Luna merupakan anak pertama Raihan Wicaksono yang berusia 23 tahun, dia bekerja pada di kantor swasta sebagai kepala divisi penjualan. Meskipun ayahnya adalah seorang Ahli Bioteknologi dia sama sekali tidak mewarisi bidang pekerjaan ayahnya.
Luna berkhayal bahwa dia ingin mempunyai suami yang di dapat dari rekanan ayahnya seperti kebanyakan film yang dia tonton, sampai pada akhirnya dia ikut ayahnya bekerja dan bertemulah Luna dengan Renzo anak dari rekan bisnis ayahnya. Usia mereka terpaut lebih dari 10 tahun, Luna langsung jatuh hati begitu melihat Renzo. Tapi tidak pada Renzo, dia sama sekali tidak tertarik pada Luna.
"Itu peringatan terakhirku, jika setelah ini kamu tetap keras kepala mendekatiku maka aku tidak akan menghentikannya. Aku akan membawa kamu masuk ke dalam hidupku dan kamu tidak akan bisa keluar lagi," ancaman dari Renzo.
Cegil satu ini nggak bisa di lawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YPS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25
Renzo melangkah santai ke dalam kantornya. Wajahnya masih dingin seperti biasa, tapi sorot matanya mengisyaratkan ketidaksabaran. Johan sudah berdiri menunggunya di depan pintu ruangannya, wajahnya sedikit tegang.
"Ada apa?" tanya Renzo langsung.
Johan membuka pintu, memperlihatkan seorang wanita yang duduk dengan punggung tegak. Di depannya ada beberapa lembar hasil laboratorium yang berserakan di atas meja.
Renzo melangkah masuk, menatap wanita itu dengan dingin. Matanya langsung menangkap hasil lab yang memiliki kode C-CA+—penanda positif kanker. Dia memilih tenang dan duduk di kursinya, kini posisinya berhadapan dengan wanita itu.
Wanita itu mengangkat wajahnya perlahan. Senyum tipis tersungging di bibirnya, tapi sorot matanya tajam. Dia memandang Renzo dengan tatapan penuh amarah.
"Saya ingin penjelasan dari Anda selaku pemilik perusahaan besar ini, bagaimana mungkin hasil tes saya positif kanker? Sedangkan saya sudah memeriksa di lab lain yang ada di rumah sakit hasilnya negatif," suara Vivi terdengar datar, namun ada ketegangan di dalamnya.
Renzo menarik napas dalam, bersandar di kursi yang langsung berhadapan dengannya. Ia mengambil salah satu lembar hasil lab dan membacanya dengan saksama.
"Kami memiliki sistem yang sangat ketat," katanya pelan. "Kesalahan seperti ini tidak mungkin terjadi begitu saja. Hasil otomatis keluar setelah tes, dan tidak mungkin ada kesalahan. Kemungkinannya sangat kecil, sampel Anda juga tidak semudah itu rusak di dalam lab kami."
Vivi menyandarkan punggungnya, menatap Renzo dengan tenang. "Lalu, bagaimana ini bisa terjadi? Saya ambil tes cancer package, itu yang sedang Anda promosikan bukan di media online?"
Renzo menoleh ke Johan. "Periksa sistem, telusuri siapa yang menangani sampel ini."
Johan mengangguk dan segera keluar ruangan.
"Saya terbiasa melakukan medical check-up, tapi sepertinya lab ini hanya terlihat bagus dari luar namun untuk pengerjaannya sangat tidak akurat." sindir Vivi.
.
Renzo kembali menatap Vivi. Ada sesuatu yang aneh dari cara wanita ini berbicara dan menuntut. Seakan-akan dia tidak benar-benar ingin mencari jawaban, tapi lebih kepada ingin menguji sesuatu.
"Maaf sebelumnya, apa sepertinya kita pernah bertemu?" tanya Renzo akhirnya.
Vivi tersenyum samar. "Saya rasa tidak pernah!"
Renzo tidak menjawab lagi. Dia hanya menatap wanita itu lebih dalam, berusaha mengingat di mana dia pernah bertemu wanita yang tidak asing di hadapannya itu.
Johan kembali masuk setelah beberapa menit. "Kami sudah memeriksa ulang. Tidak ada kesalahan dalam sistem. Sampel juga tidak rusak hasilnya jelas berbeda dengan yang ini."
Renzo tersenyum miring. "Jadi?"
Johan menyerahkan kertas-kertas hasil dari pemeriksaan Vivi beberapa hari yang lalu pada Renzo, setelah di baca Renzo memberikannya pada Vivi.
Vivi menghela napas. Dia merapikan lembaran kertas di depannya. "Menarik. Jika begitu, aku akan mencari tahu sendiri bagaimana hasil ini bisa muncul."
Dia bangkit berdiri, mengambil tasnya dengan anggun membawa dua hasil tes yang berbeda.
"Apa maksudnya ini? Hasil yang dikeluarkan dari lab kita memang negatif? Lalu, hasil yang dia bawa mengapa positif? Apakah dia salah satu kompetitor kita?" tanya Renzo pada Johan.
"Saya akan cari tahu, Tuan."
.
.
Renzo membuka pintu apartemennya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya membawa beberapa kantong plastik berisi makanan dan minuman untuk Luna.
Tubuh yang tetap berjalan tegap walau lingkaran hitam di matanya tidak dapat di bohongi, ia kurang istirahat. Aktifitas sehari-harinya sangat menguras pikiran, waktu dan tenaganya.
Saat dia masuk, Luna sedang duduk di sofa dengan laptopnya, terlihat serius bekerja.
"Kamu beneran belikan aku cheese burger?" tanya Luna, mendongak dan tersenyum melihat kantong di tangan Renzo.
Renzo meletakkan kantong-kantong itu ke meja. "Ya, aku beli beberapa cheese burger, kentang dan es kopi kesukaan kamu."
Mata Luna berbinar. "Benarkah? Aduh, kamu memang yang terbaik!" Dia segera membuka bungkus burgernya dan mulai makan dengan lahap.
Renzo duduk di sampingnya, mengamati dengan lembut. "Besok kamu kerja?"
Luna mengangguk sambil mengunyah. "Tentu. Besok aku harus menyelesaikan beberapa laporan yang akan di lihat oleh Bimo. Bos besar pasti juga butuh asistennya, kan?"
Renzo terkekeh kecil. "Aku juga selalu butuh kamu, bukan hanya Bimo."
Luna tersipu, lalu menyandarkan kepalanya ke bahu Renzo. "Kalau aku bilang aku ingin selalu bersamamu, kamu percaya?"
Renzo menatapnya lama sebelum berbisik, "Aku bukan hanya percaya, aku menginginkannya."
Pria matang bersifat dingin itu telah jatuh ke dalam lautan cinta yang di buat Luna. Usahanya mendekati Renzo berbuah manis. Kini hubungan mereka akan melangkah ke jenjang yang lebih serius.
.
.
"Lun, gimana kemarin ada kendala pertemuan sama Vivi? Kamu sepertinya lelah ya, apa pulang larut?" tanya Bimo yang melihat Luna duduk melamun.
"Eh, emm... berjalan baik, Bim. Nggak ada keluhan apapun dari Mbak Vivi."
Bimo justru terkekeh mendengar jawaban Luna. "Kamu tuh selalu panggil orang dengan Mbak atau Mas. Susah emang nih jawa tulen!"
"Ya apa dong?! Dia nggak mau di panggil Ibu, cuma mukaku aja nih yang ketolong bule. Jiwaku jawa banget," ucap Luna membuat mereka berdua tertawa.
"Tapi semuanya berjalan lancar kan? Dia juga sepertinya orang yang tidak banyak protes." ucap Bimo memastikan sekali lagi. Luna mengangguk.
Kemudian dia kembali sibuk dengan pekerjaannya seperti biasa. Membuat agenda meeting dengan klien, meninjau proposal, dan mempersiapkan proyek lainnya dengan Bimo.
Sementara itu, di tempat lain…
.
Renzo duduk di ruang tamu yang luas dan elegan. Di depannya, duduk seorang wanita yang sangat dia cintai, wanita paruh baya dengan gaun mahal dan perhiasan yang berkilauan.
Maharani menatap putranya dengan penuh kasih, setiap menatap putranya dalam keadaan sehat dia selalu nampak beryukur.
"Aku ingin menikahi Luna," kata Renzo langsung, tanpa basa-basi.
Sang ibu mengangkat alis. "Kamu sudah yakin Renzo? Lalu bagaimana dengan orang tuanya terlihat setuju kah dengan hubungan kalian?"
Renzo mengangguk. "Aku tidak pernah membahas ini sebelumnya kan, Ma. Tidak pernah ada wanita yang bisa mencuri hatiku lagi, bahkan sampai membuatku ingin menikahinya."
Maharani menghela napas, lalu menyesap tehnya. "Baiklah, jika itu yang kamu inginkan. Jika kamu sudah yakin lakukanlah, karena rumah tangga bukan sebuah permainan. Banyak pengorbanan di dalamnya, kamu tahu kan?"
Renzo mengangguk, bicara dengan Ibunya lebih mudah ketimbang Ayahnya. Dia ingin Ibunya menyampaikan keinginannya menikahi Luna ke Ayahnya.
Sebelum dia sempat bicara, ibunya tersenyum samar.
"Tapi pastikan Luna sudah tahu tentang semua yang menimpamu, Nak. Jangan buat dia merasa kecewa setelah menikah. Semua masa lalumu dia wajib tahu, dia terlihat tulus sekali padamu. Jangan kecewakan dia, ya?!"
Renzo terdiam. Kalimat itu terdengar lebih seperti peringatan, peringatan pada dirinya sendiri yang belum sepenuhnya membaik.
Tapi Luna sama sekali tidak melepaskannya, justru jika terlalu lama menunggu Renzo takut kehilangan Luna...