"nak, bukannya ibu tak ingin memberikan kamu uang, kita dalam kesusahan. Gara-gara ibu yang selalu nurutin kemauan kamu, ibu sampai terlibat banyak hutang. Dan kami tak sanggup untuk melunasi hutang kami." bu Wati berkata lembut, seakan meminta pengertian dari putranya.
"maafkan Fahri, bu. Tapi, Fahri benar-benar butuh uang itu. Ini yang terakhir Fahri minta uang. Fahri janji." Fahri mengangkat kedua jari, memberikan isyarat janji.
Bu Wati terlihat sangat kasihan sama anak laki-laki nya itu, namun sebelum bu Wati angkat bicara, Pak Hasan lekas mengingatkan istrinya. "tidak, bu. Jangan menuruti kemauan anakmu yang tidak tau diri ini. gara-gara dia, apa ibu sudah melupakan Fitri?"
Seketika wajah bu Wati berubah sendu, sedih, tentu saja. Mereka berdua sama sama anaknya. Fahri anak sulung yang sangat ia sayangi, begitu pula dengan Fitri, dia anak bungsunya yang juga sangat ia sayangi.
"Fahri, nak. Bekerjalah jika kamu menginginkan uang banyak. Apa kamu tidak perduli pada kami? Gara-gara selalu memenuhi keinginan kamu, kami terlibat banyak hutang. Dan sekarang adik kamu, Fitri telah di sandra oleh tuan tanah Wira tama, karena kami tak mampu melunasi hutang hutang itu. Kamu tidak kasihan sama adik kamu, Hah..?" wajah pak Hasan memerah, ingin rasanya pria paruh baya itu memukul kepala sang anak laki-laki.
"Fitri di bawa juragan tanah?" wajah wira terlihat terkejut, namun sesaat setelahnya wajah itu berubah menjadi biasa biasa saja. "sudah berapa lama, pak?" tanyanya datar.
"kita kira seminggu yang lalu," sahut pak Hasan. "apa kamu masih tega membiarkan adik kamu berada di sana, kamu kan tau bagaimana arogan nya keluarga kaya itu."
Fahri tersenyum menatap kedua orang tuanya. "pak, bu. Jika Fitri ikut keluarga juragan tanah ke kota, untuk apa kalian cemas dan khawatir. Siapkan saja kalian, tinggal menghitung hari, maka juragan tanah itu akan kembali datang kesini untuk meminta kalian menyusul Fitri ke kota."
"maksud kamu, apa nak?" bu Wati heran.
"untuk apa lagi jika bukan meminta kalian menghadiri pernikahan Fitri dan juragan Wira. Bapak akan di minta menjadi wali nikah Fitri nantinya. Dan kalian berdua akan menjadi mertua dari juragan Wira, kita akan menjadi keluarga kaya dan di segani, pak, bu. Itu bagus bukan?"
"Fahri!! jaga bicara kamu. Apa yang kamu katakan itu tidak patut di katakan oleh seorang kakak pada adiknya. Apa kau tega membiarkan adik kamu di nikahi juragan Wira untuk menjadi istri ke empatnya?" Mata pak Hasan merah menyala, amarah jelas sekali terlihat di wajahnya.
"aku tidak salah bicara, kan pak? Bukankah itu bagus. Fitri juga bisa hidup enak bergelimang harta. Kita pun juga sama. Kita akan kena imbasnya juga, kan? orang orang akan segan terhadap kita. iya, bukan?" sergah Fahri.
"Dasar anak tidak punya belas kasih. Aku tidak menyangka kau punya pikiran picik seperti ini Fahri. Kau tega menggunakan kebebasan adik kamu sendiri demi kebahagiaan kamu. Kamu egois." bibir pak Hasan bergetar, hatinya terasa pedih di saat mendapati anak laki-laki nya yang memiliki sifat egois, dan tak saling menyayangi pada adik perempuan nya yang saat ini sedang berjuang demi menutupi hutang hutang mereka. Ingin rasanya pak Hasan memukul anak laki-laki nya itu, akan tetapi bu Wati menghalangi. "istighfar, pak. Jangan, biar bagaimana pun Fahri juga anak kita.