Squel Flight Attendant.
Denisa, dokter berusia dua puluh lima tahun itu telah menjadi janda diusianya yang bahkan belum genap dua puluh tahun akibat obsesinya pada laki-laki yang sangat mencintai kakaknya. Susah payah pergi jauh dan berusaha move on, Denisa dipertemukan lagi dengan mantan suaminya yang sangat ia hindari setelah lima tahun berpisah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Wati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penolakan Dara.
"Bu, kita tidak menerima tamu malam-malam. Apalagi ibu tahu status saya 'kan? lebih baik suruh pulang saja tamunya, jika memang penting, suruh kembali besok pagi," teriak Denisa dari dalam kamarnya, saat dia tahu yang datang Daniel.
"Denisa!" Daniel seolah tak terima dengan penolakan Denisa.
"Denisa benar nak Daniel. Maaf bukan saya ikut campur. Denisa sudah cerita permasalahan kalian, dan tujuan mu kesini untuk menemui Dara 'kan?. Dara sudah tidur dan ini bukan jam kunjung yang baik, nak Daniel datang besok pagi. Kasihan nanti Denisa menjadi gunjingan tetangga kalau menerima tamu malam hari."
Daniel menghela nafas berat tak bisa membantah juga, dia mengangguk dan pamit memilih kembali ke mobil.
"Lagian bertamu nggak kenal waktu, wajarlah Dan, lo diusir," Wahyu mentertawakan kemalangan Daniel, "kecuali Denisa tinggalnya diapartemen, lo mau tidur seminggu atau kumpul badak juga nggak ada yang grebek ato rese."
"B4cot ahh, namanya juga gue salah, harus minta maaf, gue juga lagi usaha dan nunjukin ke Denisa kalo gue nyesel, gue lupa beneran ada janji mau ketemu anak gue dan ngajaknya jalan-jalan."
Wahyu terkekeh "Ini sebenarnya ngebet mau ketemu emaknya apa anaknya sih?" lirik Wahyu menggoda Daniel yang duduk di kursi penumpang sebelahnya.
"Ya Dara-lah!"
"Dua puluh persen Dara, delapan puluh persen maminya." Wahyu tergelak meralat jawaban Daniel.
"Kita tunggu disini sampe pagi."
"Apa? Lo gila bin sedeng ya Dan? gue nggak mau."
"Yaudah pulang jalan kaki."
"Wah bener-bener nih duda karatan nggak tau terima kasih, udah gangguin orang lagi mimpi ba5ah juga."
Daniel meraup wajah oriental Wahyu "Dasar omes."
"Halah sok suci, normal kalli," Wahyu menurunkan joknya, mengacak rambutnya kesal "nasib jalan sama duda mengejar janda gini amat dah. Makanya Dan, kalo udah nikah jangan buru-buru ambil keputusan buat pisah. Akhirnya tersiksa sendiri, gue kasian Denisa yang udah nyaman sama hidupnya yang sekarang, tapi lo recokin lagi."
"Berisik lo. Lo nggak tahu permasalahan gue dulu, panjang ceritanya."
Iya, walau Wahyu teman dekatnya saat ini, namun cerita dia dan Denisa tak Daniel ceritakan pada siapapun, kecuali keluarga Denisa yang tahu.
Sedikit cerita awal pertemuan Daniel dan Wahyu adalah ketika mereka berada di tempat rehabilitasi. Wahyu sebenarnya bebas lebih dulu, karena kenakalanya hanya sebatas pergaulan, sedang Daniel memiliki kasus sendiri yang kalian tahu, kasusnya terhadap Delia.
"Terserah dah, eh BeTeWe lo kan udah tunangan sama Amanda, tapi gue ramal lo bakal balikan sama mantan bini. Lo kalo disuruh milih, milih janda apa gadis nih?"
"Janda lah, apa lagi ketahuan janda gue sendiri, gue yakin Denisa nggak pernah main sama laki lain. Lagian kalo balikan sama Denisa, udah ketahuan gue bakal cepet punya anak, kalo sama Amanda belum tentu cepet dapet anak. Belum terbukti dia bisa kasih gue anak apa enggak."
"Anj1rr jawabnya, realistis dan diplomatis. Tapi kalo yang denger cewek, abis lo Dan dijadiin badak geprek." Wahyu menggeleng atas jawaban Daniel.
Ditemani Wahyu, Daniel sedikit terhibur dan tak bosan, bisa membunuh waktu yang terasa panjang.
Daniel melihat kamar yang dia perkirakan milik Denisa, terlihat gorden yang tersingkap, Daniel tersenyum melihat sosok cantik itu disana. Hatinya berdenyut mungkin saja Denisa seharian kemarin menunggu kabar darinya.
Namun tak lama, hordeng itu tertutup kembali.
Daniel mengambil hape memilih menghubungi Denisa, namun beberapa kali dia menghubungi nomor itu, Denisa tak juga mengangkatnya.
Daniel kemudian mengirim pesan saja.
"Papi kemarin benar-benar lupa, Mi. Nanti Papi jelaskan," diakhiri emoji sedih dan tangan memohon. Send to Mami love.
Tak ada kata-kata maaf, masih sulit walau hanya lewat pesan.
Pesan terkirim dan centang dua, namun masih abu-abu, Daniel melihat kamar Denisa, berharap jandanya langsung membaca pesananya.
Kamar Denisa gelap, tak ada cahaya ponsel atau semacamnya.
"Huh," Daniel mendesah, melipat tangan dibelakang kepala, menyender di headboard kursi.
Daniel melirik Wahyu disebelahnya, nampaknya dia sudah jalan-jalan kealam mimpi. Dia sendiri tak bisa terpejam, kembali melihat pesannya yang masih centang abu-abu, Denisa tak membuka pesananya.
Daniel mengusap wajah, benar-benar merasa bersalah pada Denisa, lupa mengabari jika dia tak jadi menemui Dara, dan malah mengantar Amanda ke Singapur, rasa kemanusiaan membuatnya khawatir dan perhatian pada Amanda, bukan karena Amanda tunangannya.
Matanya terus menyorot kearah kamar itu, setiap menit dia melihat jam, jarum berputar begitu lambat mengalahkan jalanya siput, Daniel berteriak frustasi.
"Mobilnya belum pergi, Nis." Nani mengintip dari jendela ruang tamu, kemudian melirik Denisa yang duduk di sofa sambil membaca buku kedokteran untuk menambah ilmunya.
"Biarkan saja Bu. Ibu istirahat aja, nanti Bu Nani ngantuk."
"Apa Ibu buatin kopi saja? Ibu kasihan."
"Nggak usah Bu, biar dia tahu gimana rasanya menunggu."
Nani tak lagi menjawab, dia memilih masuk ke kamarnya, kamar milik Dara sebenarnya, tapi kini dijadikan kamar Nani, karena Dara masih tidur bersama Denisa. Walau Denisa telah menganggapnya sebagai ibu sendiri, tapi dia tahu diri untuk tidak ikut campur terlalu jauh.
Denisa kembali melihat dari celah hordengnya, mobil Daniel yang masih terparkir didepan rumahnya. Denisa yang memang seharian ini cukup lelah, memilih masuk kamar, memilih istirahat saja agar tenaganya full untuk hari esok.
Tiga jam berlalu, jam enam pagi lewat, waktu yang singkat sebenarnya, tapi terasa lama bagi Daniel yang tak sabar ingin bertemu ... Dara, eh bukan Denisa, Dara mungkinlah, tapi dari lubuk hati terdalamnya lebih besar ingin bertemu Denisa sih.
Menurut Daniel ini sudah jam yang diperbolehkan untuk bertamu. Dia membiarkan Wahyu tidur di mobil, sedang dia memilih ke rumah Denisa.
Belum juga mengetuk pintu, Denisa lebih dulu membuka pintu dengan wajah segarnya, sepertinya Denisa habis mandi, terlihat rambutnya masih setengah basah dengan handuk ditanganya, pandangan mereka bertemu, keduanya saling terdiam untuk sesaat.
Denisa berdehem membuyarkan Daniel yang sedang mengagumi kecantikan alami Denisa, tahukan apa yang ada diotak Daniel melihat mantan istrinya segar seperti ini, maunya dibawa kemana? dan diapain? Nggak perlu dijelasin, kalian tahu pasti.
Denisa tentu tak nyaman dengan itu, dia punya pengalaman dikatain, sudah pasti itu melekat, dia belum pakai make-up, tentu tak pede, tapi untung dia memakai pakaian yang tertutup, dia lupa jika ada Daniel yang menunggunya sejak semalam.
"Pagi Mami." sapanya tersenyum tak tahu malu.
Denisa memalingkan wajah "Dara belum bangun, tunggu sampai dia bangun, tunggu saja diluar. Aku sudah jelaskan kalau kamu ingin mengajaknya jalan-jalan, tapi jangan bilang dulu kalau kamu ayahnya. Biar aku jelaskan sendiri."
"Papi Denisa, bukan ayah. Samain sama panggilan kamu," nawar seperti belanja.
Denisa tak menaggapi, dia yang tadinya ingin menjemur handuk sampai lupa dan kembali ingin masuk, namun tangannya dicekal mantan suami.
"Aku laper Denisa. Dari pemakaman kemarin belum dikasih makan." Kembali meminta tak tahu malu.
"Nanti bu Nani yang bawain," ujar Denisa dingin, masih kecewa sih sebenarnya.
"Kamu yang bawa boleh? Kangen sama kopi buatan kamu."
"Pesan diwarung kopi, maaf disini nggak ada yang ngopi, jadi nggak sedia stok."
Bahu Daniel melemah, "aku minta maaf Denisa," ucapnya pada akhirnya, "kamu pasti ngerasa aku tidak memprioritaskan Dara 'kan? Kemarin itu dadakan, waktu aku mau jelasin sama Amanda tentang kamu dan Dara, dia dapat kabar duka, dia panik dan minta tolong untuk penyeberangan secepatnya, ini murni karena rasa kemanusiaan, bukan karena dia tunangan aku atau sengaja ngelupain janji aku ke Dara."
Denisa sedikit luluh, tapi cuma sedikit.
"Jadi dokter Amanda belum tahu tentang Dara siapa?" Daniel menggeleng.
"Nggak bisa."
"Denisa, hanya bertemu sebentar, aku sudah kasih tahu kalau aku duda, tapi aku nggak bisa menunggu sampai Amanda pulang, dan tidak mungkin menjelaskan saat dia sedang berduka, apalagi papanya masih sakit."
"Silahkan kalau mau bertemu Dara, tapi jangan katakan apapun kalau kamu ayahnya." Ulang Denisa mengingatkan, dia melepaskan tangan Daniel dan berlalu masuk.
Terdengar suara Dara menangis, kesempatan untuk Daniel menerobos masuk tanpa permisi.
"Dara kenapa?" tanyanya panik diambang pintu kamar Denisa.
Denisa terperangah Daniel lancang masuk ke rumahnya, terutama kamarnya, dengan cepat Denisa menutup pintu.
Bugghhhh
Terdengar suara pintu dibanting, Daniel memejam merasa bersalah.
"Kenapa lancang masuk rumah orang tanpa permisi? Aku sudah bilang, tunggulah diluar, kenapa masuk?"
"Maaf Mi. Aku cuma khawatir, oke aku keluar."
Denisa melihat wajah Dara yang bingung, lalu menyender dibalik pintu.
"Mi om itu sudah datang?" Denisa menghampiri Dara. Ternyata Dara mengompol, dia menangis takut Denisa marah.
"Kita mandi ya. Dara nggak papa kalau mau main sama om baik. Mami tetap harus kerja. Dara juga nggak papa nggak masuk sekolah, udah nggak pusing kan?"
Dara menggeleng, tentu anak seusianya masih bingung dengan perubahan sikap maminya yang mengizinkanya jalan dengan orang asing, Denisa selama ini begitu protektif terhadap Dara, sampai mencari pengasuh untuk Dara saja baru kali ini dia percaya karena mama dari teman baiknya. Tapi untuk bertanya langsung, Dara tak bisa, dia hanya dituntut untuk patuh dan menurut.
Dua puluh menit berlalu, baik Denisa dan Dara sudah rapi. Denisa bersiap untuk ke rumah sakit, karena pagi ini dia dapat sift masuk, dan diklinik sift siang.
Dimeja sudah siap sarapan untuk dia dan Dara. Mereka sarapan bertiga bersama Nani.
"Dia sudah disediain makanan, Bu?" tanya Denisa sambil menyuapi Dara.
"Sudah Nis."
"Kemanapun dia bawa Dara, Ibu ikut ya?"
"Dara kan udah bilang Mi. Nggak mau keluar sama orang kalau nggak sama Mami."
"Untuk sama om baik itu nggak papa sayang, Mami izinin."
"Tapi Dara nggak mau?" Dara melipat tangan didada dengan wajah cemberut lucu.
Denisa mengehela nafas dan saling pandang dengan Nani. "Yasudah, kita lihat saja nanti ya sayang," usap Denisa rambut Dara.
Daniel tentu mendengar obrolan itu, mendengar penolakan Dara dia tak sedih, malah tersenyum senang dengan banyaknya ide briliant dan banyaknya rencana kedepannya.
NB : Mau tanya donk! Disini kali aja ada yang tinggal dibatam. Aku udah cari tau, katanya Batam-Singapura mau dibuatkan jembatan penghubung. Sebagian ada jawaban yang sudah dibangun, tapi sebagian lagi ada yang jawab nggak ada sama sekali.