NovelToon NovelToon
WIDARPA

WIDARPA

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Horror Thriller-Horror / Anak Yatim Piatu / Pengasuh
Popularitas:705
Nilai: 5
Nama Author: Karangkuna

Renjana, seorang gadis muda yang baru saja pindah ke kota kecil Manarang, mulai bekerja di panti asuhan Widarpa, sebuah tempat yang tampaknya penuh dengan kebaikan dan harapan. Namun, tak lama setelah kedatangannya, ia merasakan ada yang tidak beres di tempat tersebut. Panti asuhan itu, meski terlihat tenang, menyimpan rahasia gelap yang tak terungkap. Dari mulai bungkusan biru tua yang mencurigakan hingga ruangan misterius dengan pintu hitam sebagai penghalangnya.

Keberanian Renjana akan diuji, dan ia harus memilih antara melarikan diri atau bertahan untuk menyelamatkan anak-anak yang masih terjebak dalam kegelapan itu.

Akankah Renjana berhasil mengungkap misteri yang terkubur di Widarpa, atau ia akan menjadi korban dari kekuatan jahat yang telah lama bersembunyi di balik pintu hitam itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

WIDARPA 21

Nek Ayun mengajak Renjana untuk makan siang di warung sederhana yang tak jauh dari pasar ikan, tempat yang sudah lama dikenal oleh Nek Ayun. Warung itu tampak tidak mencolok, dengan sebuah papan kayu kecil yang terlihat sudah agak usang di depan, tanpa nama atau penanda apapun.

Motor gerobak yang dikendarai Nek Ayun berhenti di depan warung tersebut. Renjana turun dari motor dan melihat sekeliling. Warung ini terletak di pinggir jalan yang tidak terlalu ramai, dengan suasana yang cukup tenang. Dari kejauhan, suara riuh pasar ikan bisa terdengar, namun di dalam warung ini, hanya ada beberapa orang yang sedang menikmati makan siang. Beberapa meja kayu sederhana tersebar di luar dan dalam warung.

Nek Ayun melangkah masuk terlebih dahulu, disusul Renjana di belakangnya. Mereka duduk di salah satu meja kayu yang terletak di luar warung, di bawah naungan kanopi kecil yang sedikit terlindung dari sinar matahari. Dari tempat duduk mereka, Renjana bisa melihat lalu lalang para pedagang dan pembeli di pasar ikan yang terletak tak jauh dari situ. Beberapa orang tampak sibuk menawar harga ikan, sementara yang lain sedang membawa keranjang besar penuh dengan hasil laut.

Renjana menatap warung itu dengan lebih seksama. Dinding warung yang terbuat dari kayu terlihat agak pudar warnanya, dan beberapa kursi plastik warna biru yang sudah mulai usang berjajar di sekitar meja. Di sudut ruangan, ada sebuah rak kayu dengan tumpukan piring dan mangkuk yang terletak berdekatan dengan kompor gas besar. Suasana yang hangat dan sederhana, jauh dari keramaian kota.

Setelah beberapa saat, seorang wanita yang tampaknya sudah cukup berumur datang menghampiri mereka. "Pesan apa, Nek?" tanyanya ramah.

Nek Ayun tersenyum dan memesan, "Saya mau nasi campur komplit, dengan sambal terasi, ya. Jangan lupa air putih hangat, ya," katanya dengan nada santai. Renjana mengikuti, memesan soto dengan es teh manis.

Wanita  itu mengangguk dan segera pergi untuk menyiapkan pesanan mereka. Sementara itu, Renjana menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menikmati udara sejuk yang menerpa wajahnya. Beberapa saat kemudian, mereka hanya duduk dalam diam, mendengarkan suara pasar ikan yang semakin ramai dan suara riuh dari beberapa pedagang yang menawarkan barang dagangan mereka.

"Ini warung sudah lama ada," kata Nek Ayun setelah beberapa waktu, memecah keheningan. "Dulu aku sering ke sini setelah berjualan di pasar ikan. Biasanya saat jam makan siang pekerja pasar, warung ini hampir penuh."

Renjana mengangguk, melirik sekeliling dengan hati yang sedikit lebih ringan. Meski suasana di sekitar mereka ramai dengan aktivitas, ada ketenangan yang terasa di warung itu. Aroma soto yang datang dari dapur menyentuh indera penciumannya, membuat perutnya mendesah pelan. Tak lama, pelayan datang dengan membawa pesanan mereka, dan mereka mulai menikmati hidangan yang telah disiapkan.

Suara sendok yang berdentang pelan, ditambah dengan percakapan ringan antara Renjana dan Nek Ayun, menciptakan suasana yang cukup nyaman.

Nek Ayun menatap Renjana dengan lembut sambil menyendok nasi campurnya. Suasana warung yang tenang dan sederhana itu memberi ruang bagi percakapan yang lebih pribadi. Setelah beberapa suapan, Nek Ayun meletakkan sendoknya dan menyandarkan punggungnya pada kursi. Matanya menatap Renjana dengan penuh perhatian, seolah ingin mengetahui lebih banyak tentang kehidupan Renjana.

"Renjana," kata Nek Ayun pelan, suaranya hangat dan penuh perhatian. "Bagaimana kehidupanmu di Widarpa? Apakah kamu menyukai pekerjaanmu di sana?"

Renjana terdiam sejenak, meresapi pertanyaan itu. Meski suasana sekitar tampak sederhana, kata-kata Nek Ayun menyentuh hati Renjana, membuatnya merenung sejenak. Terkadang, dalam kesibukan dan tekanan tugas, dia tidak sempat benar-benar memikirkan apa yang dia rasakan tentang pekerjaannya itu.

"Kadang-kadang saya merasa ada banyak hal yang perlu saya pahami di sana, Nek," jawab Renjana dengan suara lembut. "Pekerjaannya... cukup menantang. Ada anak-anak yang butuh perhatian ekstra, dan ada juga hal-hal yang sulit dimengerti. Tapi saya suka berada di sana. Meskipun tidak selalu mudah, saya merasa saya bisa membantu mereka, memberikan mereka sedikit kebahagiaan dan rasa aman."

Nek Ayun mengangguk dengan bijak, seakan sudah paham betul dengan perasaan Renjana. "Bekerja dengan anak-anak memang bisa sangat menguras tenaga, apalagi jika mereka berasal dari latar belakang yang sulit. Tapi ada kepuasan tersendiri ketika kita bisa membuat perbedaan dalam hidup mereka. Terkadang, yang mereka butuhkan hanya perhatian dan cinta. Mungkin itulah yang membuat pekerjaan ini begitu berarti, meskipun sering kali menantang."

Renjana menundukkan kepala, merasa tersentuh dengan kata-kata Nek Ayun. Sejak pertama kali bekerja di panti, dia sering merasakan kebingungan dan kelelahan, tetapi juga ada rasa bangga dan kepuasan yang datang saat melihat perubahan kecil pada anak-anak yang dia jaga. Mereka memang datang dengan berbagai macam masalah dan luka, namun Renjana tahu bahwa dia bisa menjadi bagian dari proses penyembuhan itu.

"Tapi saya dengar juga ada rumor tidak enak tentang panti itu," ucap Renjana pelan seolah-olah takut didengar orang lain.

Nek Ayun menarik napas dalam-dalam, matanya yang setengah tertutup itu memandang ke kejauhan, seakan sedang mengingat kembali kejadian yang sudah berlalu. Suasana warung yang tenang mendukung suasana serius yang mulai tercipta di antara mereka. Renjana yang sebelumnya santai, kini menundukkan kepala, memusatkan perhatian pada cerita yang akan diceritakan oleh Nek Ayun.

Suara Nek Ayun terdengar pelan dan penuh hati-hati. "Ada sesuatu yang terjadi di panti itu beberapa bulan lalu, yang hingga kini masih membuatku merasa tidak tenang. Sudah tujuh bulan sejak kejadian itu, dan sampai sekarang aku masih memikirkannya." Renjana mengangguk pelan, mendengarkan dengan seksama.

“Cerita ini tidak aku dengar sendiri, melainkan dari obrolan yang diceritakan oleh Pak Juan penjaga panti, kamu pasti sudah pernah bertemu dengannya. Ada pasangan muda yang datang ke kota ini sekitar setahun yang lalu. Mereka membawa anak perempuan mereka yang berusia empat tahun. Anak itu sangat manis, wajahnya bulat dengan mata besar, senyumnya ceria. Menurut cerita mereka terlihat aneh,” lanjut Nek Ayun dengan suara yang mulai serak. "Mereka tampak terburu-buru, dan wajah mereka penuh kecemasan." Renjana semakin fokus, merasakan bahwa ini adalah kisah yang penting.

“Wanita itu menitipkan anaknya ke panti, mengatakan bahwa dia harus pergi menyelesaikan urusan penting dan tidak bisa menjaga anak itu untuk sementara waktu. Dia bilang akan kembali secepatnya. Dan dia bilang, akan menghubungi pihak panti untuk memberi kabar lebih lanjut,” kata Nek Ayun, suaranya pelan namun jelas. "Namun, beberapa bulan kemudian, tidak ada kabar dari wanita itu. Panti terus berusaha menghubungi nomor teleponnya, tetapi teleponnya tidak aktif."

Renjana menunduk, mencoba menyimpulkan cerita ini, namun matanya menatap penuh perhatian, menunggu lanjutan cerita dari Nek Ayun.

“Beberapa bulan berlalu. Suatu hari, pasangan itu kembali ke panti. Mereka datang tergesa-gesa, dan ketika mereka bertanya tentang anak mereka, mereka diberitahu bahwa anak mereka sudah meninggal. Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi, tapi menurut pengasuh yang menjaga, anak itu sakit beberapa hari lalu, dan tiba-tiba kondisinya memburuk."

Nek Ayun berhenti sejenak, napasnya semakin dalam. Suasana di sekitar mereka terasa semakin berat.

“Yang membuat semuanya lebih buruk, Renjana... panti tidak memberi kabar apapun pada wanita itu. Ketika dia datang dan menemukan bahwa anaknya sudah mati, dia sangat marah. Dia merasa dikhianati, dan mencoba melaporkan kejadian ini ke polisi, berharap polisi bisa membantu menemukan kebenaran,” lanjut Nek Ayun, wajahnya terlihat penuh keprihatinan. “Namun, polisi tidak memberikan perhatian. Mereka malah mengatakan bahwa wanita itu tidak bertanggung jawab, karena meninggalkan anaknya tanpa kabar dan tanpa memberi tahu pihak panti untuk waktu yang lama. Mereka beralasan bahwa wanita itu telah mengabaikan tanggung jawabnya sebagai ibu.”

Renjana tercengang, mulutnya terbuka sejenak sebelum akhirnya menutupnya lagi. Rasa kaget dan tidak percaya mulai menyelimuti dirinya.

"Bagaimana bisa begitu, Nek? Bagaimana mereka bisa mengabaikan ibu yang datang untuk mencari anaknya?" tanya Renjana dengan suara yang bergetar, penuh kebingungan.

Nek Ayun menghela napas panjang. "Itulah yang masih membuatku bingung hingga sekarang, Renjana. Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi pada anak itu. Apakah dia memang benar-benar sakit, atau ada yang disembunyikan. Dan aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada ibu itu setelah kejadian itu. Ketua Panti, mencoba menutupi semuanya. Mereka mengklaim bahwa wanita itu tidak pernah menghubungi mereka lagi setelah meninggalkan anaknya. Mereka malah mengatakan bahwa wanita itu tidak bertanggung jawab, dan itu yang membuat semuanya terlihat seolah-olah tidak ada yang salah."

Renjana merasa tubuhnya mulai kaku. Pikiran dan perasaan campur aduk. Ada begitu banyak pertanyaan yang tidak terjawab, dan semakin banyak keraguan yang muncul dalam benaknya.

"Apakah ibu itu benar-benar tidak peduli dengan anaknya?" tanya Renjana lagi, meskipun dia sendiri merasa sedikit ragu dengan penjelasan tersebut.

Nek Ayun menatapnya dengan tatapan yang penuh keprihatinan. "Entahlah. Semua yang terjadi tampak begitu kabur dan penuh kejanggalan. Yang aku tahu, ada sesuatu yang tidak beres di panti itu. Dan banyak hal yang disembunyikan. Ibu itu benar-benar datang untuk mencari anaknya, namun semuanya sudah terlambat."

Suasana hening sejenak. Renjana merasa berat di dadanya, pikirannya penuh dengan pertanyaan tanpa jawaban. Semua yang baru saja didengarnya membuatnya semakin terperangah. Ada sesuatu yang tidak beres, dan dia merasa semakin terjebak dalam lingkaran misteri yang lebih besar dari yang dia kira.

 

1
Nicky Firma
awal yang bagus, ditunggu part selanjutnya
Karangkuna: terima kasih /Smile/
total 1 replies
Senja
bagus. lanjut thor
Karangkuna: terima kasih /Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!