Akademi Valdris. Medan perang bagi calon jenderal, penasihat, dan penguasa.
Selene d’Aragon melangkah santai ke gerbang, hingga sekelompok murid menghadangnya.
"Kau pikir tempat ini untuk orang sepertimu?"
Selene tersenyum. Manis. Lalu tinjunya melayang. Satu tumbang, dua jatuh, jeritan kesakitan menggema.
Ia menepis debu, menatap gerbang Valdris dengan mata berkilat.
"Sudah lama... tempat ini belum berubah."
Lalu ia melangkah masuk. Jika Valdris masih sama, maka sekali lagi, ia akan menaklukkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seojinni_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#6 - Malam Berdarah dan Bayangan Masa Lalu
"Siapa kalian?" tanya Isolde tajam.
Matanya menyapu para penyusup berbaju hitam yang berdiri di hadapannya. Dia dan suaminya sudah lama hidup damai, tanpa musuh yang mengincar. Jadi siapa "Tuan" yang mereka sebut?
"Kau tak perlu tahu," salah satu pria itu berkata dingin. "Yang perlu kau tahu hanyalah satu hal—malam ini adalah malam terakhirmu."
Tanpa peringatan, pria itu melesat menyerangnya. Isolde bergerak cepat, mengangkat pedangnya untuk menangkis. Benturan logam beradu menggema di udara. Namun, dia tak sempat bernapas lega. Dari sudut matanya, pria lain mulai bergerak, mengepungnya.
Sudah lama Isolde tak menghunus pedang, tapi bukan berarti kemampuannya telah tumpul. Dengan gerakan terlatih, dia menebas satu per satu musuh yang mendekat. Matanya berkedip ke arah tangga—dan jantungnya mencelos.
Sial!
Putrinya masih di atas!
Seorang pria berusaha naik ke lantai dua. Isolde membantai pria di hadapannya, lalu melesat mengejar, pedangnya terayun dalam satu tebasan tajam.
***
Di kamar atas, Selene tidur gelisah. Keningnya berkilauan oleh keringat, tangannya mencengkeram selimut dengan erat. Sudah beberapa malam ini, mimpi-mimpi aneh menghantuinya.
Tiba-tiba, dia terbangun.
"Akh..."
Kepalanya berdenyut hebat, tapi suara dari bawah segera menarik perhatiannya.
CLANG! CLANG!
Bunyi logam beradu—suara pertarungan.
Dengan sigap, Selene bangkit dan meraih pedangnya. Saat dia membuka pintu, pemandangan di bawah membuatnya terpaku. Ibunya bertarung sengit melawan pria-pria berbaju hitam.
Gerakan mereka cepat, terlatih. Tapi yang lebih mengejutkan adalah sosok ibunya. Selene tak pernah melihat Isolde bertarung sebelumnya, apalagi dengan begitu gesit dan mematikan.
Namun, dia tak punya waktu untuk terkesima.
Selene menghunus pedangnya dan melompat ke pertempuran. Dalam satu serangan cepat, dia menerjang pria terdekat, menusukkan pedangnya ke dada musuh. Darah memercik ke gaun tidurnya yang putih. Tapi dia tak gentar. Satu demi satu, dia menebas lawan-lawannya dengan gerakan cepat dan tanpa ragu.
"Selene..."
Isolde terpana melihat putrinya. Tatapannya bukan hanya terkejut karena kehadiran gadis itu, tapi juga karena sesuatu yang lain.
Cara Selene bertarung... Terlalu tenang. Terlalu biasa, seolah ini bukan pertama kalinya dia membunuh seseorang.
Namun, mereka tak punya waktu untuk berpikir lebih jauh. Dengan kehadiran Selene, para penyusup kehilangan momentum. Gadis itu baru berusia lima belas tahun, tetapi tubuhnya tinggi dan kuat untuk usianya—hasil dari latihan keras bersama ayahnya.
Tapi saat kemenangan hampir dalam genggaman, pemimpin penyusup itu tiba-tiba bergerak. Dia meraih guci besar di sudut ruangan dan tanpa ragu menghantamnya ke kepala Selene.
PRANG!
Guci itu pecah berkeping-keping.
Selene terhuyung. Darah mulai mengalir dari dahinya, mengaburkan penglihatannya. Namun, meski tubuhnya goyah, dia berbalik dan menusukkan pedangnya ke dada pria itu.
Isolde menjerit.
Saat dia melihat darah mengucur deras dari kepala putrinya, tubuhnya seakan membeku.
Dan saat itulah pintu utama terbanting terbuka.
BRAK!
Seorang pria berdiri di ambang pintu. Gideon.
Matanya segera tertuju pada Selene—gadis yang kini berdiri dengan pedang berlumur darah, tapi tubuhnya hampir roboh. Wajah Isolde basah oleh air mata.
Darah mendidih dalam nadinya.
Dalam sekejap, amarah membakar dirinya.
Tanpa ragu, Gideon mengayunkan pedangnya. Para penyusup yang tersisa tak punya kesempatan untuk melawan. Dalam hitungan menit, mereka semua terkapar di lantai—mati.
Gideon membuang pedangnya dan berlari ke arah putrinya. Namun, sebelum dia bisa meraihnya, Selene kehilangan kesadarannya.
Isolde menjerit lagi, tubuhnya gemetar ketakutan.
"Selene...! Selene, bangun!"
Gideon tak berpikir dua kali. Dia segera menggendong putrinya dan membawa Selene ke dalam kereta.
"Ayo ke rumah Hans. Sekarang!"
Dengan cambuk yang diayunkan kuat, kuda melesat ke depan.
Tapi bagi Gideon, waktu terasa bergerak terlalu lambat.
***
Di rumah dokter Hans, Isolde duduk dengan tubuh gemetar. Tangannya terus meremas bajunya sendiri, sementara air matanya tak berhenti mengalir.
"Suamiku... Selene akan baik-baik saja, kan?"
Suaranya terisak. Dia tak bisa membayangkan kehilangan putrinya. Kehilangan anak pertama sudah menghancurkan hatinya—dan sekarang, jika dia kehilangan Selene...
Dia tak sanggup.
Gideon menggenggam tangan istrinya. Meski wajahnya tetap tegas, tatapannya penuh kegelisahan.
"Percayalah pada Hans," katanya pelan. "Kita hanya bisa berdoa."
Mereka menunggu dalam kecemasan.
Sementara itu, di ruangan lain, Selene terbaring dalam ketidaksadaran.
Namun, dalam kegelapan pikirannya, sebuah sosok muncul.
Seorang wanita mengenakan baju besi dan jubah perang.
Dia tersenyum lembut, namun ada kekuatan besar dalam sorot matanya.
"Selene... apa kau tahu aku?"
Selene menggeleng.
Wanita itu tersenyum lagi.
"Aku adalah dirimu."
Seketika, dunia di sekelilingnya berubah.
Selene melihat bayangan masa lalu—gadis kecil yang dicampakkan sebagai anak haram, ibunya yang terbunuh di depan matanya, ayahnya yang memperlakukannya lebih rendah dari pelayan. Dia ingat bagaimana dia menyusup ke tempat latihan, belajar pedang secara diam-diam, tumbuh menjadi sosok yang kuat.
Dia ingat... bagaimana dia masuk ke Akademi Valdris dan mengalahkan semua pesaingnya. Bagaimana dia berdiri sebagai jenderal wanita pertama dalam sejarah kekaisaran, pemimpin garda terdepan.
Dan bersama empat orang lainnya, mereka menjadi Lima Pilar Kekaisaran.
Dia melihat sosok Magnus Ignis—sang calon Kaisar, satu-satunya pria yang visinya sejalan dengannya.
Cassian Rosenthal—rival terkuatnya yang selalu menjadi lawan seimbang.
Regis Vermillion—si jenius pendiam yang licik dan mematikan, pemuja rahasianya.
Dan Gideon d’Aragon—tangan kanannya, satu-satunya orang yang paling dia percayai.
Tapi ada sesuatu yang hilang.
Kilasan berikutnya lebih gelap.
Selene melihat dirinya sendiri—terjatuh, terluka parah. Seorang wanita sekarat, darah mengalir dari bibirnya. Matanya masih menyala penuh tekad, tetapi tubuhnya tak lagi bisa bergerak.
Seseorang telah membunuhnya.
Dia, Selene Everhart, mati dengan penuh penyesalan.
Dan tiba-tiba, sosok seseorang muncul dan merengkuhnya dalam pelukan hangat.
Selene tersentak.
Dan saat berikutnya, matanya terbuka.